Dunia kerja kelebihan orang- orang yang mempunyai kecerdasan tinggi dibandingkan orang lain tercermin dari beberapa fakta berikut ini: Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang, lebih sukses bekerja. Terutama karena lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain ; Para salesman, penyedia jasa, atau professional lainnya yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan sekerja dan atasannya.
Para selesman lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapatnya mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan; menanggung stress yang lebih kecil karena bisa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar; Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi selalu lebih mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi; saat orang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal guna meningkatkan kecerdasan emosi di tempat kerja. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) – pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman – merangkumnya menjadi lima aspek berikut ini : a. kesadaran diri (self awareness), b. mengelola emosi (managing emotions), c. memotivasi diri sendiri (motivating oneself), d. empati (emphaty) dan e. menjaga relasi (handling relationship). Seperti halnya Peter dan Salovey, pada mulanya Daniel Goleman pun menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu a. Penyadaran Diri, b. Mengelola Emosi, c. Motivasi Diri, d. Empati dan e. Ketrampilan Sosial. Dalam buku terbarunya yang membahas kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran social (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Dikatakannya pula ada kaitan antara dimensi EQ yang satu dengan lainnya. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan sosial tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri maupun kesadaran sosial.
rujukan buku :
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H