Kepemimpinan memiliki cakupan yang lebih besar dibandingkan kekuasaan karena mampu memberikan pengaruh yang lebih luas. Seorang pemimpin tidak harus memiliki jabatan untuk dapat mengarahkan orang-orang dalam mencapai sebuah tujuan bersama, sedangkan seorang penguasa yang memiliki kedudukan belum tentu mampu mengendalikan dan memberi pengaruh kepada orang-orang yang dikuasainya dari jabatan tersebut.
Kepemimpinan memiliki nilai-nilai tertentu yang membuatnya berbeda dari kekuasaan, salah satu nilai tersebut adalah selalu ingin belajar. Proses pembelajaran yang panjang pun tidak hanya dilakukan pemimpin, tetapi seorang Nabi seperti Musa AS memiliki kisah pembelajaran yang sulit saat berguru kepada Nabi Khidir.
Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir bermula dari teguran Allah kepada Nabi Musa yang memperlihatkan arogansinya saat menjawab pertanyaan: "Siapakah yang paling banyak ilmunya ?" Musa lalu menjawab, "Akulah orang yang paling banyak ilmunya" (lihat buku "Ringkasan Sahih Muslim" yang ditulis M. Nashiruddin al-Albani tahun 2005 pada bagian hadist ke-1611). Allah kemudian memerintahkan : "Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan yang ilmunya lebih banyak daripada kamu".
Menurut Sebagian mufasir, lokasi ini terletak di antara Teluk Aqaba dan Teluk Suez yakni di tepi Semenanjung Sinai. Musa bertanya,"Bagaimanakah saya dapat berjumpa dengannya ?". Allah berfirman, "Bawalah ikan lalu masukkan ke dalam wadahnya. Manakala kamu kehilangan ikan tersebut, kamu telah sampai pada tempatnya". Setelah berjalan cukup lama, Musa dan pembantunya sampai pada suatu tempat dimana ikan yang dibawa Musa dan pembantunya tiba-tiba melompat ke laut.
Pada tempat itulah, Musa bertemu dengan Khidir seperti yang kisahnya diceritakan dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82. Khidir memberikan persyaratan kepada Musa agar selalu bersabar dan jangan bertanya-tanya saat menuntut ilmu dengannya.
Kisah perjalanan Khidir dan Musa mengalami tiga peristiwa yang mengejutkan bagi Musa. Pertama, Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu secara gratis tetapi tiba-tiba Khidir merusak beberapa bagian pada perahu itu yang membuat Musa menjadi heran dan bertanya-tanya. Kedua, mereka berjumpa dengan seorang anak pada suatu kampung lalu Khidir mendekati anak tersebut dan membunuhnya. Hal tersebut jelas memicu emosi Musa dan bertanya-tanya pada gurunya, Khidir. Ketiga, mereka memperbaiki dinding rumah yang hampir roboh pada suatu kampung yang menolak kedatangan mereka. Musa kembali mempertanyakan tindakan gurunya itu yang memperbaiki bangunan orang kampung yang menolak kedatangan mereka. Setelah Musa selalu bertanya-tanya di setiap perjalanan, Khidir berkata "Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan menjelaskan semuanya".
 Ibnu Katsir dalam kitabnya menjelaskan bahwa Khidir melubangi perahu milik orang miskin agar tidak dirampas oleh perompak, anak yang dibunuh Khidir adalah anak yang akan membawa kesesatan dan kekafiran nantinya, dan dinding rumah yang diperbaiki itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kampung itu dan dibawahnya ada harta benda simpanan mereka, sedangkan ayahnya merupakan orang yang shaleh.
 Kisah Khidir dan Musa memberikan pelajaran kepemimpinan untuk kita saat ini. Pertama, Khidir merusak penampilan perahu agar tidak diambil oleh perompak tersebut mengajarkan pentingnya menjaga penampilan perahu yang dianalogikan seperti Bani Israil pada saat itu atau sebuah organisasi pada saat ini. Nabi Musa yang menjadi pemimpin Bani Israil harus memperhatikan dengan detail karakter atau penampilan kaumnya agar eksistensinya bisa terus bertahan dan terhindar dari sergapan musuh di tengah perjalanan.
Pemimpin harus bisa menjaga penampilan "perahu" atau performa organisasi (organizational performance) agar mencapai tujuan besar dan mampu bertahan melawan persaingan global yang ada. Kedua, seorang anak yang dibunuh Khidir karena di masa depan akan menjadi seorang yang menyesatkan telah memberi pelajaran kepada kita sebagai pemimpin agar waspada terhadap kemungkinan terjadinya pengkhianatan atau kerusakan dari dalam organisasi.
Pemimpin harus mampu memahami pola-pola dalam suatu tindakan dan perilaku orang lain agar bisa memunculkan intuisi dalam mengambil keputusan sehingga bisa mencegah keburukan yang akan terjadi di masa depan. Dalam perencanaan organisasi, itu adalah Threat (ancaman) dalam analisis SWOT (Strenth, Weakness, Opportunity, Threat). Kemampuan analisis yang kuat dan intuisi yang tajam mampu membuat pemimpin menjadi sosok yang visioner dan objektif.