Pengalaman yang sarat misteri ini berawal saat ibu saya sakit awal Sepetember 2015 yang lalu. Saya masih ingat sekali, saya diberi kabar oleh kakak jika ibu mengalami koma setelah sholat ashar dan baru tahu menjelang maghrib, hingga kemudian dilarikan ke rumah sakit. Memang riwayat kesehatan selama ini ibu pernah beberapa kali dirawat karena tekanan darah tinggi. Namun belum pernah separah kala itu hingga koma. Sedangkan saya waktu itu berada di Pangandaran, Jawa Barat, sedangkan keluarga besar tinggal di Tuban, Jawa Timur.
Malam itu sedikit lega, karena ibu sudah mendapatkan penanganan di ICU di salah satu RS di Tuban, terlebih adik saya yang tinggal di Medan juga berjanji pulang. Artinya, meski saya sedikit terlambat pulang ke Tuban, setidaknya ada adik saya yang menemani beliau.
Esoknya, setelah menyelesaikan urusan pekerjaan di Pangandaran, menjelang mahgrib saya pulang ke Yogya dan tengah malam saya sampai rumah. Dan dari sinilah pengalaman ini berawal. Malam itu, setelah memarkirkan kendaraan di garasi. Saya duduk di beranda sambil menelepon adik saya yang baru juga smpai di Tuban dan sudah berada di rumah sakit. Kegelapan menyapu seluruh pepohonan di depan rumahku, karena memang ada beberapa lampu yang memang mati dan belum sempat saya ganti. Seekor gagak bersuara persis di atas kepalaku. Menurut orang tua dulu, bila burung gagak berbunyi di atas rumah, maka ada orang yang meninggal dis ekitar rumah itu. Dan konon, supaya tidak ada yang meninggal, maka suara koak gagak itu harus dibalas secara langsung. Cara membalasnya pun harus ber-koak menirukan suara gagak. Koak ! koak!, konyol memang, tapi itulah petuah tetua dulu.
Dengan begitu, kata tetua dulu, nyawa orang yang akan meninggal berdasarkan berita dari si gagak, kontan akan batal. Artinya, kabar isyarat gagak itu termentahkan oleh suara balasan suara manusia yang sedang tidak tidur tengah malam. Bilatidak ada orang yang bangun dan tidak memabalas suara itu, maka keesokan harinya pastilah akana da prang yang meninggal di sekitar rumah.
Hal ini tentu saja berdasarkan kepercayaan lama atau suatu klenik yang sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab sebagai orang yang beragama, semua manusia yakin bahwa bila Tuhan sudah menghendaki seseorang meninggal, pastilah meninggal, walau koak gagak sudah dimentahkan. Karena dorongan tak ingin ada berita duka, saya membalas suara gagak itu secara reflek, dengan suara persis bunyi paruh gagak, saya mengeluarkan suara sambil melihat gagak yang berkelebat dalam gelap.
Tapi anehnya, setelah lewat dengan koak-nya, gagak yang sama kembali lagi dan berkoak lagi. Saya pun kembali membalas koak-nya. Maka itu terjadilah balas membalas suara. Gagak itu mondar-mandir di atas kepalaku dan terus berisik. Hal yang tak lazim dilakukan gagak itu membuat saya menghentikan suaraku. Saya terdiam beberapa saat dan mencari sumber suara untuk mengetahui di mana posisi si gagak. Dari sinar lampu beranda yang temaram, saya melihat sosok gagak itu yang ternyata hinggap di atas pohon mangga di halaman samping, tak jauh dari tempat saya berdiri.
Sempat saya masuk rumah, mengambil senter di kendaraan dan memasukkan beberapa barang untuk saya bawa pulang ke Tuban besok sorenya, setelah itu bersuci dan medirikan shalat isya. Setelah berdoa dan beraktifitas lainnya di dalam rumah, penasaran dengan si gagak saya pun kembali ke beranda, duduk-duduk sambil menikmati sebatang rokok. Baru saja menyalakan korek, tau-tau burung gagak itu lewat dan mengeluarkan suara ‘kematian’. Saya lalu membalas suara itu dan terjadilah perang suara memecah kebisuan malam yang semakin menua.
Gagak itu terus berkoak di atas pohon mangga. Gagak itu terus berkoak mengisi kegelapan di atas phon mangga. Gagak itu terus berkoak mengisi kegelapan malam. Suara gagak itu makin lama makin menyeramkan. Jujur, batin saya mulai gulana, tidak takut hantunya, tapi lebih takut kabar duka. Sergapan perasaan gundah gulana pun menggantung dalam dadaku.
Jam di HP menunjukkan pukul 02 kurang sekian dinihari. Burung gagak itu pindah tempat dari pohon mangga ke ranting pohon mangga sebelahnya. Sesaat setelah berpindah, ada kelebat hitam di bawah pohon mangga itu. Saya berdiri melangkahkan kaki beberapa jengkal langkah ke dekat pohon mangga tersebut sekedar memastikan kelebatan yang sempat saya lihat sekilas. Nihil, tidak ada apapun selain burung gagak yang bertengger di dahan pohon mangga. Saya putuskan masuk dan istirahat. Saking capeknya, tak berlangsung lama saya ada pada situasi antara tidur dan terjaga, keadaan samawa orang Jawa bilang.
Dalam situasi samawa tadi, saya seperti berada pada situasi yang sama, persis seperti sebelum saya memutuskan tidur. Iya, saya berada di beranda dan melihat pohon dimana gagak tersebut bertengger yang sempat saya lihat ada bayangaan hitam berkelebat. Benar saja, seonggok sosok orang berdiri mematung persisi di bawah pohon mangga manalagi yang sedang berbuah itu. Jantungku berdetak hebat dan mulai sedikit miris, meski ini bukanlah pengalaman yang pertama yang berkaitan dengan hal misteri. Beberapa saat kemudian sosok itu menyibak rambutnya yang panjang hingga menjuntai ke tanah mulai berjalan ke depan beberapa langkah, lebih tepatnya melayang. Sosok meyerupai manusia itu ternyata berjenis kelamin perempuan karena bentuk pinggul, dada, dan wajahnya menunjukkan ciri kewanitaan.
“Siapa kamu?” tanyaku, sedikit dengan intonasi keras dan penuh tekanan.