[caption id="attachment_231553" align="aligncenter" width="300" caption="Puncak Songolikur dari kejauhan (dok.pri)"][/caption]
Puncak Songolikur atau disebut juga Puncak Saptorenggo ini menyimpan kisah yang tak akan saya lupakan sepanjang hidup. Pertengahan 2000 silam saya diajak ke puncak ini oleh tiga orang kawan yang sama-sama masih menjalani ‘laku prihatin’.
Yang masih saya ingat, puncak Songolikur ini di Desa Rahtawu, Gebog, Kudus, Jawa Tengah. Puncak tertinggi di pegunungan Muria. Waktu itu kami mendaki dari dukuh Semliro desa Rahtawu. Rahtawu ini memiliki pemandangan yang indah karena letaknya yang dikelilingi deretan pegunungan dan sungai-sungai yang masih jernih. Rahtawu yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian merupakan daya tarik bagi yang suka laku prihatin. Kata orang desa Rahtawu, konon nama Rahtawu mempunyai arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalau indonesianya (darah yang bercecer).Di puncak inilah kisah ini bermula. Musykil memang, tapi itulah adanya. Berempat kami dari Makam Sunan Muria berjalan menggelandang menuju Desa Rahtawu salah satu pintu masuk ke Puncak Saptorenggo ini. singkat cerita setelah sampai di lokasi, kami berjalan mendaki dengan tujuan petilasan pertapaan Mada (Gajah Mada) sesuai dengan kesepakatan kami bersama untuk laku prihatin disana selama 7 hari.Banyak cerita mitos disana dan pantangan-pantangan yang diyakini banyak masyarakat sekitar lereng Puncak Songolikur ini, hingga semakin menambah keangkerannya.Â
Pada malam-malam tertentu yang dianggap sakral, seperti selasa maupun jum’at Kliwon, biasanya banyak orang yang berdatangan untuk ngalap berkah di berbagai petilasan yang memang banyak di sekitar puncak ini. tentunya dengan berbagai tujuan masing-masing.Sebenarnya, dari beberapa cerita tentang sebilah pusaka di petilasan pertapaan Mada kisah ini berawal. Sudah menjadi kebiasaan para musafir ketika berkumpul pada sebuah lokasi makam-makam aulia berbagi cerita, tentang mitos-mitos dan pengalaman-pengalaman spiritulnya. Dari ngumpul-ngumpul inilah kami mendengar mitos di pertapaan mada tersebut. Tentang sebilah pusaka yang konon milik mahapatih dari majapahit tersebut.Seorang kawan saya, kang Khoirul yang waktu itu masih menjalani laku sebagai musafir mengajak kesana, puncak Songolikur, tepatnya petilasan Mada bersama dengan dua orang kawan sesama musafir dari Lampung. Kang Khoirul ini seperjalan dengan saya mulai dari Makam Troloyo hingga ke Makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan. Namun, kami terpisah setelah itu dan bertemu lagi di Makam Muria beberapa bulan kemudian. Karena sudah sangat senior sebagai musafir saya meng-iya-kan saja ajakannya untuk mengambil atau tepatnya menarik sebilah pusaka di petilasan Mada tersebut. dan mengesampingkan efek negatif dan keangkeran Puncak Songolikur itu sendiri. Lanjutkan membaca..
Terpesona cerita sang teman yang seringkali melakukan ritual tersebut, dan jujur waktuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H