Dengan alat seperti menara inilah meraka menarik minyak yang ada di bawah dengan mesin desel namun ada juga yang masih di tarik secara manual dengan tenaga beberapa orang, kemudian mengeluarkan isinya, dan menampung minyak bercampur air di tempat bak penampungan sederhana. Pria paruh baya yang terlihat berpengalaman dengan penambangan tradisional ini cukup ramah. Sangat betolak belakang dengan tampangnya.
Pak Wo, begitu anggota kelompoknya biasa menyapa, menjelaskan secara rinci bagaimana proses penambangan dilakukan. Setelah air bercampur minyak mentah sudah mereka keluarkan, kemudian diendapkan beberapa kali supaya air, dan minyak mentah bisa dipisahkan.
Sekalipun telah beberapa waktu diendapkan, tidak serta merta minyak terpisah dengan beberapa kotoran lain yang menyertai air. Endapan tersebut harus dicampur dengan serbuk tertentu, yang dia sendiri tak tahu nama kimianya, baru kemudian menjadi minyak mentah. Hasil pemisahan melalui penyulingan inilah yang mereka jual kepada siapapun yang mau membeli.
Dalam penambangan selama sehari, kata Pak Wo, mereka bisa menghasilkan sekitar 2,5 hingga 3 drum minyak mentah. Â Mereka kemudian didatangi oleh beberapa orang yang berniat membeli, dengan harga Rp 400.000 untuk satu drumnya.
Para penambang yang sempat njagong sama saya malam itu mengaku, mengelola tambang tradisional di tempat tersebut hanya untuk sekedar mencari makan saja. Tanpa berharap mendapat keuntungan yang berlebih. Ini sekadar menyambung hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H