Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tersesat di Kampung Jin Alas Ketonggo

16 Juli 2014   09:10 Diperbarui: 4 April 2017   17:54 18800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333845" align="aligncenter" width="490" caption="Gerbang Alas Ketonggo"][/caption]

Selain Alas Purwo di Banyuwangi Alas Ketonggo di Ngawi ini adalah salah satu obsesi saya untuk mengunjunginya. Entahlah saya begitu menyukai sesuatu tempat yang menyimpan mitos dan misteri. Dua bulan yang lalu saya berkesempatan mengunjungi salah satunya, Alas Ketonggo atau Alas Srigati di Kab. Ngawi. Mungkin karena itulah, hampir semalaman mataku sulit terpejam membayangkan betapa asiknya perjalanan ke Alas Ketonggo, Paron, Ngawi, Jawa Timur. Dan rencananya saya berangkat dengan dua teman yang sudah janjian sebelumnya.

Adzan subuh berkumandang dari corong Musholla yang tak jauh dari rumah di mana saya tinggal di Tuban. Saya beranjak dari peraduan untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna perjalanan nanti.

Sekitar pukul 09.00 WIB, dua teman saya datang. Setelah sejenak berbincang sambil meyeruput kopi panas, kami pun langsung berangkat dengan mobil menuju lokasi. Estimasinya jarak tempuh ke Ngawi paling lama 4-5 jam perhitungannya pada lepas Asyar nanti kita sudah sampai lokasi.

[caption id="attachment_333846" align="aligncenter" width="490" caption="Pesarean Srigati"]

1405449541514843675
1405449541514843675
[/caption]

Perjalanan melewati jalan-jalan kota dan jalan raya provinsi tidaklah terlalu istimewa. Namun memasuki pedesaan wilayah Padangan, Bojonegoro suasana mulai terasa istimewa. Hawa lumayan sejuk memasuki anggota tubuhku yang dari Tuban menuju Ngawi sekaligus merangkap sopir. Di pinggir kanan kiri jalan, tampak rimbunnya hutan jati yang tertimpa cahaya senja.

Baiklah, saya ceritakan sedikit mengenai tempat tujuan saya kali ini yakni Alas Ketonggo. Bagi siapa pun yang gemar akan wisata spiritual pasti sudah pernah mendengar nama Alas Ketonggo atau ada sebagian orang yang menyebutnya dengan alas Srigati. Kawasan hutan yang memiliki pemandangan cukup indah ddan rindang ini ternyata menyimpang sejuta misteri penuh nuasa mistis.

Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas kurang lebihnya 5000 meter persegi, yang berada lereng Gunung Lawu tepatnya di Desa Babadan, Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari pusat kota Keripik ini kearah selatan

[caption id="attachment_333848" align="aligncenter" width="490" caption="Salah satu situs di komplek Srigati"]

140544979083706860
140544979083706860
[/caption]

Perjalanan dari Tuban ke Ngawi ini sebenarnya relative mudah, hanya beberapa ruas jalan di Kalitidu, Bojonegoro saja yang agak macet karena ada pengecoran jalan yang belum rampung. Ternyata benar perhitungan saya, kami baru sampai di gerbang Srigati atau Alas Ketonggo sekitar pukul 5 sore. Meski sebelumnya kami sempat nyasar kurang lebih 20 KM kebablasen.

Karena baru pertama kali, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil gambar disekitar lokasi. Setelah merasa cukup dengan mengambil gambar disekitar lokasi pintu masuk Alas Ketonggo dan melapor sama juru kunci perihal kedatangan kami. Kami melepas penat karena semenjak berangkat dari Tuban menuju ke Alas Ketonggo ini kami tanpa istirahat, sekaligus kami sempatkan untuk mengisi perut yang memang banyak warung di pintu masuk ini.

Di Srigati atau Alas Ketonggo ini dari penuturan Pak Marji adalah konon kabarnya, tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Disini, terdapat Pelenggahan Agung yang banyak dijadikan sebagai tempat bermeditasi bagi mereka yang ingin Ngalap berkah dalam usaha dan Lain-lain.

Masyarakat sekitar percaya bahwa Pelenggahan tersebut merupakan tempat dimana Raden Wijaya bertapa mencari petunjuk sebelum membangun kerajaan Majapahit. Di Srigati juga terdapat sebuah batu besar yang biasa di sebut "Watu Gede" atau Batu Besar, konon disinilah merupakan pintu gerbang kerajaan "Dunia Lain" yang ada disana. Selain itu disini ada sebuah tempat bertemunya dua muara sunga yang disebut "Kali Tempuk" yang sering digunakan untuk mandi bagi mereka yang mendalami ilmu kekebalan, agar awet muda, dan berbagai tujuan lainnya.

Setelah menikmati mie rebus dan segelas kopi di warung waktu sudah menujukkan pukul 18.30. seperti petunjuk Pak Marji sang juru kunci adalah waktu yang tepat untuk mandi di kali tempuk atau dua aliran sungai yang bertemu

[caption id="attachment_333850" align="aligncenter" width="560" caption="Papan penunjuk menuju Kali Tempuk"]

14054500482138241456
14054500482138241456
[/caption]

Mudah saja menuju akses ke lokasi Kali Tempuk ini karena ada papan petunjuknya. Sampai pada lokasi terlihat masih ada banyak peritual yang tapa berendam di kali ini sambil menyulut dupa/hioswa. Karena menunggu terlalu lama peritual yang lain mentas, akhirnya saya putuskan untuk mandi juga dan tak berapa lama kemudian peritual lain selain kami bertiga sudah mentas dan naik. Tinggal kami bertiga.

Salah satu hal yang akan membuat hati merasa diselimuti hawa mistis di sini adalah ketika kita melihat orang-orang yang sedang melakukan ritual. Ada yang bertapa dipinggir kali, nyekar bunga di bawah pohon, bahkan ada yang rela tinggal di situ mengabdikan dirinya untuk terus bertapa di alas (hutan) ini. Memasuki Palenggahan Agung yang nampak adalah kain putih sebagai simbol kesucian yang menambah hawa mistis di sini.

Tak lebih dari sejam kami bertiga berendam di Kali Tempuk itu, selain karena banyak nyamuk juga lumayan dingin. Setelah mengobrol sejenak dan menikmati nuansa malam sungai yang terbalut mistis tadi kami bertiga pun beranjak naik untuk melewatkan malam di Palenggahan Agung.

Namun anehnya, perasaan saat akan menuju ke Kali Tempuk ini tidak ada jalan bercabang namun bengitu kami sampai ada jalan bercabang. Barangkali tadi kami kurang jeli, pikirku. Tapi hati kecilku sangat yakin kalau jalan setapak ini tunggal yang harusnya menikung kekiri kalau dari atas. Karena bingung, saya minta seorang temen yang paling depan untuk berhenti sejenak dan meminta pertimbangan pilih yang mana, kiri atau ke kanan. Karena dua teman sepakat yakin yang kiri ya sudah saya manut saja. Tapi sejujurnya saya yakn arah yang kanan jalan menuju ke Palenggahan Agung.

[caption id="attachment_333851" align="aligncenter" width="552" caption="Pose dulu sesaat sebelum kungkum di Kali Tempuk"]

14054502141914830947
14054502141914830947
[/caption]

Beberapa menit perjalanan, saya mulai melihat keanehan yang tidak biasanya kami lewati barusan saat akan menuju ke Kali Tempuk. Di arah depan ada kabut yang amat tebal, mungkin ini fenomena alam biasa. Jadi tidak ada alas an dengan kabut itu. Kira-kira semenit perjalanan kami menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut mulai menipis. Setelah itu, kami memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagiku. Mengapa, seingatku tak ada kampung selain deretan warung penyedia makanan dan minuman di Alas Ketonggo ini. Saya mulai tersadar kalau kami memang kesasar.

“Kayaknya, kita salah jalan ya, Kang!” kata seorang temen yang paling depan yang lantas kemudian saya mengajak dua teman yang lain untuk berhenti berjalan.

“Wah, kalau begitu kita tanya saja ke orang-orang itu,” ujar temen saya yang lain. Ketika itu memng terlihat beberapa orang tengah berjalan searah dengan kami atau sebaliknya. Sangat aneh!

“Sebentar dulu,, kita jalan saja dulu pelan-pelan. Coba perhatikan ada yang aneh nggak dengan suasana di kampung ini. Perasaanku mengatakan, kampung ini memang aneh.” Kataku setengah berbisik.

[caption id="attachment_333852" align="aligncenter" width="512" caption="Kali Tempuk (tempuran)"]

1405450692415072844
1405450692415072844
[/caption]

Kami berjalan pelan dan sesekali berhenti. Kami perhatikan kampung itu dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang menarik perhatianku adalah ketika aku melihat banyak sekali jagung yang sudah dikupas dibiarkan begitu saja di pinggir jalan perkampungan. Beberapa orang laki-laki juga terlihat berdiri di depan pintu pagar rumahnya masing-masing. Ada juga terlihat wanita-wanita yang menggendong anak-anaknya dengan kain batik. Saya lihat juga ada orang sedang membuat perapian di halaman rumahnya. Dari semua yang kami perhatikan itu, untuk sementara kami belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang itu.

“Kita berhenti saja kang di depan warung itu. Kita coba tanya saja jalan ke Palenggahan Agung!” pinta seorang temen sambil menunjuk keaarah sebuah kedai yang ada di pinggir jalan. Dan saya menyepakatinya. Ternyata pemilik warungnya adalah seorang wanita. Namun sebelum bertanya, saya bisikkan pada temen untuk membaca Bismillah…

Sementara seorang teman berjalan kearah wanita pemilik warung itu dan sedang sibuk menyapu lantai warungnya barangkali menjelang tutup, pikir saya. Saya memperhatikan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti sabun, odol, kue-kue kecil, aneka gorengan, beras, kopi sachet, sapu lidi, dll. Lanjutkan membaca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun