Mohon tunggu...
Eko Setiadi
Eko Setiadi Mohon Tunggu... -

Praktisi migas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan Bisnis Hulu Migas; "How to Survive?"

26 Mei 2017   14:11 Diperbarui: 26 Mei 2017   21:44 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eko Setiadi

tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tambang, November 2015

Minyak dan gas bumi (migas)merupakan sumber daya alam penting yang dimiliki Indonesia. Disamping peranminyak dan gas bumi sebagai sumber pasokan energi dan bahan bakar bagimasyarakat serta bahan baku (feedstock) bagi industri, pengelolaansumber daya alam migas merupakan sumber penerimaan bagi negara dalam bentukPenerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak. Pada dekade tahun 70-an dan 80-an, kontribusi minyak dan  gas (migas) mencapai sekitar 70% dari totalpenerimaan negara. Lifting minyak di periode tersebut masih cukup tinggi,bahkan mampu mencapai produksi sebesar 1,65 juta barel per hari (bopd) di tahun1977. Namun, dua dekade terakhir, produksi minyak Indonesia menurun tajam,seiring menurunnya jumlah cadangan migas. Dari produksi minyak 1,4 juta bopd ditahun 1998, terus menurun hingga di bawah 1 juta bopd di tahun 2007 sampai hari ini. 

koran-sindo-nasional-2015-09-28-ekonomi-bisnis-sumber-pendapatan-yang-tetap-signifikan-1-5927d3c6d59373aa2bab4563.jpg
koran-sindo-nasional-2015-09-28-ekonomi-bisnis-sumber-pendapatan-yang-tetap-signifikan-1-5927d3c6d59373aa2bab4563.jpg
                                                                                                        Exhibit 1. Kontribusi hulu migas periode tahun 2009 – 2014 1

Prosentase penerimaan dari migas saat ini sekitar 20% terhadap keseluruhan penerimaan negara dalam APBN, sehingga target produksi/lifting minyak nasional, harga minyak dan kurs tukar rupiah terhadap dollar Amerika, masih merupakan bagian dari asumsi utama dalam penyusunan APBN. Dengan turunnya lifting minyak disertai dengan anjloknya harga minyak mentah setahun terakhir ini, maka kontribusi sektor hulu migas juga berkurang secara drastis. Dalam APBN-P 2015, PNBP sektor hulu migas ditargetkan berkontribusi sebesar US$ 14,9 miliar, sedangkan realisasi pada semester I tahun 2015, sebesar US$ 7 miliar. Per 30 Juni 2015, lifting minyak bumi tercatat sebesar 763 ribu bopd atau 92,6% dari target APBN-P 2015 sebesar 825 ribu bopd. Lifting gas bumi sebesar 6.587 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau 96,4% dari target 7.079 mmscfd.2

Tulisan ini mencoba melakukan analisa dan elaborasi tentang dua hal mendasar, yaitu:

  • Strategi apa saja yang harus segera diimplementasikan pemerintah, untuk mengejar target produksi dan target penerimaan negara dari sektor migas, setidaknya di sisa tahun 2015 ini dan tahun 2016.
  • Upaya strategis yang harus dilakukan perusahaan minyak di Indonesia untuk bertahan dalam menghadapi merosotnya harga minyak mentah dan gejolak ekonomi global.

Kebijakan Strategis Pemerintah dalam Meningkatkan Produksi Migas

Kegiatan eksploitasi sumber daya alam, termasuk migas, memiliki karakteristik terjadinya penurunan alamiah (natural decline)setelah jangka waktu tertentu.Beberapa tahun terakhir, produksi migas mengalami penurunan (decline) yang cukup tajam, yang disebabkan oleh sebagian besar (sekitar 90%) lapangan produksi yang ada (existing) adalah lapangan tua (mature). Laju penurunan alamiah rata-rata di sebagian besar lapangan produksi, sekitar 16% per tahun, sedangkan penambahan produksi dari lapangan baru, tidak bisa mengimbangi laju penurunan produksi. Tanpa upaya pengembangan lapangan migas baru dan optimasi produksi pada lapangan eksisting, produksi minyak berkurang sekitar 110 ribu bopd setiap tahun. Oleh karena itu, diperlukan 3 langkah prioritas terkait kegiatan operasi & produksi migas, yaitu: 1. Upaya peningkatan produksi dari lapangan eksisting 2. Percepatan produksi lapangan baru atau yang sedang dalam tahap pengembangan 3. Peningkatan jumlah cadangan migas (reserves).

Pemerintah melalui Inpres No 02 tahun 2012 sudah mengeluarkan arahan dan kebijakan untuk meningkatkan produksi migas nasional. Beberapa kebijakan strategis terkait sektor hulu migas yang langsung terkait dengan upaya peningkatan produksi, yaitu:

  • Melakukan inventarisasi dan pengkajian peraturan perundang-undangan yang menghambat upaya peningkatan produksi minyak bumi nasional serta mengusulkan perubahan peraturan tersebut;
  • Mendorong optimalisasi produksi pada lapangan eksisting maupun percepatan penemuan cadangan baru melalui penyempurnaan kebijakan kontrak kerja sama dan kebijakan terkait lainnya;
  • Menyelesaikan permohonan Rencana Pengembangan (Plan of Development) I paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan lengkap dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
  • Koordinasi dengan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam upaya penyelesaian hambatan produksi migas.

Sedangkan kebijakan konkrit yang ditujukan ke SKK Migas, yaitu: mempercepat proses persetujuan POD, WP&B, AFE dan pengadaan barang & jasa. Selain itu, pemerintah juga mendorong Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk meningkatkan efisiensi operasi dan optimasi fasilitas produksi, optimalisasi lapangan produksi dan pengembangan lapangan dengan memanfaatkan teknologi enhanced oil recovery (EOR), mempercepat produksi dari lapangan baru,  pengembangan lapangan marginal, dan optimalisasi / re-opening sumur-sumur tua (suspended well).

Kebijakan strategis di atas, dapat dimanfaatkan sebagai payung regulasi dan mendukung langkah strategis perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia, dalam menghadapi gejolak ekonomi global dan merosotnya harga minyak.

Tantangan Bisnis Hulu: How to Survive?

Merosotnya harga minyak mentah sejak pertengahan tahun 2014, amat telak menghantam industri hulu migas (Brent spot: 108 US$/bbl di Juli 2014, terus turun hingga 49 US$/bbl di akhir Oktober 2015) - bandingkan dengan biaya produksi perusahaan minyak (major oil company) yang beroperasi di Indonesia, yaitu sekitar 20-25 US$/bbl. Dampak langsung dari merosotnya harga minyak mentah dan gejolak ekonomi dunia adalah anjloknya laba perusahaan-perusahaan minyak. Harga minyak mentah, mekanismenya ditentukan oleh dinamika pasar atas supply & demand, dan hal tersebut jauh di luar kendali perusahaan minyak itu sendiri. Respon perusahaan minyak menghadapi tekanan di atas adalah merumuskan strategi bagaimana perusahaan untuk tetap “survive” dengan tetap berupaya meningkatkan produksi dan langkah efisiensi seluruh kegiatan operasi. Beberapa kebijakan yang diambil beberapa perusahaan minyak, antara lain: BP memotong anggaran belanja modal sebanyak US$ 2 miliar, memangkas ribuan rencana kegiatan di seluruh dunia. Shell menunda proyek pembangunan kilang petrokimia senilai US$ 6 miliar di Qatar. Chevron menjual assetnya senilai US$ 15 milyar dan memangkas belanja modal sebesar US$ 35 milyar di tahun 2015.

138868244-004-5927d41482afbd495859a2cd.png
138868244-004-5927d41482afbd495859a2cd.png
                                                                                                           Exhibit 2. Oil Production Cost, sources: International Energy Agency, 2014

cost-of-oil-production-5927d46e109373a24218ffba.png
cost-of-oil-production-5927d46e109373a24218ffba.png
Dari grafik biaya produksi berdasarkan jenis minyak yang dihasilkan, menunjukkan bahwa sumber daya minyak (recoverable oil resources) jumlahnya masih besar pada cadangan yang bisa diangkat dengan teknologi EOR, extra-heavy oil & bitumen, oil shales, minyak dari cekungan di laut dalam dengan biaya produksi rata-rata di atas US$ 40/bbl, sehingga tidak ekonomis (biaya produksi jauh di atas harga minyak mentah). Sedangkan conventional oil dengan biaya produksi rata-rata US$ 10-30/bbl, masih bisa “survive” dengan harga jual minyak mentah saat ini.

Menghadapi tantangan tersebut, maka beberapa langkah “Survive Strategy” yang dapat dilakukanperusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia, yaitu:

Production Optimization.Ketika harga minyak masih di level US$ 90-100/bbl, produksi minyak digenjot untuk mengejar laba, at any cost, karena harga jual minyak masih jauh di atas biaya produksi. Namun dengan harga minyak turun di level US$ 40-50/bbl, maka upaya optimasi produksi adalah prioritas utama yang bisa dikerjakan, sehingga produksi bisa di-setting pada level optimum dengan biaya produksi yang masih ekonomis. Perusahaan harus mereview secara detail, field by field, setiap zona lapisan produksi, untuk meng-identifikasi potensi subsurface, sekaligus menghitung biaya produksi setiap lapangan. Lapangan dengan biaya produksi yang besar dengan tingkat produksi marginal, bisa di-suspend untuk sementara, menunggu keekonomian lapangan positif. Lapangan produksi yang masih prospektif, diupayakan peningkatan produksi dengan infill drilling, kegiatan workover, maupun well services. Indikatornya adalah bagaimana menekan biaya produksi sehingga jauh di bawah biaya produksi.

Cost effectiveness.Menghadapi tekanan menurunnya harga minyak, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah mengendalikan biaya setiap kegiatan. Setiap mata anggaran, baik anggaran investasi (CAPEX) maupun anggaran operasi (OPEX), dilakukan identifikasi, yang berangkat dari pertanyaan mendasar, apakah kegiatan ini urgent untuk dilakukan atau masih bisa ditunda untuk tahun berikutnya. Selanjutnya, menentukan langkah yang harus dilakukan untuk memastikan semua biaya yang dikeluarkan adalah kritikal dan tepat sasaran (do the right things). Di dalamnya terdapat cost efficiency yang lazim dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan, dengan cara memangkas biaya yang tidak berdampak signifikan terhadap operasional. Langkah taktis yang dilakukan, yaitu: evaluasi keekonomian dan review rencana kegiatan dan biaya operasi (menunda atau membatalkan proyek-proyek dengan biaya investasi yang besar namun berisiko tinggi atau melanjutkan proyek tersebut dengan tingkat kepastian return maksimal), negosiasi kontrak services, peningkatan kinerja asset, efisiensi organisasi menjadi lebih ramping dan lincah.

Profit Driven.  mengoptimalkan revenue dari bisnis gas, karena harga gas tidak diserahkan pada mekanisme pasar seperti harga minyak mentah, melainkan ditentukan oleh kesepakatan antara gas produsen dan gas buyer.  Pemetaan opportunity untuk menambah revenue dari potensi gas di seluruh asset (masih banyak gas yang terpaksa di-flare karena low demand atau  ketiadaan buyer), re-negosiasi kenaikan harga gas untuk kontrak gas yang akan berakhir, mempercepat komersialisasi gas yang sudah memiliki gas sales agreement (GSA), penyelesaian Place Into Services (sebagai syarat cost recovery), mempercepat persetujuan Plan of Development (POD)-khususnya lapangan gas, dengan tujuan percepatan pembangunan fasilitas produksi sehingga mempercepat on stream.

Untuk meng-endorse Added Value Creationatau menciptakan nilai tambah dalam setiap proses bisnis dan operasi kegiatan migas, haruslah memiliki cara pandang terintegrasi, bahwa setiap kegiatan migas tidaklah berdiri sendiri, melainkan satu rantai proses bisnis yang utuh dan saling terkait (exploration-development-production, transportation & storage, refining & marketing, gas processing & marketing, petrochemical) dan mampu meng-create “nilai tambah” dari setiap rantai bisnis tersebut3. Contohnya: sinergi antar KKKS, rig consortium, pengadaan bersama, material transfer agreement, POD terintegrasi, termasuk pengajuan perubahan fiscal term dari POD basis menjadi blok basis pada proyek dengan keekonomian yang marginal.

Indikator sejauh mana efektivitas “survive strategy”, dapat diukur dengan membandingkan biaya produksi sebelum dan setelah langkah-langkah tersebut dilakukan.

Meski anjloknya harga minyak mentah sudah terjadi beberapa kali, dan dianggap sebagai siklus bisnis yang normal untuk kemudian recovery kembali ke harga sebelumnya, namun sebagian besar kalangan perminyakan internasional menyebutkan bahwa merosotnya harga minyak setahun ini akan cukup lama untuk terkoreksi. Ada yang menyebut bisa sampai  2-3 tahun ke depan. Oleh karena itu, dengan memahami lanskap bisnis hulu migas saat ini yang sangat dinamis, iklim bisnis yang volatile, dan tak lagi mudah diprediksi, sektor hulu migas Indonesia diharapkan bergerak cepat mem-formulasi-kan strategi peningkatan produksi yang optimal, dikombinasikan dengan upaya-upaya “cost effectiveness”.

Referensi:

  • Sumber Pendapatan Yang Tetap Signifikan, Koran Sindo, 28 September 2015
  • Semester I 2015, Sektor Hulu Migas Sumbang Rp 92,5 trilyun, SKK Migas, 8 Juli 2015
  • Tordo, Silvana, 2011, “National Oil Companies and Value Creation”, World Bank Working Paper no.218
  • Inpres no. 2 tahun 2012, Tentang Peningkatan Produksi Minyak Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun