Eko Setiadi, Sr Analyst Strategic Planning & Portfolio - Pertamina Hulu Energi
Tulisan di bawah ini adalah opini pribadi dan pernah dimuat di Majalah Tambang, Juli 2016
Seiring pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka kebutuhan BBM juga diproyeksikan mengalami peningkatan rata-rata 8 persen setiap tahun, sehingga diproyeksikan total kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional di tahun 2025 mencapai 2,6 juta barel per hari (bph)1. Saat ini pun, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sekitar 1,6 juta bph. Dari jumlah tersebut, kapasitas kilang di Indonesia sebesar 1,1 juta bph, namun kemampuan kilang yang sebagian besar sudah beroperasi di atas 30 tahun tersebut hanya mampu mengolah minyak mentah menjadi produk BBM hanya sekitar 800 ribu bph. Sedangkan kekurangan BBM sekitar 800 ribu bph dipenuhi melalui import, dengan kebutuhan dana untuk import tersebut sebesar US$ 150 juta/hari atau senilai 1,95 trilyun rupiah/hari (data tahun 2015). Bagaimana dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia? Singapura, negara yang luasnya hanya 716 km2 dengan populasi penduduk 5 juta jiwa, konsumsi BBM domestik sebesar 148 ribu per hari, namun memiliki kilang minyak berkapasitas 1,3 juta bph, sehingga sisanya diekspor ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Adapun kapasitas kilang minyak Malaysia sekitar 722 ribu bph, dengan produksi minyak mentah mencapai 825 ribu per hari, sedangkan konsumsi BBM domestik sebesar 650 ribu bph, dengan populasi penduduk 30 juta jiwa. Dampak lainnya adalah dengan kapasitas kilang dan kondisi stok BBM yang terbatas, Indonesia hanya memiliki cadangan operasional BBM milik Pertamina selama 22 hari, sedangkan Singapura selama 90 hari dan Malaysia selama 25 hari.
Rencana pembangunan kilang minyak, sebenarnya sudah dimulai sejak akhir tahun 2005. Ketika itu, Pertamina sudah menandatangani kesepakatan pembangunan kilang minyak di Tuban bersama Sinopec (perusahaan minyak China) dengan kapasitas 200 ribu bph. Di tahun 2006, konsorsium swasta yang didukung pendanaan Arab Saudi sempat merencanakan pembangunan kilang minyak di Pare-Pare dengan kapasitas 300 ribu bph dan ditargetkan beroperasi pada tahun 2010. Pertamina juga sempat bekerja sama dengan NIORDC dari Iran dan Petrofield dari Malaysia untuk membangun kilang Bojonegoro di tahun 2009. Namun sampai saat ini, belum satu pun kilang minyak baru yang berhasil dibangun. Mundurnya rencana pembangunan kilang minyak tersebut karena menemui berbagai kendala, antara lain: sulitnya pembebasan lahan, perlunya insentif, baik fiskal dan non fiskal dari pemerintah kepada investor terkait jaminan kepastian investasi, serta kendala perijinan dan regulasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya konkrit untuk menarik investasi dari sumber pendanaan di luar negeri maupun investor swasta nasional, sekaligus menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, seperti adanya kepastian tata ruang lokasi kilang, simplifikasi perizinan, kepastian regulasi, serta pemberian insentif fiskal dan non fiskal.
Perpres Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak Domestik
Sebagai respon atas berbagai hambatan pembangunan kilang yang dipaparkan di atas, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri2. Perpres tersebut memuat skema pembangunan kilang minyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan badan usaha. Pembangunan kilang minyak oleh pemerintah dilaksanakan melalui dua cara. Pertama, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Kedua, melalui mekanisme penugasan dengan pembiayaan pemerintah dan penugasan dengan pembiayaan korporasi.
Untuk pembangunan kilang minyak dengan skema KPBU, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PPJK). Sebagai PPJK, Pertamina berwenang melakukan perencanaan, penyiapan transaksi, dan penandatangan transaksi, serta melaksanakan pengawasan proyek KPBU. Dalam proses perencanaan, Pertamina sebagai penanggung jawab proyek kerjasama akan membentuk badan usaha pelaksana, penandatanganan perjanjian KPBU dengan Badan Usaha Pelaksana, dan memastikan pemenuhan pembiayaan oleh Badan Usaha Pelaksana. Dalam Perpres ini, pemerintah juga akan memberikan insentif dan jaminan dalam pembangunan kilang. Jaminan diberikan atas risiko infrastruktur sesuai dengan alokasi risiko berdasarkan perjanjian KPBU. Adapun bentuk insentif dari pemerintah adalah pembebasan pajak dan pembebasan bea masuk terhadap barang impor. Selain itu, insentif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mempercepat pembangunan kilang melalui skema KPBU ini, Menteri Keuangan juga akan menyediakan fasilitas penyiapan pembangunan kilang minyak dan pendampingan transaksi sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Untuk skema penugasan, Pertamina dapat membiayai sendiri pembangunan kilang minyak atau bekerjasama dengan badan usaha lain melalui pembentukan perusahaan patungan. Apabila menggunakan mekanisme pembiayaan korporasi, Pertamina mendapatkan fasilitas pendanaan berupa penyertaan modal negara (PMN), laba yang ditahan, pinjaman langsung atau pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri termasuk lembaga keuangan multilateral, serta penerbitan obligasi oleh Pertamina.
Pembangunan kilang minyak oleh Badan Usaha, dilakukan berdasarkan penyelenggaraan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan. Badan usaha terdiri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, atau koperasi. Dikeluarkannya perpres tersebut diharapkan menjadi kebijakan konkrit untuk mendorong agenda percepatan pembangunan kilang minyak nasional dan tentunya mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).
Agenda Pembangunan Kilang Minyak Nasional
Dari evaluasi terhadap demand versus supply BBM, kapasitas infrastruktur kilang domestik yang saat ini beroperasi, dan proyeksi kebutuhan BBM nasional sampai tahun 2025, maka diperlukan  agenda pembangunan kilang minyak yang sifatnya krusial dan mendesak untuk dilaksanakan, yaitu: upgrading kilang minyak eksisting, pembangunan kilang minyak baru, dan mempercepat pembangunan kilang minyak skala mini (mini refinery plant).