Mohon tunggu...
Abyandra Zya
Abyandra Zya Mohon Tunggu... -

scientist, tapi juga menekuni segala hal tentang sepakbola modern. twitter: @abytabligh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bawaslu dan Panwaslu Makan Gaji Buta, Rakyat yang Menderita?

24 Juni 2018   13:13 Diperbarui: 24 Juni 2018   13:36 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era reformasi di Indonesia telah berlangsung selama 2 dekade, namun KPK masih saja sibuk untuk memenjarakan para koruptor, seakan-akan korupsi belum mau beranjak dari negeri ini. Banyak yang sepakat bahwa penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia adalah ongkos politik yang sangat mahal. Hal tersebut menyebabkan para pejabat terpilih berlomba-lomba mencari pemasukan dengan cara apapun untuk menutupi ongkos politik yang sudah dikeluarkan.

Ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh mereka yang sedang berkompetisi untuk sebuah jabatan di pemerintahan adalah mulai dari biaya kampanye, sampai biaya saksi. Belum lagi biaya tambahan yang harus dikeluarkan apabila terjadi sengeketa hasil pemilihan, sehingga para kontestan harus bertarung lagi di pengadilan, dan tentunya kembali akan menyedot sejumlah dana. 

Mahalnya ongkos-ongkos tersebut merangsang partai-partai politik untuk menerapkan mahar politik bagi orang-orang yang ingin berkontestasi di politik dengan menggunakan partai mereka sebagai kendaraan politiknya. Mahalnya ongkos dan mahar politik inilah yang menjadi pembenaran para pejabat terpilih untuk mencari pemasukan dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Dari berbagai ongkos politik, biaya saksi merupakan salah satu pengeluaran terbesar untuk seseorang yang sedang berkontestasi politik. Biaya saksi adalah bayaran yang harus dikeluarkan untuk membayar saksi pada tiap TPS pada satu peroses pemilihan. Hal tersebut dilakukan oleh para kontenstan politik hanya untuk memastikan bahwa proses pemungutan dan penghitungan suara di tiap TPS berlangsung dengan adil. 

Sebagai ilustrasi, untuk Pilkada di Jawa Barat terdapat 75,422 TPS. Artinya seseorang yang sedang berkontestasi di Pilkada Jawa Barat harus memiliki saksi minimal 75,422 orang. 

Anggap saja biaya pelatihan saksi adalah Rp 300,000 per orang, dan bayaran untuk saksi pada hari pemilihan adalah Rp 300.000 per orang, maka biaya per orang menjadi Rp 600,000 , sehingga total biaya minimal yang harus dikeluarkan oleh satu kontestan politik untuk saksi di Jawa Barat adalah Rp 45,253,200,000. 

Bayangkan, seseorang perlu uang lebih dari 45 miliar rupiah hanya untuk membayar saksi, dan mungkin jumlah sebenarnya lebih dari itu, karena ketua MPR Zulkifli Hasan pernah menyampaikan bahwa untuk pemilihan di Jawa Timur saja biaya saksi bisa mencapai 180 miliar rupiah.

Fakta di atas menjadi sebuah ironi, karena untuk memastikan sebuah pemilihan berlangsung dengan adil dan demokratis, entah itu Pilkada ataupun Pemilu, negara telah menggelontorkan dana yang sangat besar melalui Bawaslu dan Panwaslu. Sebagai contoh, untuk Pilkada serentak di tahun 2018 saja, dana yang dikeluarkan untuk Bawaslu mencapai lebih dari 2.8 triliun rupiah. 

Jumlah uang rakyat yang sangat besar yang harus dikeluarkan untuk sesuatu yang secara kasat mata dan logika seperti tidak berguna. Mungkin kita semua bisa memperdebatkan hal ini, namun bila kita melihat fakta tentang perlunya setiap kontestan politik memiliki saksi di tiap TPS hanya untuk memastikan semuanya berlangsung dengan benar, maka mudah untuk kita menyimpulkan bahwa uang rakyat yang digunakan untuk Bawaslu dan Panwaslu menjadi tidak berguna. 

Fakta bahwa banyak kasus korupsi yang terkait dengan sengketa hasil pemilihan juga menjadi sinyal bagi kita bahwa Bawaslu dan Panwaslu itu seperti antara ada dan tiada. Untuk saya pribadi, bila KPK menangkap koruptor dengan kasus terkait sengketa hasil pemilihan, dan terbukti bersalah, maka Bawaslu dan Panwaslu harus ikut bertanggung jawab atas tindak korupsi tersebut, karena itu bagian dari kelalaian mereka dalam mengawasi pelaksanaan pemilihan secara menyeluruh. Dengan dana yang dimiliki oleh Bawaslu, sebegitu susahnya kah untuk mengawasi beberapa orang kontestan politik?

Keraguan akan performa Bawaslu dan Panwaslu juga sudah sering diutarakan oleh banyak pengamat politik maupun pengamat hukum. Ketidakmampuan Bawaslu dan Panwaslu untuk bekerja sesuai tugas dan fungsinya memberikan kerugian yang besar bagi rakyat Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun