Mohon tunggu...
Abyandra Zya
Abyandra Zya Mohon Tunggu... -

scientist, tapi juga menekuni segala hal tentang sepakbola modern. twitter: @abytabligh

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apa Salah "Micin" Padamu?

6 Januari 2018   14:03 Diperbarui: 8 Januari 2018   09:36 2152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah micin kini kembali populer diutarakan di kalangan para petualang dunia maya maupun dunia nyata. Micin adalah istilah yang biasa digunakan di Indonesia untuk penguat rasa Monosodium Glutamat, atau biasa disingkat MSG. Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai micin ini, kita akan membahas sedikit asal-usul istilah micin hingga bisa populer di Indonesia.

Asal-usul istilah micin

Pada sekitar awal periode 1900an, seorang ahli kimia dari Jepang, Professor Ikeda berhasil menemukan rasa baru selain rasa manis, asam, asin, dan pahit. Rasa baru tersebut kemudian dinamakan "umami", atau kita biasa menyebutnya sebagai rasa gurih. Senyawa kimia glutamate adalah bahan kimia yang menimbulkan rasa gurih tersebut. Pada tahun 1909, micin mulai diproduksi secara masal dengan merek yang masih kita kenal hingga saat ini, yaitu "Aji-no-moto".

Pada sekitar akhir periode 1920an, sebuah perusahaan di wilayah Hongkong juga memproduksi micin, dan memasarkannya dengan merek "Ve-Tsin". Produk ini juga berhasil menembus masuk ke wilayah Indonesia, dan menjadi sangat populer di masa lalu. Populernya produk ini membuat istilah "vetsin" menjadi identic dengan MSG. Sesuai kebiasaan orang Indonesia, seiring dengan berjalannya waktu, mungkin agar lebih mudah untuk diucapkan, istilah "vetsin" bertransformasi menjadi "mecin", kemudian bertransformasi kembali menjadi "micin". Hingga sekarang, istilah micin inilah yang identik dengan MSG.

Micin menjadi bermakna negatif

Sejak diproduksi massal, micin menjadi begitu populer, baik untuk penggunaan masakan di rumah, maupun untuk bahan tambahan pada produk di industri pangan. Ketika micin ini sedang Berjaya, sekitar periode tahun 1960an, mulai muncul "serangan" dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa konsumsi micin akan memberikan dampak yang buruk bagi manusia. Beberapa peneliti pada periode tersebut menyatakan bahwa mengkonsumsi micin dapat menyebabkan kerusakan otak.

Para peneliti tersebut bahkan menyatakan bahwa bila seorang wanita yang sedang hamil atau seorang ibu yang sedang menyusui mengkonsumsi micin, maka perkembangan otak anaknya nanti akan terganggu. Kesimpulan tersebut didapatkan setelah dilakukan percobaan pada tikus.

Pernyataan para peneliti tersebut berhasil menghebohkan dunia. Ditambah dengan peran media massa pada saat itu yang terus menggoreng berita tersebut sehingga cukup mempengaruhi pemikiran masyarakat awam. Sejak saat itu micin menjadi objek populer untuk diteliti, dan berbagai hasil penelitian pasca kehebohan tersebut dengan mudah mematahkan pernyataan negatif tentang micin sebelumnya. Penelitian yang menyatakan micin berbahaya tersebut dinyatakan tidak relevan karena pada percobaan tersebut tikus diberikan dosis micin yang sangat besar dan tidak masuk akal. 

Penelitian tersebut juga dinyatakan tidak memberikan hasil yang sama bila dicobakan kembali dengan rancangan percobaan yang mirip. Fakta-fakta peneltian tersebut menyimpulkan bahwa efek negatif dari mengkonsumsi micin hanyalah isu belaka, meskipun beberapa pihak yang terlanjur kontra dengan micin menganggap hasil-hasil penelitian yang menyatakan micin aman dikonsumsi adalah peneltian pesanan dari industri yang berkepentingan.

Pada periode yang sama, sekitar tahun 1960an, juga muncul serangan terhadap micin. Seseorang menyatakan bahwa dia mengalami gejala sakit kepala, bagian belakang leher dan tenggorakan terasa sakit dan panas, dada terasa sesak, serta beberapa gejala lain yang timbul sesaat setelah dia mengkonsumsi masakan china. Isu tersebut kemudian dengan cepat menyebar dan menjadi terkenal dengan istilah Chinese Restaurant Syndrome (CRS). 

Penyebaran isu CRS juga tidak lepas dari peran media massa yang entah mengapa memang sangat suka menyebarkan isu yang membuat masyarakat awam terpengaruh pemikirannya tentang sesuatu hal yang belum tentu benar. Isu CRS ini juga tidak pernah bisa terbukti, semua hasil penelitian menyatakan bahwa micin tidak berhubungan sama sekali dengan gejala-gejala yang disebutkan pada isu CRS. Namun akibat peran media massa, meskipun isu-isu negatif tentang micin tersebut terbukti salah, banyak masyarakat awam yang terlanjur terpengaruhi pemikirannya tentang konsumsi micin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun