Mohon tunggu...
Abyandra Zya
Abyandra Zya Mohon Tunggu... -

scientist, tapi juga menekuni segala hal tentang sepakbola modern. twitter: @abytabligh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menaklukan Eropa di Waktu yang Tepat

4 Agustus 2017   09:24 Diperbarui: 22 Agustus 2017   12:20 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benua Eropa di mata mayoritas masyarakat Indonesia merupakan sebuah peradaban maju dengan berbagai keunggulannya. Teknologi yang canggih, etos kerja dan disiplin yang tinggi, dan pendidikan yang berkualitas menjadi daya tarik yang besar bagi masyarakat Indonesia untuk bisa "menaklukan" Eropa. Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada sektor pendidikan.

Banyak anak muda Indonesia yang bermimpi bisa berkuliah di kampus-kampus ternama di Eropa. Tidak sedikit juga para orang tua yang berharap anaknya dapat menuntut ilmu dan membangun kualitas diri di kampus-kampus ternama di Eropa. Kampus-kampus di Eropa dianggap menyediakan tenaga-tenaga pengajar berkualitas, fasilitas pendidikan yang mutakhir, dan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan diri seseorang. Menuntut ilmu di Eropa juga dianggap akan membuka pintu bagi mereka di masa yang akan datang dapat berkarir di benua biru tersebut. Karena hal-hal itulah banyak masyarakat Indonesia berbondong-bondong untuk bisa berkuliah di Eropa, baik dari jalur pedanaan pribadi ataupun beasiswa.

Namun ada satu hal yang juga biasanya ikut muncul dan terpikirkan oleh para orang tua saat harus membuat keputusan untuk memberikan ijin kepada anak mereka yang ingin berkualiah di Eropa. Ada kekhawatiran di dalam pemikiran para orang tua bahwa anak-anak mereka belum cukup dewasa untuk benar-benar "dilepas" di sebuah lingkungan yang sangat berbeda dengan Indonesia. Kedewasaan yang dimaksud di sini bukan hanya tentang kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi juga tentang kedewasaan dalam memilah dan memilih hal-hal baru mana yang harus diserap dan mana yang harus dibuang. Para orang tua memang menginginkan anak-anak mereka bisa menuntut ilmu di Eropa dan menyerap hal-hal baik yang ada di sana, tapi para orang tua juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi "terlalu Eropa" dalam konteks yang negatif ataupun hal-hal buruk lain yang timbul karena kurangnya tingkat kedewasaan anak dalam berpikir dan memtuskan sesuatu.

Kekhawatiran pada orang tua tersebut bukanlah tanpa alasan, terutama bila terjadi pada orang tua yang dari anak yang baru lulus SMA dan ingin melanjutkan pendidikan di Universitas di Eropa. Usia anak yang baru luls SMA berkisar pada usia 17 tahun. Sebuah usia yang masih sangat muda, senang mencoba-coba, dan masih dalam masa pencarian jati diri. Mungkin akan sedikit berbeda pertimbangannya bila anak yang akan melanjutkan kuliah di Eropa adalah calon mahasiswa pascasarjana yang lebih matang secara kepribadian.  Ini semua menjadi sebuah dilema bagi para orang tua dalam membuat keputusan tentang kelanjutan pendidikan anak mereka.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Pemecahan Masalah

Permasalahan dan dilema yang dialami para orang tua tersebut sebenarnya sekarang sudah bisa teratasi. Indonesia sudah memiliki universitas dalam negeri dengan kurikulum Eropa, nuansa belajar internasional, dan memiliki program yang akan mempersiapkan para mahasiswa untuk kemudian bisa menaklukan Eropa di waktu yang tepat dan kualitas diri yang cukup. Universitas yang menjadi pelopor kampus dengan kurikulum dan program-program berstandar internasional adalah Swiss German University, atau biasa disebut SGU.

SGU tidak secara sembarang melabelkan diri sebagai kampus internasional. SGU tidak seperti beberapa lembaga pendidikan lain yang hanya karena kegiatan belajar mengajarnya menggunakan bahasa Inggris, lalu mengaku sebagai lembaga pendidikan internasional. Di saat kampus-kampus lain hanya menerapkan kurikulum nasional dengan sistem SKS, maka SGU menerapkan dua sistem kurikulum yang berjalan secara simultan, yaitu kurikulum nasional dengan sistem SKS dan kurikulum Eropa dengan sistem ECTS. Bagi para pembaca yang berkecimpung di dunia universitas tentu sangat mengetahui bagaimana repotnya dan besarnya usaha yang harus dikeluarkan saat kampus sedang berurusan dengan masalah akreditasi. SGU ini pasti repotnya berkali-kali lipat karena juga harus rutin mengurus semacam akreditasi kurikulum Eropa-nya, bukan hanya akreditasi nasionalnya.

Tidak hanya sebatas itu, di SGU bukan hanya menggunakan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari, SGU juga menjadikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib yang akan selalu ada di setiap semester sampai mahasiswa lulus. Setiap minggunya mahasiswa akan diajarkan oleh native speaker dengan beban waktu sebesar 3 SKS, atau selama 150 menit per minggu.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Namun bukanlah hal-hal di atas yang menjadikan SGU sebagai jawaban dari kekhawatiran dan dilema para orang tua. SGU memiliki sebuah program yang membuat anak bisa menaklukan Eropa di waktu yang tepat. Di SGU pada semester 6, mahasiswa akan berangkat ke Eropa, khususnya Jerman dan Swiss. Mengapa ini menjadi jawaban? Karena program ini membawa anak untuk menaklukan Eropa pada usia sekitar 20 tahun, sebuah usia yang lebih matang secara mental maupun kualitas diri. Mereka menjadi lebih siap dalam menerima berbagai tantangan di sebuah tempat yang benar-benar asing, dan di usia tersebut juga mereka lebih efektif serta selektif dalam menyerap hal-hal baru. Untuk mewujudkan hal tersebut, SGU mempersiapkan mahasiswanya secara menyeluruh. 

Selain pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang juga menjadi mata kuliah wajib yang akan selalu ada dari semester 1 hingga semester 6 adalah pelajaran bahasa Jerman. Hal ini dilakukan sebagai langkah SGU untuk mempersiapkan mahasiswa-mahasiswanya. SGU juga mempersiapkan jiwa nasionalisme para mahasiswa dengan berbagai kegiatan dan program-program, seperti pelatihan bela negara, upacara bendera, ataupun berbagai ekstra kurikuler yang berbasis tradisional Indonesia. Ini dilakukan untuk membentengi para mahasiswa agar tidak kehilangan identitas-identitas luhur yang menjadi ciri positif bangsa Indonesia, meskipun nantinya mereka terpapar oleh hal-hal baru di Eropa.

Para mahasiswa akan melakukan perkuliahan di Eropa, tepatnya di kampus yang menjadi partner dari SGU. Biasanya perkuliahan akan dilakukan selama kurang lebih 1 bulan, kemudian para mahasiswa akan magang atau bekerja di perusahaan-perusahaan di Jerman. Di Jerman atau Swiss, mereka benar-benar berstatus sebagai pekerja profesional, dan diperlakukan seperti pekerja lainnya. Hal ini tentu akan benar-benar membentuk karakter dan kualitas diri dari para mahasiswa. Biasanya mereka mendapatkan bayaran yang cukup besar, tergantung kualitas diri mereka. Kalau mereka punya kualitas, dan bisa meyakinkan perusahaan besar untuk menerima mereka magang, maka mereka mungkin bisa mendapatkan bayaran hingga lebih dari 1000 euro, atau sekitar lebih dari Rp. 15.000.000. 

Tetapi ada juga yang karena keterbatasan kualitas diri, mungkin hanya diterima di perusahaan kecil dengan bayaran yang hanya cukup untuk sewa tempat tinggal dan makan sehari-hari di sana. Semua benar-benar tergantung kualitas diri. Tidak sedikit dari para mahasiswa yang setelah masa bekerjanya selesai dapat melakukan perjalanan keliling Eropa dengan menggunakan uang hasil keringat mereka sendiri, hasil menabung uang bayaran selama mereka bekerja. Biasanya mereka bekerja selama 5 sampai 6 bulan. Bila performa mereka sangat memuaskan, tidak jarang ada mahasiswa yang setelah lulus ditawarkan untuk berkarir di perusahaan tempat mereka magang di Jerman.

Satu program lain yang membuat kualitas lulusan SGU memiliki daya saing global adalah SGU mendatangkan profesor-profesor dari Jerman ke Indonesiauntuk menjadi penguji pada sidang skripsi maupun tesis para mahasiswanya. Terbayang betapa besarnya usaha SGU agar bisa menciptakan lulusan yang benar-benar berdaya saing global.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Biaya Kuliah yang Mahal

Biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa kuliah di SGU hingga lulus memang tidak lah murah, namun mungkin juga tidak mahal bila kita melihatnya lebih detail. Untuk menyelesaikan kuliah di SGU selama 4 tahun, biaya yang harus dikeluarkan berkisar 220 juta sampai 300 juta. Atau bila kita hitung dalam satuan bulan, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sekitar 4 juta sampai 6 juta per bulan. Besarannya berbeda tergantung jurusan yang diambil. Sekilas mungkin memang nominalnya terlihat sangat besar, tapi coba kita lihat lebih detail. Di Indonesia, untuk sekolah tingkat Taman Kanak-kanak saja, yang mengaku internasional, yang menggunakan bahasa Inggris dalam kegiatan sehari-harinya, biaya berkisar antara 3 juta sampai 5 juta per bulan. Itu hanya untuk tingkat taman kanak-kanak, yang tenaga pengajarnya tidak perlu bergelar master, doktor atau profesor. Hanya taman kanak-kanak yang tidak perlu melakukan akreditasi nasional mauoun internasional. Hanya taman kanak-kanak yang tidak perlu menyediakan fasilitas penunjang penelitian. Tidak jauh berbeda bukan nominal biaya perbulannya?

Coba kita lihat lebih detail lagi. Di SGU, para mahasiswa akan mendapatkan pelajaran wajib bahasa Inggris dan Bahasa Jerman setiap minggunya secara intensif hingga lulus. Pada umumnya biaya kursus bahasa Inggris atau Jerman secara intensif adalah berkisar mungkin bisa mencapai 2 juta rupiah per bulan. Artinya, di SGU dengan biaya 4 juta sampai 6 juta rupiah per bulan, mahasiswa sudah mendapatkan kesempatan kuliah dengan standar internasional, pengalaman menaklukan Eropa di Waktu yang tepat, dan juga kemampuan berbahasa Inggris dan Jerman yang kalau harus kursus, biaya perbulannya saja total sudah sekitar 4 juta per bulan (untuk 2 bahasa). Selain itu, mahasiswa yang lulus dari SGU akan mendapatkan 2 gelar dan 2 ijazah, yaitu gelar dan ijazah dari Indonesia serta gelar dan ijazah dari Eropa.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Konflik dengan PT. BSD -- Sinar Mas

Pada beberapa waktu belakangan ini, mungkin kita sering mendengar tentang SGU yang sedang berkonflik dengan PT. BSD - Sinar Mas terkait sengketa lahan. Bagi penulis, para pembaca tidak perlu repot-repot dan membuang-buang tenaga dan waktu untuk browsing-browsing dan mencari berita-berita di internet tentang masalah ini, karena kita semua sudah tahu bahwa SGU adalah sebuah institusi pendidikan, dan lawan konfliknya adalah sebuah konglomerasi yang tindak-tanduk serta hitam-putihnya sudah diketahui oleh umum, sehingga mudah bagi kita untuk menentukan dalam konflik ini siapa yang terjebak dan siapa yang menjebak, siapa yang tertindas dan siapa yang menindas, serta siapa yang hitam dan siapa yang putih. 

Penulis tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar mengenai konflik ini, karena penulis yakin bahwa para pembaca sudah mengetahui jawabannya. Berita yang disebar bisa berbagai wujud meniup ke sana ke mari, tetapi kita semua sudah tahu harus ada di posisi mana dalam memandang saat ada konflik antara dunia pendidikan yang suci dengan dunia konglomerasi.

Yang perlu kita lihat sekarang adalah fakta bahwa SGU meskipun sudah terhantam konflik tersebut sudah memulai kehidupan barunya (sementara di Prominence Tower, Alam Sutera, selama 2 sampai 3 tahun hingga Gedung baru dan sarana pendukung bisa ditempati). Dan konflik tersebut tidak mempengaruhi sama sekali terhadap kualitas SGU (mahasiswa tetap berprestasi di ajang nasional dan internasional, banyak penelitian SGU mendapatkan dana bantuan dari pemerintah, inkubator bisnis SGU berkali-kali mendapatkan bantuan modal start up bussiness, banyak penelitian-penelitian SGU yang diterima publikasi di level internasional, banyak alumni SGU yang mendapatkan beasiswa dari dalam negeri maupun luar negeri), tidak mempengaruhi kepercayaan para mitra di Eropa (awal tahun 2017, ratusan mahasiswa SGU memulai perjalanan menaklukan Eropa, dan alumni SGU tetap laris diterima kuliah maupun berkarir di Eropa), tidak mempengaruhi kepercayaan mitra di dalam negeri (alumni-alumni SGU masih dan akan selalu dipercaya untuk menjadi andalan perusahaan-perusahaan nasional maupun internasional di dalam negeri), semuanya masih sama seperti SGU yang dulu, tidak berkurang sdikitpun dibandingkan dengan sebelum konflik terjadi. Jadi hal ini tidak perlu mempengaruhi pandangan kita terhadap SGU, karena memang tidak berhubungan sama sekali dengan kualitas SGU dalam mendidik mahasiswa.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
koleksi pribadi
koleksi pribadi
Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi dari beberapa mahasiswa SGU yang dipublikasikan di halaman Facebook mereka.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun