Sebenarnya tulisan ini pernah saya publikasikan beberapa waktu yang lalu, namun entah kenapa ketika tampilan kompasiana berubah, tulisan ini menghilang dari Profil saya. Berikut adalah tulisan tersebut.
Klub Profesional
Mungkin di kalangan pecinta sepak bola Indonesia, kata profesional menjadi salah satu kata yang paling sering terdengar beberapa waktu belakangan ini. Kata profesional tersebut biasanya bersanding dengan kata-kata lain seperti pemain profesional, klub profesional, liga profesional dan lain-lain. Secara bahasa, profesional berarti kemampuan yang menjadi profesi dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya, dan lawan katanya adalah amatir. Jadi saat kita mencuci piring dan kita mendapat bayaran dari mencuci piring tersebut maka kita adalah pencuci piring profesional. Namun tidak demikian dengan istilah profesional di dalam dunia sepakbola, dengan bermain sepakbola dan mendapatkan bayaran dari kegiatan tersebut, tidaklah cukup untuk membuat seseorang bisa disebut pemain sepakbola profesional.
Pemain sepakbola profesional adalah pemain sepakbola yang memilki kontrak kerja dengan sebuah klub sepakbola profesional. Jadi mau sebesar apapun bayaran seorang pemain sepakbola, atau mau sehebat apapun seorang pemain sepakbola, bila ia tidak memiliki kontrak kerja dengan sebuah klub profesional, maka pemain tersebut tetaplah masuk kategori pemain sepakbola amatir.
Ya, memang tidak pernah ada hubungan langsung antara status profesional dengan kualitas seorang pemain sepakbola. Sebagai contoh, masih hangat di ingatan kita bagaimana sebuah klub amatir di Spanyol yang bernama Mirandes, bisa menembus Copa del Rey hingga fase 4 besar (semifinal). Jadi sangatlah salah paradigma berpikir kita yang selalu memposisikan level amatir di kepala kita pada posisi yang sangat rendah hingga sering kali kata amatir dijadikan sebagai cibiran untuk sebuah penampilan yang buruk dari para pesepakbola kita, karena yakinlah amatir itu tidak identik dengan kejelakan.
Bila pemain sepakbola profesional adalah yang “bermain” di klub profesional, maka muncul pertanyaan, lalu apa yang dimaksud dengan klub sepakbola profesional?. Jawaban dari pertanyaan tersebut sangatlah sederhana, klub sepakbola profesional adalah klub sepakbola yang bermain di kompetisi level profesional sebuah negara. Jadi bila ada sebuah klub yang sudah diberi kewenangan untuk bermain di kompetisi level profesional sebuah negara, maka tidak perlu diributkan bahwa klub tersebut adalah sebuah klub profesional. Namun memang setiap penyelenggara kompetisi level profesional sebuah negara berhak membuat persyaratan masing-masing untuk sebuah klub bisa ikut dalam kompetisi level profesional yang mereka selenggarakan, jadi tidaklah aneh bila ada perbedaan persyaratan yang dimiliki kompetisi di suatu negara dengan negara yang lain. Namun keseragaman dari persyaratan bisa terjadi bila suatu negara berniat ikut andil mengirimkan klub perwakilan untuk berpartisipasi pada event skala konfederasi, misalkan AFC Cup dan AFC Champions League untuk wilayah Asia. Karena biasanya setiap konfederasi memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah klub agar bisa ikut berpartisipasi.
Untuk wilayah Asia, AFC memiliki tujuan khusus dalam pengembangan sepakbola Asia yang tertuang pada syarat atau kriteria untuk menilai sebuah klub profesional. Kriteria tersebut yaitu pada poin pengembangan pemain muda. Terdengar klise memang, namun memang itulah faktor terbesar yang bisa mempengaruhi perkembangan sepakbola di suatu negara, dan hal tersebut masih belum dipahami secara baik oleh banyak negara di Asia, berbeda dengan di negara-negara Eropa yang sepakbola sudah maju, pengembangan pemain muda seperti sudah menjadi kebutuhan, jadi mereka tidak perlu repot-repot memaksa dengan menuangkannya ke dalam kriteria penilaian. Kita ambil contoh saja dengan apa yang terjadi di Kompetisi Sepakbola di India (I-League), saat Federasi sepakbola India berniat untuk melakukan perbaikan pada kompetisi mereka, maka mereka bekerja sama dengan AFC untuk melakukan penilaian pada klub-klub yang ada di sana. Fakta yang didapat, menunjukan bahwa klub-klub di sana memang melakukan pembinaan kepada pemain muda, namun dengan porsi perhatian yang sangat kurang, karena kebanyakan klub memfokuskan pendanaannya pada pembayaran gaji pemain, setiap klub berlomba-lomba “membeli” pemain dan hanya melakukan pembinaan pemain muda “seadanya” (mirip dengan di negara kita). Untuk mengatasi hal tersebut, AFC menganjurkan kompetisi di India memberlakukan sistem Salary Caps. Sistem ini akan mengatur porsi pengeluaran klub dalam bentuk persen yang sudah disepakati bersama, misalkan sekian persen dana yang dimiliki untuk pembayaran gaji, sekian persen untuk pembinaan, sekian persen untuk marketing, dan lain-lain. Peraturan ini akan “memaksa” klub-klub untuk bisa memperhatikan pembinaan pemain muda pada kapasitas yang benar.
Jadi Klub Profesional Itu Susah?
Bila kita menjawab pertanyaan di atas hanya berdasarkan melihat keadaan yang tergambar pada sepakbola kita sekarang, sulit mencari dana, maka pasti kita akan langsung menjawab “SUSAH”. Padahal sebenarnya tidak lah sesulit itu untuk menjadi klub profesional. Semua menjadi terlihat begitu sulit karena mungkin memang ada pihak-pihak yang sengaja membuat seolah-olah menjadi klub profesional itu sangat sulit, hingga orang-orang akan mulai berpikir bahwa belum waktunya sepakbola kita lepas dari cara lama dalam kelola klub sepakbola (cara pendanaan dan lain-lain).
Untuk memahami sulit atau tidaknya menjadi klub profesional, kita bisa melihat pada sejarah klub Almere City FC, klub yang bermain di divisi dua Belanda, tempat pemain kita Stefano Lilipaly bermain. “Almere City FC merupakan sebuah klub profesional yang sebelumnya merupakan klub amatir. Almere City FC memulai usahanya menjadi klub profesional pada tahun 2001, pada saat itu masih bernama FC Omniworld. Klub profesional ingin dibentuk atas usaha sebuah konsorsium yang menginginkan adanya klub sepakbola profesional di kota Almere. Mereka mencoba mengajukan diri sebagai klub profesional pada tahun 2004, namun ditolak karena dewan kota Almere ikut terlibat di dalam konsorsium (mungkin kalau di kita, ini seperti klub yang masih menggunakan APBD). Akhirnya mereka berhasil mendapatkan investor privat untuk klub di awal tahun 2005 dan mereka bisa melengkapi semua persyaratan yang diberikan oleh pihak federasi di Belanda. Maka di tahun itu pula Almere City FC memulai debut mereka di divisi dua Belanda. Sejak memulai debut, Almere seperti kesulitan untuk bersaing dengan tim-tim lainnya di kompetisi tersebut. Jumlah anggaran yang tidak seberapa, menyulitkan Almere untuk bisa merekrut pemain-pemain dengan kualitas yang diinginkan. Hal tersebut sangatlah wajar, karena Almere hanya memiliki stadion yang berkapasitas 3000 kursi, yang tentu saja merupakan kapasitas yang sangat kurang untuk menjadikan Almere sebagai klub yang cukup punya nilai di mata sponsor, selain tentunya pemasukan dari tiket yang sangat kecil.”
Bila kita menyimak kondisi Almere City FC, dan membandingkannya dengan keadaan klub-klub di Negara kita, kita ambil saja contoh klub Persija, maka “seharusnya” dengan animo suporter yang sangat besar, Persija akan dengan sangat mudah berubah dari klub amatir menjadi klub profesional. Karena dengan basis suporter yang besar, maka klub memiliki nilai tawar yang sangat tinggi kepada para investor ataupun sponsor. Jadi boleh lah kita mengatakan bahwa menjadi klub profesional itu MUDAH, asalkan semuanya kembali “menormalkan” keadaan.
Nunggak Gaji Itu Tidak Fair Play
Salah satu dari poin penilaian untuk sebuah klub profesional adalah keseimbangan neraca keuangan, dan ini berlaku di semua kompetisi sepakbola profesional. Maksud dari persyaratan ini simpelnya adalah sebuah klub tidak boleh memiliki pengeluaran yang melebihi pemasukan, dan tentu saja berdasarkan peraturan ini maka nunggak gaji merupakan sesuatu hal yang “diharamkan”. Memangnya apa hubungannya keuangan yang “sehat” dengan profesionalisme?. Jawaban paling pertama dari pertanyaan tersebut adalah karena prinsip profesionalisme adalah adanya bayaran dari sebuah kegiatan. Klub dengan keuangan yang sehat akan menjamin bahwa klub tersebut dapat memenuhi kewajibannya kepada para pemain yaitu membayar gaji dan kontrak. Jawaban kedua adalah karena Klub dengan pengeluaran yang melebihi pemasukan berarti sudah berlaku curang atau tidak Fair Play terhadap klub lain, dan tentu saja profesionalisme dalam sepakbola selalu menjunjung tinggi semangat Fair Play. Agar lebih jelas tentang hubungan antara keuangan yang sehat dengan curang atau tidak Fair Play, maka sebaiknya kita simak perumpamaan berikut. “Mungkin masih hangat di ingatan kita berita tentang klub Persija yang nunggak gaji pemainnya, yang itu berarti di dalam neraca keuangan Persija, pengeluaran klub lebih besar dibandingkan pemasukan klub. Misalkan di akhir kompetisi ISL, Persija berada di urutan 4 dari 18 klub yang ikut kompetisi. Jauh lebih baik dari posisi Persiwa Wamena yang hanya menempati posisi 12. Pemain-pemain berlabel Timnas yang dimiliki Persija membuat klub tersebut bisa bersaing lebih baik ketibang Persiwa Wamena yang hanya mengoptimalkan para pemain lokal papua.”
Melihat fakta perumpamaan di atas, bahwa “sebenarnya” Persija tidak mampu secara keungan untuk dihuni oleh para pemain berlabel timnas namun memaksakan diri dan pada akhirnya nunggak gaji pemain, sedangkan Persiwa yang terpaksa harus menahan diri untuk tidak menggunakan pemain berlabel timnas karena demi menjaga kesehatan keuangan, maka apakah Persija sudah berlaku Fair kepada Persiwa? Tentu saja jawabannya adalah TIDAK, karena siapa yang bisa menjamin bahwa Persija bisa lebih baik dari Persiwa bila Persija juga tidak memaksakan diri untuk “berbelanja” pemain melebihi dana yang dimiliki. Bila permasalahan keuangan ini tidak dimasukan ke dalam poin penilaian klub profesional, maka mungkin kita akan melihat judul berita di surat kabar menjadi seperti ini “Norwich City mendatangkan Messi, Palermo mendapatkan CR7”, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena klub sudah tidak lagi melihat keadaan keuangan untuk melakukan aksi di bursa transfer, semuanya bisa “dibeli”, soal bayar, itu dipikirkan belakangan, hingga semuanya menjadi tidak logis, dan akan tidak ada batasan yang jelas antara yang mana klub besar dan yang mana klub kecil. Tentu saja keadaan ini akan merusak inti dari perkembangan dan pembinaan di dalam olahraga, yaitu persaingan yang sehat. Lucu bukan? Namun percayalah, hal itulah yang selama ini terjadi di sepakbola kita, kita tidak bisa membedakan mana yang klub besar dan mana klub yang “kelihatannya” besar, persaingan menjadi tidak sehat dan tentu saja pada akhirnya perkembangan sepakbola kita yang terhambat.
Mau Sepakbola Kita Maju? Mudah Kok.
Bila kita menginginkan sepakbola kita menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, itu bukan hal yang sulit. Berdasarkan paparan di atas, maka kita cukup “menormalkan” keadaan, hingga klub akan mudah mendapatkan dana dengan menjadikan besarnya animo suporter sebagai nilai tawar yang berharga di mata investor atau sponsor, dan satu lagi, cukup taati peraturan-peraturan yang sudah dibuat untuk klub profesional, karena sesungguhnya peraturan tersebut sudah dibuat sedemikian rupa agar sepakbola berlangsung pada arah yang benar, baik itu peraturan yang berkaitan dengan teknis, finansial, ataupun administratif. Tidak perlulah energi kita dihabiskan untuk meributkan hal-hal yang sebenarnya tidak signifikan terhadap kualitas sepakbolanya itu sendiri, tentang jumlah klub lah, tentang inilah, tenatng itulah, tentang apalah. Kata terakhir dari saya, “apapun alasannya, tetap akur itu lebih baik.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H