Nunggak Gaji Itu Tidak Fair Play
Salah satu dari poin penilaian untuk sebuah klub profesional adalah keseimbangan neraca keuangan, dan ini berlaku di semua kompetisi sepakbola profesional. Maksud dari persyaratan ini simpelnya adalah sebuah klub tidak boleh memiliki pengeluaran yang melebihi pemasukan, dan tentu saja berdasarkan peraturan ini maka nunggak gaji merupakan sesuatu hal yang “diharamkan”. Memangnya apa hubungannya keuangan yang “sehat” dengan profesionalisme?. Jawaban paling pertama dari pertanyaan tersebut adalah karena prinsip profesionalisme adalah adanya bayaran dari sebuah kegiatan. Klub dengan keuangan yang sehat akan menjamin bahwa klub tersebut dapat memenuhi kewajibannya kepada para pemain yaitu membayar gaji dan kontrak. Jawaban kedua adalah karena Klub dengan pengeluaran yang melebihi pemasukan berarti sudah berlaku curang atau tidak Fair Play terhadap klub lain, dan tentu saja profesionalisme dalam sepakbola selalu menjunjung tinggi semangat Fair Play. Agar lebih jelas tentang hubungan antara keuangan yang sehat dengan curang atau tidak Fair Play, maka sebaiknya kita simak perumpamaan berikut. “Mungkin masih hangat di ingatan kita berita tentang klub Persija yang nunggak gaji pemainnya, yang itu berarti di dalam neraca keuangan Persija, pengeluaran klub lebih besar dibandingkan pemasukan klub. Misalkan di akhir kompetisi ISL, Persija berada di urutan 4 dari 18 klub yang ikut kompetisi. Jauh lebih baik dari posisi Persiwa Wamena yang hanya menempati posisi 12. Pemain-pemain berlabel Timnas yang dimiliki Persija membuat klub tersebut bisa bersaing lebih baik ketibang Persiwa Wamena yang hanya mengoptimalkan para pemain lokal papua.”
Melihat fakta perumpamaan di atas, bahwa “sebenarnya” Persija tidak mampu secara keungan untuk dihuni oleh para pemain berlabel timnas namun memaksakan diri dan pada akhirnya nunggak gaji pemain, sedangkan Persiwa yang terpaksa harus menahan diri untuk tidak menggunakan pemain berlabel timnas karena demi menjaga kesehatan keuangan, maka apakah Persija sudah berlaku Fair kepada Persiwa? Tentu saja jawabannya adalah TIDAK, karena siapa yang bisa menjamin bahwa Persija bisa lebih baik dari Persiwa bila Persija juga tidak memaksakan diri untuk “berbelanja” pemain melebihi dana yang dimiliki. Bila permasalahan keuangan ini tidak dimasukan ke dalam poin penilaian klub profesional, maka mungkin kita akan melihat judul berita di surat kabar menjadi seperti ini “Norwich City mendatangkan Messi, Palermo mendapatkan CR7”, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena klub sudah tidak lagi melihat keadaan keuangan untuk melakukan aksi di bursa transfer, semuanya bisa “dibeli”, soal bayar, itu dipikirkan belakangan, hingga semuanya menjadi tidak logis, dan akan tidak ada batasan yang jelas antara yang mana klub besar dan yang mana klub kecil. Tentu saja keadaan ini akan merusak inti dari perkembangan dan pembinaan di dalam olahraga, yaitu persaingan yang sehat. Lucu bukan? Namun percayalah, hal itulah yang selama ini terjadi di sepakbola kita, kita tidak bisa membedakan mana yang klub besar dan mana klub yang “kelihatannya” besar, persaingan menjadi tidak sehat dan tentu saja pada akhirnya perkembangan sepakbola kita yang terhambat.
Mau Sepakbola Kita Maju? Mudah Kok.
Bila kita menginginkan sepakbola kita menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, itu bukan hal yang sulit. Berdasarkan paparan di atas, maka kita cukup “menormalkan” keadaan, hingga klub akan mudah mendapatkan dana dengan menjadikan besarnya animo suporter sebagai nilai tawar yang berharga di mata investor atau sponsor, dan satu lagi, cukup taati peraturan-peraturan yang sudah dibuat untuk klub profesional, karena sesungguhnya peraturan tersebut sudah dibuat sedemikian rupa agar sepakbola berlangsung pada arah yang benar, baik itu peraturan yang berkaitan dengan teknis, finansial, ataupun administratif. Tidak perlulah energi kita dihabiskan untuk meributkan hal-hal yang sebenarnya tidak signifikan terhadap kualitas sepakbolanya itu sendiri, tentang jumlah klub lah, tentang inilah, tenatng itulah, tentang apalah. Kata terakhir dari saya, “apapun alasannya, tetap akur itu lebih baik.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H