Peristiwa itu terjadi di rumah saya, Tanjung Balai, Asahan, Sumut, 19 September 2010. Dua orang sahabat saya, Yuki Wantoro (20) dan Deny (25), tewas ditempat. Yuki dan Deny berasal dari Solo. Saya bersama Jumirin, asli Tanjung Balai, ditangkap dan dibawa ke Makobrimob, Depok.
Peristiwa yang terjadi disaat Maghrib itu, sontak menggegerkan seantero negeri. Tidak kurang Kapolri, waktu itu Bambang Hendarso Danuri, menyebut saya sebagai “otak” perampokan bank CIMB Medan (18 Agustus 2010) dan penyerangan Polsek Hamparan Perak (21 September 2010). Malahan, karena saya lama domisili di Malaysia, Kapolri menyebut saya sebagai “teroris” internasional yang terkait dengan Noorden M Top.
Peristiwa berdarah yang kemudian merenggut banyak korban itu, baik dari kalangan aparat maupun terduga teroris, langsung dipimpin oleh Kadensu 88, waktu itu Brigjen Tito Karnavian. Dua hari setelah kejadian, 21 September 2010, saya langsung dijumpakan dengan sang Jenderal di sebuah ruangan penyidik, masih dengan sisa-sisa bengkak di kepala saya karena sentuhan benda tumpul dan kaki yang mengesot seperti kain pel.
Tidak ada yang kami bicarakan waktu pertemuan, entah disengaja ataupun tak terduga itu. Hanya selintas senyum yang saya lemparkan, dibalas senyum hangat oleh Jendral Tito. Dalam hati saya berkata, oh inilah rupanya orang yang menggerebek rumah saya yang menyebabkan tewasnya dua sahabat saya.
Beberapa hari pasca kejadian, barulah saya paham mengapa Densus 88 memuntahkan peluru-peluru tak bermata dan bernurani, setelah Jenderal Tito mengatakan kepada saya, “Kami menembak karena kami sedang berhadapan dengan orang-orang yang bukan memegang roti, melainkan senjata.” Oh, pantas. Saya pun maklum, karena kalau bukan Densus 88 yang mati, ya pasti kami. Ibarat di medan perang, pasti ada salah satu pihak yang kalah atau menang.
Singkat cerita, saya pun diinterogasi dan disidik di Makobrimob, Depok, Jawa Barat, dari September sampai Desember 2010. Selama masa penyidikan yang mendebarkan itu, Alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan dua buku yang fenomenal dan sebuah novel, yaitu Aksi Perampokan Bukan Fa’i, Mereka Bukan Thogut dan Kabut Jihad. Tidak tanggung-tanggung, ketiga buku tersebut di-launching oleh Tito Karnavian di tiga hotel, yaitu hotel Madani (2011), Borobudur (2012) dan Sahid (2012). Bahkan Tito dan kepala BNPT, waktu itu Ansyad Mbai, hadir dan membuka launching yang dibedah oleh Prof Sarlito Wirawan Sarwono, ketua majlis fatwa MUI Prof Muhammad Baharun, mantan teroris Nasir Abas, Abu Rusydan dan Abdul Rahman Ayyub.
Artinya, walaupun waktu itu Tito Karnavian bertugas sebagai Kadensus 88 dan kemudian Deputi II BNPT, namun jiwa leadershipnya sangat kental terhadap orang-orang dibawah kendalinya, atau tegasnya terhadap terduga teroris yang ditangkapnya. Dia memastikan kebebasan berekspresi, dan membangun kultur polisi ke arah yang lebih humanis dan mengayomi masyarakat. Saya bersama puluhan kawan lainnya di tahanan Makobrimob, Depok, turut merasakan sentuhan kebijakannya yang piawai terhadap tahanan yang terstigma sebagai teroris. Misalnya, karena hobi saya menulis buku-buku agama, beliau menawarkan sebuah “laptop” kepada saya agar bisa menuangkan ide-ide untuk kemaslahatan bersama. Tanpa membuang-buang waktu, saya pun menerima tawaran tersebut, dan sebuah laptop segera menembus jeruji besi dan memecah keheningan penjara yang biasa kami jadikan sebagai tempati’tikaf. Hasilnya, sebagaimana buku-buku saya di atas, turut menambah khazanah perpustakaan bangsa terhadap counter terorisme.
Selama berkarier di kepolisian, nama Tito dikenal sebagai polisi andal dalam memburu teroris. Mulai dari dr Azahari hingga Noordin M Top, Tito terlibat dalam operasi pengejaran dan penangkapannya. Dan saat Tito menjabat Kapolda Metro, Januari 2016 lalu, terjadi serangan bom di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat. Berkat kesigapan Tito dan jajarannya, teroris yang belakangan diketahui sebagai jaringan ISIS itu bisa dilumpuhkan dalam waktu 21 menit.
Apakah perburuan terhadap pelaku teror yang demikian agresif, termasuk terhadap saya dkk di tahun 2010, berarti Tito anti-Islam? Berdasarkan pengalaman saya saat bersama Tito pada awal penangkapan dan penyidikan di Makobrimob, penangkapan dan pengejaran kepada pelaku terorisme untuk penegakkan hukum dan memberantas kejahatan bukan berarti Tito menganut Islam phobi. Buktinya, saat intensifnya penyidikan terhadap saya, Tito malah kerap mengingatkan saya waktu-waktu sholat dan berbuka puasa. Ini menyebabkan saya tak meragukan sosok Tito yang sudah dua kali naik haji dan umrah lima kali. Apalagi Tito, anak dan istrinya, adalah pemeluk Islam yang taat.
Pernah suatu kali, ketika saya diboyong ke Medan untuk memastikan mayat kawan-kawan saya yang tewas diujung senjata Densus 88, malamnya saya diinapkan di hotel JW Marriot. Lama berdiskusi dengan Tito di hotel berbintang 5 itu, tangan saya tidak digari. Saya sholat, tidur dan berbuka puasa selama dua hari dua malam didampingi beberapa orang anggota Densus, juga tanpa digari. Lama kami berdiskusi tentang Islam, yang menunjukkan bahwa pemahaman Tito tentang Islam lumayan dalam. Saya mengusulkan kepada beliau untuk menulis novel tentang peristiwa perampokan berdarah CIMB, penyerangan Polsek Hamparan Perak dan pelatihan militer di Jantho, Aceh. Tito memberi apresiasi. Hasilnya, terbitlah novel perdana saya, Kabut Jihad (Pustaka Bayan, Bandung 2012).
Novel yang saya tulis dari dalam jeruji penjara ini, sesungguhnya bercerita tentang akidah yang berbenturan antara aliran radikal dengan moderat. Namun tak berdaya menghadapi sebuah anarkhisme teroris yang sedemikian kuat dan menggurita di jiwa pelaku-pelakunya. Tetapi lewat dialog tokoh-tokohnya, saya mengembalikan tradisi sastra sebagai perlawanan terhadap aksi-aksi terorisme dan kekerasan dalam masyarakat. Artinya, kita bukan hanya melawan, tapi juga mengatasi terorisme dengan sastra. Karena novel ini juga berisi penyesalan orang-orang yang terpaksa meringkuk di dalam penjara, dan juga anak-anak dan wanita (istri) yang menjadi korban akidah yang radikal itu.
Terorisme yang terjadi dewasa ini dilakukan oknum tertentu yang kehilangan kesadaran, sehingga terorisme tidak hanya menghancurkan bangunan gedung dan membunuh manusia yang bergelimpangan, namun juga telah membunuh nalar dan moral kemanusiaan yang dibangun para pendahulu kita. Nah, novel yang saya tulis ini menyuarakan nilai-nilai Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian, yang mendorong keberagamaan yang ramah sehingga diharapkan mampu memberikan pemaknaan yang progresif atas doktrin keagamaan. Doktrin agama yang selama ini dipahami adalah bersifat simplistik, literalistik, dan reduksionis. Model literalistik inilah yang membentuk karakter Muslim yang arogan dalam memahami teks. Untuk itu perlu pemahaman yang progresif, di mana doktrin dimaknai sebagai cahaya yang membebaskan bukan mencekam. Novel ini menghadirkan keberagamaan yang radikal-fundamental (yang bercorak keras dan marah) menuju wajah keberagamaan yang ramah, sejuk, penuh kedamaian, dan mengantarkan kepada pemahaman umat yang progresif, egaliter, dan tranformatif.
Intinya, pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan berbagai cara. Selain penindakan hukum, pencegahan harus mendapat skala prioritas, terutama dengan menumbuhkan kesadaran. Nah, sastra merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, apalagi di tengah bombardir berita yang sifatnya hanya jangka pendek, maka sastra menyimpan khazanah intelektual dan pencegahan jangka panjang. Karena novel ini memuat alur cerita yang bisa meluruskan makna jihad yang sebenarnya. Lebih-lebih karena novel ini ditulis langsung oleh pelaku sejarah dari balik jeruji penjara, sehingga pesan-pesan yang disampaikannya terasa lebih adil dan profesional, agar jejak para teroris tidak semakin diikuti, dan habitatnya kian punah.
Selamat bertugas, Pak Tito. Bebanmu semakin berat, tetapi kemampun memikul beban itulah seni, life is astruggle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H