Mohon tunggu...
Abu Yasin
Abu Yasin Mohon Tunggu... wiraswasta -

penulis apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Menko Polhukam

24 Maret 2016   14:34 Diperbarui: 24 Maret 2016   15:08 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat Terbuka Untuk Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Terkait Ponpes Khusus Untuk Anak-anak Mantan dan Napi Jihadis dan Keluarganya

Pondok Pesantren Darusy Syifa’ di Medan, baru-baru ini (16/1/2016) mengadakan peletakan batu pertamanya oleh Kepala BNPT Komjen Pol Drs Saud Usman Nasution (sekarang mantan kepala BNPT), yang turut dihadiri oleh unsur Muspida Plus Propinsi Sumut. Keistimewaan Ponpes ini adalah dikhususkan untuk anak-anak mantan dan napi teroris serta keluarganya, terletak di desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumut.

Mengapa disebut ponpes khusus untuk anak-anak mantan dan napi teroris? Karena berbagai media massa mengangkat issu seputar anak-anak negeri ini: ada yang kena penyakit aneh, ada yang menjadi pekerja atau buruh anak, ada yang terjangkiti narkoba, dan ada pula anak-anak yang dilacurkan oleh orang tuanya sendiri. Tapi ada satu yang terlewat, anak-anak korban terorisme. Mereka yang menjadi yatim, karena ayah mereka ditangkap aparat atau meninggal tertembak karena diduga teroris. Tak ada satu pun media, lembaga ataupun organisasi yang mengangkatnya.

Rasakan dalam jiwa kita yang paling dalam dan bayangkan bila kita adalah anak-anak yang dituduh teroris oleh negara dan masyarakat. Dicibir, dipinggirkan bahkan diintimidasi secara psikologi. Tak bolehkah mereka sama seperti kita yang hidup tanpa stigma yang melekat dijidat, bercengkrama tanpa ada rasa curiga dan mata yang selalu melihat dengan tatapan menghina.

Mungkin itu hanya mimpi kita saja, karena masyarakat yang tidak pernah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa dan media, bahwa teroris harus dibasmi bahkan anak-cucunya pun mendapat perlakuan yang sama.

Kita bisa menyaksikan kondisi anak-anak dimana orang tuanya menjadi pengikut gerakan radikal terorisme. Sikap orang tua yang berubah akibat berada di bawah pengaruh paham radikal membuat anak-anak juga ikut terbawa. Anak-anak pengikut aliran radikal ini secara tidak langsung sudah terpengaruh paham radikal. Dikhawatirkan, apabila hal tersebut dibiarkan maka paham radikal dapat tertanam sejak dini dengan mempengaruhi perilaku anak-anak.

Terlepas dari ideologi mereka yang disebut "teroris", tanpa kita sadari nasib dan cara pandang mereka akan membentuk karakter bangsa pula, karena mereka adalah manusia-manusia Indonesia, sang penerus estafet kemerdekaan negeri ini.

Berangkat dari fenomena itu, beberapa orang mantan napi teroris yang berasal dari Sumut, tergerak hati untuk memikirkan nasib pendidikan anak-anak mantan dan napi teroris yang selama ini telah “ditelantarkan” oleh Negara. Selama ini pemerintah hanya fokus pada penangkapan terduga teroris saja dan memenjarakan mereka, tapi belum memberi perhatian cukup kepada anak-anak dan keluarga mereka yang turut terkena dampaknya baik secara psikologi maupun ekonomi. Sehingga dirasa mendesak pendidikan khusus (dalam hal ini Ponpes Darusy Syifa’ di Medan) untuk penanganan anak-anak korban radikalisasi.

Ponpes khusus untuk anak-anak mantan dan napi teroris dimaksudkan agar kita semua yang sudah lelah dengan konsep-konsep dan program-program – mungkin karena kita sudah terbiasa dengan karakter dan budaya kita yang salah, “lain yang diucapkan lain pula yang dikerjakan” –merealisasikan konsep-konsep tersebut agar tidak sekedar wacana. 

Karena itu sekarang kita membutuhkan orang-orang yang melaksanakan kata-kata, datangi anak-istri para korban stigma teroris, beri mereka apa yang kita bisa berikan kepada mereka, terutama “pendidikan gratis”, itulah kewajiban kita sebagai manusia yang masih punya rasa ukhuwah, bahwa keluarga yang ditinggalkan para tersangka teroris, baik yang ditembak aparat maupun yang mendekam dipenjara adalah keluarga kita juga.

Ketahuilah, walaupun belum ada data yang valid tentang jumlah anak-anak teroris di Indonesia, baik yang orangtuanya ditahan maupun meninggal dunia, namun diprediksi anak-anak teroris itu mencapai lebih 20.000 orang. Mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, ada yang terpaksa bekerja sebagai buruh anak, bahkan ada di antaranya yang putus sekolah. Jika dibiarkan, bisa mengarah ke pelanggaran HAM secara sistematis, karena negara bertanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anak usia sekolah dalam program “Wajib Belajar”.

Padahal, anak seorang teroris tidak secara otomatis bisa digolongkan sebagai teroris, apalagi mereka masih di bawah umur. Demikian pula istri seorang teroris tidak secara otomatis dimasukkan ke dalam kelompok teroris, sebab yang bersalah adalah suaminya bukan istrinya. Dengan demikian istri dan anak teroris yang mendapat stigma sebagai keluarga teroris, tidak sepantasnya mendapat hukuman social sebagaimana yang dialami suami/bapak mereka.

Celakanya, tatkala acara peletakan “batu pertama” ponpes tersebut, yang dilakukan oleh Kepala BNPT (waktu itu) Komjen Pol Drs Saud Usman Nasution dan unsur Muspida Plus Propinsi Sumut, sekaligus menjadi “batu terakhir”. Alasan yang dikemukakan oleh mantan Kepala BNPT tersebut adalah, Pesantren menjadi domainnya Kementerian Agama bukan BNPT. Astaghfirullah!

Padahal, ide-ide yang dilakukan oleh ponpes Darusy Syifa’ tersebut bisa “memutus” mata rantai radikal terorisme ke depannya, dengan merubah mindset anak-anak mantan dan napi teroris yang sudah terlanjur menyimpan dendam dalam memori ingatan mereka. Masih lupakah kita bagaimana sang ayah “mewarisi” semangat radikalis teroris kepada anak-anaknya? Ambil contoh anak Imam Samudera dan Abu Jibril yang tewas di Suriah karena bergabung dengan ISIS, ini membuktikan ada jaringan yang terhubung antara orangtua dengan anaknya, untuk juga menjadi teroris.

Nah, ponpes Darusy Syifa’ merupakan satu-satunya di Indonesia yang tengah berjuang mengumpulkan anak-anak mantan dan napi teroris untuk dididik dengan sistem pendidikan gratis berbasis “Pesantren”, agar mereka tidak lagi mengikuti jejak ayah/bapaknya dengan melakukan jihad yang salah. Namun ironinya, lembaga negara seperti BNPT yang seharusnya bertanggungjawab terhadap nasib anak-anak dan keluarga mantan dan napi teroris, justru “menutup mata” terhadap realitas ini dan menggunakan anggaran untuk program-program mubazir yang sama sekali tidak menyentuh visi dan misinya.

Sekali lagi, inilah surat terbuka untuk Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, agar – sesuai dengan program Kabinet Kerja yang terkenal dengan gaya “blusukan” – datang dan tengoklah Ponpes Darusy Syifa’ di Medan yang mendidik anak-anak mantan dan napi teroris, agar tidak ada lagi terdengar “anak mantan teroris melakukan tindak pidana teroris”, agar terorisme tidak berlanjut hingga ke anak cucu!

Wassalam Saya,

Abu Yasin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun