Mohon tunggu...
Abuya IrfanRahman
Abuya IrfanRahman Mohon Tunggu... Guru - Owner Sekolah Alam Dharmasraya

Nama : Irfan Rahman, Lc TTL : Tj. Barulak, 05 Februari 1986 Pendidikan : - TK Aisyiah Bustanul Anfal - SDN 26 Balai Baru - MTsN Tanjung Barulak - MAPK Koto Baru Padang Panjang - Universitas Al-Azhar Cairo Mesir Alamat : Jorong Lambau Nagari Sungai Kambut Kec. Pulau Punjung - Kabupaten Dharmasraya - Provinsi Sumatera Barat Share !

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Legenda Batu Agung - Cerita Rakyat Kampung Surau Dharmasraya

2 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 2 Mei 2023   13:56 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Di Kampung Surau hiduplah sebuah keluarga miskin di sebuah gubuk dekat aliran sungai. Gubuk kecil itu dihuni oleh seorang Ibu yang sudah paruh baya dan anak laki-lakinya yang masih belia. Negeri Kampung Surau yang damai ternyata tak sedamai hidupnya keluarga kecil itu. Suaminya yang telah tiada memaksa sang Ibu berjuang sendirian. Sang Ibu menghidupi anaknya dengan hasil tanaman yang ditanam disekitar gubuk. Walaupun anaknya tidak bisa ia sekolahkan layaknya anak-anak yang lain, namun sang Ibu tetap mengajari anaknya budaya dan kebiasaan yang baik di rumahnya. Hingga anak ini tumbuh menjadi seorang anak yang matang.

Suatu hari sang anak yang sudah berakal ini menatap langit biru. Melihat burung-burung yang bermain ria. Ia melamun membayangkan masa depan yang indah. Ia ingin merubah nasib keluarga dengan merantau ke negeri seberang, seperti kebanyakan anak muda lain di kampungnya. Pergi merantau dan pulang membawa harta untuk sang Ibu tercinta. Tak sengaja air matanya meleleh ketika melihat keadaan sang Ibu yang makin hari semakin tua. Menanggung beban dunia sendirian. Didalam hati ia bergumam, bahwa ia ingin pergi merantau ke negeri seberang.

Berselang beberapa hari, hatinya pun semakin kuat untuk mengadu nasib di tanah jawa. Niat itupun akhirnya diutarakan pada Ibunda. Dengan berat hati akhirnya sang Ibu pun mengizinkan. Mengingat sang anak berhak menentukan masa depannya.

Hari yang pilu pun tiba. Pagi itu, sang Ibu menyiapkan perbekalan untuk anaknya dengan muka mengiba. Satu demi satu kristal bening keluar dari sudut matanya. Bagaimana tidak, anak satu-satunya yang ia besarkan dengan keringat dan darah, kini akan pergi meninggalkannya. Baju, makanan dan beberapa logam rupiah disiapkan. Dibungkus dengan kain yang sudah mulai lusuh.

Dipinggir sungai ia melepas anaknya yang akan berlayar ke negeri seberang. Ibunda langsung memeluk putranya dengan erat seiring kapal yang membawa anaknya pergi sedang menepi. Pelukan terakhir seakan tak mau dilepas. Sang Ibu takut anaknya tak kembali. Berkali-kali ia ciumi anaknya dengan rasa cemas.


“Hati-hati di rantau urang Nak. Capek pulang kalau lah berhasil.” Itulah kata-kata terakhir yang terlontar dari mulut sang Ibu. Anaknyapun mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya kelu dan air matanya berlinang. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia bisa merubah nasib keluarganya. Ia akan berjuang sekuat tenaga untuk membahagiakan Ibunda. Ia peluk Ibunda erat-erat penuh rindu.


Kapal pun akhirnya berangkat, meninggal negeri Kampung Surau. Berlayar menuju tanah seberang, tempat sang anak mengadu nasib. Mewarisi keteguhan ibunya, Sang anak pun sangat giat bekerja. Pesan ibunda selalu diingat. Wajah orang tua yang semakin hari semakin keriput dimakan usia, dijadikan campuk untuk terus berjaya.

Hari berganti hari, tak terasa sudah dua puluh tahun lebih ia merantau. Jerih payah selama ini akhirnya berbuah manis. Dulu pakaian anak ingusan Kampung Surau itu tidak terurus, kini telah berubah menjadi necys bak pakaian seorang raja. Dulu musiknya hanyalah Pupuik Batang Padi, kini sudah punya Gitar, Angklung Tanah Jawa , Kecapi dan Gong yang sangat besar. Ia hobi memainkan musik dan bernyanyi, sebagai obat rindu pada kampung halaman.

Sekarang sang Anak sudah berhasil dan berjaya di rantau orang. Ia sudah mempunyai puluhan orang anak buah dan pelayan. Ia mempunyai seorang isteri yang selalu setia menemaninya. Isterinya mempunyai wajah yang cantik jelita dan bodi yang berbentuk gitar Spanyol. Bak putri seorang raja.


Suatu hari sang Anak teringat Ibunda sendirian di tanah kelahiran. Ia ingin pulang kampung, menyilau Ibunda tercinta di kampung halaman. Membawa janji yang dulu pernah ia utarakan.


“Caliaklah anak amak ko, Mak. Nasib kito lah barubah dan Amak berhak manikmatinyo.” Ucap sang Anak didalam hati ketika teringat ibunya yang hidup sendirian di kampung tercinta, di negeri Kampung Surau.


Hari yang baik pun tiba. Sang Anak menyiapkan segala keperluan untuk pulang. Oleh-oleh untuk ibunda tersayang disiapkan paling duluan. Isterinya ikut membantu mengemasi barang-barang. Kapal laut ia beli untuk menyeberang pulang ke Pulau Sumatera. Puluhan anak buah dan pengiring ikut dalam rombongannya. Alat musik kesayangannya ia bawa pulang untuk kenang-kenangan. Kapal mulai meninggalkan tanah jawa, kabar kepulangan sang Anak terdengar sampai ke telinga ibunda. Sang Ibu bergembira menanti kedatangan anaknya di pinggir sungai tempat ia tinggal. Ia tidak sabar bertemu anaknya yang telah berhasil di rantau orang. Ia bayangkan wajah anaknya.


“Dia pasti tampan dan gagah”. Bisik sang Ibu dalam hati.
Dua puluh hari telah berselang. Rombongan kapal sang Anak hampir sampai di Kampung Surau. Sang Anakpun tak sabar bertemu ibunya. Sudah dua puluh tahun ia tinggalkan orang tua tercintanya. Kapal pun menepi ke daratan. Sang Anak melihat kampungnya dengan wajah bersinar. Kampungnya yang nyaris tak ada perubahan sejak ia tinggalkan.


Sang Ibu melihat kedatangan kapal itu dari atas bukit dimana gubuk reyotnya dibangun. Bergegas ia turuni lereng bukit itu dan sampai ditepi sungai walaupun dengan langkah kaki diseret. Sang Anak yang masih berada diatas kapal terkejut melihat ibunya, berlari menyongsong kedatangannya. Dilihatnya sang Ibu datang dengan kain yang lusuh dan compang-camping. Kulitnya yang keriput dan rambutnya yang putih penuh uban membuat sang Ibu terlihat tak terurus. Dengan langkah gontai sang Ibu dekati kapal anaknya. Melihat pemandangan itu sang Anak merasa jijik dan malu mengakui bahwa itu ibunya.


Dengan perasaan gembira sang ibu ingin melompat kedalam kapal anaknya yang telah dari tadi menepi di daratan Kampung Surau
“Anakku”. Sang Ibu berteriak gembira.


Sang Anak terdiam kaku dalam kebingungan. Ia malu pada isteri dan anak buahnya, jika mereka mengetahui kalau majikannya yang kaya raya ini mempunyai ibu yang tua renta dan tidak terurus seperti yang datang kehadapan mereka. Cepat-cepat sang Anak menyuruh pengiring dan anak anak buahnya mengambil sebuah gala yang panjang untuk mendorong kapal ketengah sungai dan mengusir wanita tua itu. Sang Anak ingin kembali ke tanah seberang. Dengan sigap anak buahnya mendorong kapal ketengah sungai dan menolak badan sang Ibu dengan gala.


Kapal kembali ketengah dan sang Ibu terjatuh ketepi sungai. Sang Ibu sangat sedih dan menangis menyesali perbuatan anaknya. Ia menyesal melahirkan anak yang durhaka itu. Sang Ibu berusaha naik ke daratan dengan sisa tenaganya. Sesampai di daratan ia berdo’a kepada Allah Swt. Sambil menengadahkan tangan dan berurai air mata ia memohon kepada Yang Kuasa.
“Karam kapal waang handaknyo, Nak dan jadi batu lah waang”.


Tiba-tiba petir menggelegar dari langit yang masih terang, kilat menyambar dan hujan pun turun. Kapal sang Anak tiba-tiba oleng ditengah sungai. Kapal itu miring dan tenggelam. Hartanya berserakan termasuk alat musik yang dibawanya. Do’a sang Ibu langsung dijawab Allah Swt, kapal yang sudah miring ke sungai tiba-tiba mengeras menjadi batu. Sang Anak, isteri dan rombongannya tertimbun oleh material kapal. Alat musik Gong yang besar itu tersangkut disisi kapal. Riwayat anak durhaka dari Kampung Surau tamatlah sudah.


Sejak kejadian itu kapal sang Anak yang berubah menjadi batu akibat dikutuk oleh ibunya dinamai Batu Gong, karena ada alat musik Gong yang besar menempel disisi kapal. Orang Kampung Kampung Surau hingga saat ini menyebutnya Batu Aguang atau Batu Agung.

* * * Cerita ini sudah dilombakan pada Lomba Menulis Cerita Rakyat Tingkat Kab. Dharmasraya dan mendapat Peringkat Pertama.
** Penulis adalah Guru SDIT ASA DHARMASRAYA

Arti kosa kata :
1. Hati-hati di rantau urang Nak. : Hati-hati dirantau orang, Nak
2. Capek pulang kalau lah berhasil. : Cepat pulang kalau sudah berhasil
3. Necys : Rapi
4. Pupuik Batang Padi : Seruling dari batang padi.
5. Caliaklah anak Amak ko, Mak. : Lihatlah anakmu ini, Bu.
6. Nasib kito lah barubah : Nasib kita sudah berubah.
7. Dan Amak berhak manikmatinyo. : Dan Ibu berhak menikmatinya.
8. Karam kapal waang handaknyo, Nak. : Mudah-mudahan Tenggelamlah kapalmu, wahai anakku.
9. Dan jadi batu lah waang. : Mudah-mudahan engkau jadi batu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun