Oleh : Abuya Irfan Rahman
Owner Sekolah Alam Dharmasraya
Di Kampung Surau terdapatlah sebuah rumah papan yang terletak dilereng Gunung Lalo. Keluarga miskin menghuni rumah tua itu. Keluarga itu mempunyai empat orang anak. Ayah dan ibu mereka hanyalah petani tradisional. Pergi ke ladang ketika matahari belum muncul dan pulangnya ketika matahari sudah tenggelam. Kadang-kadang anak-anak mereka diajak pergi ke ladang untuk membantu mereka. Begitulah keseharian keluarga miskin itu.
Suatu hari, mereka sekeluarga sedang memanen hasil ladang yang terletak dua kilo meter dari belakang rumah, tepatnya di Pulau Alai. Semua anak-anak mereka ikut membantu, kecuali si Binguang, anak mereka nomor tiga. Si Binguang dititipkan di rumah tetangga, karena si Binguang agak kurang akalnya, alias idiot. Mereka sangat gembira menyambut musim panen.
Tak terasa hari sudah beranjak sore, sementara panen belum selesai. Sang Ayah memerintahkan anaknya memasukkan hasil panen kedalam karung. Semuanya sibuk berkemas dan bersiap pulang, termasuk Raima putri sulung mereka. Raima yang berumur 12 tahun ini adalah anak yang paling tua.
Matahari kian condong di ufuk barat, jengkrik-jengkrik bernyanyi sahut-sahutan, menandakan hari sudah maghrib. Hasil panen sudah selesai di packing. Ayah dan ibu membawa karung yang paling besar, anak-anaknya membawa hasil panen sesuai kemampuan mereka. Hasil panen yang dimasukkan kedalam karung, diletakkan diatas kepala.
Semua beranjak pulang. Ayah dan ibu berjalan paling depan. Hari yang sudah semakin gelap memaksa mereka berjalan perlahan. Raima kakak sulung berjalan paling belakang. Didalam keheningan mereka telusuri jalan setapak menuju rumah mereka. Setapak demi setapak langkah mereka diayunkan, tak satupun diantara mereka yang berbicara, hanya nyanyian binatang-binatang rimba yang terdengar menyibak kesunyian.
Tak lama berselang waktu merekapun sampai di rumah dikala malam sudah semakin pekat. Sang Ayah langsung meletakkan hasil panen di dapur, begitu juga ibu. Semuanya melepas penat sambil meneguk segelas air yang dituangkan ibu dari cerek alumunium, namun Raima belum juga sampai. Ia memang berjalan paling belakang.Â
Hati ibunya semakin cemas ketika sudah hampir setengah jam Raima ditunggu belum juga nampak batang hidungnya. Sang Ayah memutuskan untuk menyusul Raima ke jalan yang dilewati tadi. Langkah kaki sang Ayah terburu-buru. Dadanya penuh sesak. Tangan kanannya memegang obor yang terbuat dari bambu yang diisi minyak tanah. Sumbu obor itu terbuat dari kain-kain yang sudah tidak dipakai lagi, cukup untuk menerangi jalan.
Hampir setengah perjalanan sang Ayah menyongsong kedalam hutan menuju ladang mereka di Pulau Alai. Namun Raima belum ketemu. Hati sang Ayah cemas bercampur takut. Ia panggil-panggil anak sulungnya dikerumunan malam.
"Raima".