Mohon tunggu...
Abu Tajir
Abu Tajir Mohon Tunggu... Freelancer - Bakul buku

Bakul buku yang hobi duit, nulis dan mengolah manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena PSI

6 Agustus 2019   12:33 Diperbarui: 6 Agustus 2019   12:49 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

fenomena PSI (partai solidaritas indonesia) yang melesat amat cepat banyak menarik perhatian orang.

banyak yang kaget, karena tiba-tiba ada partai baru banget, anggotanya (yang keliatan) masih muda-muda, kuat untuk iklan juga kampanye di mana-mana dan berani membuat pernyataan-pernyataan kontroversial di muka umum.

nah, saya mau membahas mereka dari sisi marketing politik dan yang terkait dengan pendanaan aja, gampangnya, sudut pandang pedagang.

dari yang sudah keliatan, ada beberapa nama besar di dunia bisnis dan politik indonesia yang jadi pembina dan pengarah PSI, di antaranya adalah jeffrie geovani dan sunny tanuwidjaja. keduanya ada hubungan dengan CSIS, punya jaringan luas dan kuat di kalangan pelaku bisnis dan politik dalam dan luar negeri, juga sangat skillful di bidangnya, teori dan praktek. untuk sunny sendiri, dia itu mantan staf khusus Ahok, dan ada hubungan spesial dengan tomy winata, peter sondakh, franky wijaya, hary tanoesoedibjo dan mochtar riady (ya itu yg keliatan, entah yg belom keliatan).

jadi logistik partainya aman dan kuat, panjang napasnya, bahkan untuk pemilu 2019 ini, dana kampanye mereka sejumlah 185 miliar (walaupun kemudian diralat jadi cuma 4,9 miliar, entah mana yg rill).

silakan baca lebih lanjut:
intelijen.co.id
kumparan.com
cnnindonesia.com (1)
merdekanews.co
cnnindonesia.com (2)

nah, dari sisi marketing politik mereka, saya punya hipotesis kalo mereka itu adalah pilot project dari para investor mereka untuk memetakan potensi politik orang muda indonesia, terutama generasi milenial. maka gaya marketing yang dipake adalah:

* to the point untuk penyampaian visi-misi dan program partai, karena orang muda indonesia sekarang itu suka pada komunikasi yang to the point

* menggunakan wanita cantik, cerdas dan berkarakter sebagai ujung tombak pemasaran partai. siapa sih yang nggak suka sama wanita cantik, cerdas, berkarakter pula

* memakai gaya humor "receh" pada iklan-iklan mereka. orang muda sekarang suka banget sama humor "receh", perhatikan saja konten yang sering mereka liat instagram, youtube, facebook, LINE mereka.

* sering melontarkan pernyataan dan wacana kontroversial. psikologi orang indonesia itu suka kepo, suka mencari tau hal yang beda dari biasanya, ujungnya PSI akan dikepoin, gampangnya, trafik orang yang liat mereka naek, walaupun engagement nya belom tentu positif, yg penting diliat dulu

* menarget orang muda, terutama yang tinggal di perkotaan. orang muda perkotaan itu biasanya lebih terbuka pada gagasan baru, lebih suka pada tatanan sosial yang egaliter, tidak terlalu memusingkan masalah SARA, itulah potensi yang mereka garap, makanya mereka memakai grace natalie dan tsamara amany alatas sebagai ujung tombak kampanye mereka, karena dua orang itu berasal dari golongan minoritas, yakni dari etnis tionghoa dan arab

cukup segitu tinjauan sisi marketing politik mereka.

ada hal yang sangat mendasar yang mau saya ingatkan, ini hal yang aksiomatis di dunia investasi:

program kerja suatu lembaga itu nggak akan jauh-jauh dari keinginan investor.

dari awal kemunculan PSI, saya sudah punya pikiran bahwa mereka akan gagal mendapatkan kue politik, tapi, kemungkinan mereka untuk menjaring data potensi politik orang muda indonesia besar sekali, dan terbukti berhasil.

berdasarkan data dari badan pusat statistik indonesia, jumlah generasi milenial indonesia per-2018 adalah 23,95% dari seluruh penduduk indonesia. ini jumlah yang sangat besar, sangat potensial untuk diolah. silakan cek: tirto.id.

sekarang itu data-data dari masyarakat lebih penting dari sekedar kursi atau jabatan. ini jamannya big-data. dengan menguasai big-data, suatu pihak bisa melakukan rekayasa sosial (social engineering) dengan mudah. contoh nyatanya: Gojek, Grab, Bukalapak, Shopee, Alibaba, Amazon, dan yang semacam.

dengan bekal data ini, para investor mereka, yang besar-besar itu, bisa membuat proyek yang lebih strategis dan kiranya berdampak besar di masyarakat di waktu yang akan datang.

semoga tulisan ini bermanpaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun