Kaget, terperangah dan tak habis pikir tatkala membaca sebuah berita tentang tertangkapnya Nurdin Abdullah Gubernur Sulawesi Selatan oleh KPK pada jumat lalu.
Kaget karena nama ini memiliki kesan tersendiri dengan saya bukan hanya karena sama sama berasal dari Sulawesi Selatan tetapi juga karena relasi yang sempat terjalin dengannya saat saya mengunjungi rumah dinasnya di Bantaeng pada sekira 2014 lalu saat itu dirinya masih menjabat sebagai Kepala Daerah atau Bupati Bantaeng.
Bagi warga Sulawesi Selatan dan sekitarnya, Bantaeng dan Nurdin adalah satu paket yang menggambarkan sebuah keberhasilan, kemajuan dan kebersihan. Paling tidak itu juga kesan yang saya tangkap pada Nurdin Abdullah. Nama besar dan prestasinya yang mengubah daerah miskin dan terbelakang di Sulawesi Selatan menjadi sebuah kota 'metropolitan' dengan infrastruktur modern menarik diri saya untuk bisa menemui Nurdin langsung di Bantaeng. Saat itu, saya tinggal di Jakarta.
Saya pun menancapkan misi untuk bisa menemui Nurdin di Bantaeng. Selain misi bertemu, saya juga ada misi lain untuk meminta bibit padi unggul yang sedang di kembangkan di Bantaeng.
Hari H keberangkatan saya pun terjadi, dengan pesawat saya menuju bandara Hasanudin. Keesokan harinya, saya pun berangkat ke Bantaeng dengan menggunakan bis ELF.
Perjalanan darat hampir empat jam, sampailah saya di Kota Bantaeng, saat pertama kali meginjakkan kaki di sana, saya langsung terkesan dan seolah olah membenarkan kesan yang selama ini ada di benak saya tentang kemajuan dan kerapihan serta kebersihan kota Bantaeng.
Setelah berjam jam menunggu di Kantor Bupati Bantaeng, Nurdin tak juga muncul, saya pun memutuskan menemuinya di rumah jabatannya di sebuah bukit batu. Sejuk dan rindang.
Di depan gerbang rumahnya, saya bertemu seorang penjaga, dan memberi tahu maksud kedatangan saya untuk bisa bertemu Sang Bupati. Rumah dengan halaman luas bak memasuki sebuah keraton.
Saya masih setia menunggu berjam-jam di depan rumah jabatan Nurdin. Tidak lama kemudian, datang lah sebuah mobil hitam yang langsung memasuki halaman rumah. Saat turun dari mobil, Nurdin turun bersama ajudannya yang saya kenal belakangan bahwa dia adalah seorang polisi.
Dia menemui saya dan sempat saya mengenalkan diri dan maksud kunjungan. Soal padi unggul, dia menyarankan untuk langsung menemui penanggung jawab bibit padi unggul tersebut.
Itu lah kesan pertama pertemuan saya dengam Nurdin Abdullah yang saya kagumi kala itu sebagai seorang pemimpin visioner yang berhasil mengubah wajah Bantaeng yang miskin dan terbelakang menjadi sebuah kota modern dan sarana dan prasarana yang lengkap dan pertanian yang maju.
Pulang dari rumah jabatan Nurdin, saya sempat ngobrol dengan seorang petani yang tinggal tidak jauh dari rumah Nurdin, ia mengeluh karena mahalnya harga pupuk di Bantaeng yang membuat dirinya dan para petani di sana menjerit. Jeritan yang tertutupi oleh nama besar seorang Bupati yang pada akhirnya didaulat menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Profesor lulusan Jepang, dengan sederet gelar prestasi tidak mampu menahan Nurdin tergiur silaunya duit 'Setan' yang dimakan 'Genderuwo'.
Sebagai orang yang hidupnya banyak dihabiskan di Jepang, seharusnya Nurdin tau betul konsekuensi sebuah perbuatan memalukan yakni apa yang kita kenal dengan budaya Harakiri, tetapi Nurdin tidak harus menusuk pisau Jepang ke badannya, karena tanpa itu pun, ia telah 'membunuh dirinya' di mata saya dan semua warga Sulawesi Selatan yang telah membangga bangga kannya, di Sulawesi ada adat yang dikenal dengan nama Siri na Pacce, hampir sama dengan harakiri. Lebih baik mati daripada Malu.... Sekian....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H