Pagi itu pada awal Januari 2019, saya dan satu orang kawan dari media online berbeda mendatangi sebuah perusahan plat merah yang terletak di sekitar Rawasari Jakarta Pusat.
Dengan mengendarai satu motor, kami berdua memasuki Kantor PT A. Di sana sudah ada satu orang petugas keamanan (satpam) berjaga di depan lobi masuk kantor A. Petugas ini duduk di belakang meja yang digunakan sebagai meja registrasi. Kebetulan hari itu, rencananya akan diadakan acara media gathering sekaligus laporan akhir tahun dan pemaparan program perusahaan A tersebut.Â
Semalam sebelumnya, saya sudah menghubungi humas PT A bernama M. Saya kenal dia saat meliput kegiatan Nataru di Merak dan Bakauheuni. Saya bilang dalam WA ke dia: "Pak, saya izin meliput kegiatan di Perusahaan Bapak".Â
Balasan WA saya tak kunjung dibalas hingga pagi. Sempat ragu untuk datang, karena saya berpikir positif, oh mungkin WA saya tidak dibalas karena mungkin sibuk.
Keesokan harinya pukul 9, saya sudah sampai di lobi PT A. Saya sapa satpam yang bertugas dibelakang meja, dan menanyakan acara media gathering. Pak Satpam sempat melirik secarik kertas yang berisi daftar media mainstream yang diundang. Â
Saya dengan PD nya juga ingin menulis absensi namun oleh petugas tersebut saya disuruh menunggu dulu. "Maaf pak, nama media bapak tidak tercantum di list, mohon menunggu sebentar," ucap satpam tersebut.
Dia lalu menyodorkan kertas lainnya, Â dan menanyakan nama media saya. Saya sebutkan nama media, Â dan dia pun menulis. Sejurus kemudian, Â datang beberapa wartawan entah dari media mana, Â yang pasti dari penampilannya, saya bisa baca kalau mereka adalah bukan dari media mainstream.
Entah mereka mau disebut apa, Â tapi saya lebih suka menyebut mereka media start up (perintis). Ini istilah saya saja biar bisa membedakan mana media besar yang bermodal besar dan sudah terkenal, Â dan mana media yang bermodal kecil yang masih berusaha ingin juga eksis di tengah persaingan perusahaan media di Indonesia yang sangat ketat.
Sambil nongkrong dan mengobrol di lobi bersama wartawan media arus bawah lainnya, tidak lama kemudian datang salah satu petugas satpam perusahaan yang menyampaikan informasi dari 'dalam'.Â
"Mohon maaf bapak-bapak, kami belum bisa menerima bapak-bapak untuk masuk (meliput) karena keterbatasan tempat," ucap petugas itu.
Sempat terdengar nada protes dari kawan-kawan wartawan di situ, namun pada akhinrya mereka bisa memaklumi keadaan dan informasi dari satpam.
Dengan nada kecewa sembari membayangkan wajah M Humas PT A kala bertemu dulu di Pelabuhan Merak, saya balik kanan lalu tancap gas bersama teman ke lokasi liputan lainnya.
Sepanjang perjalanan, terbayang event beberapa minggu sebelumnya di Taman Mini Indonesia Indah ketika digelar Munas Pers Se-Indonesia yang dihadiri hampir seribu wartawan dari media start up/arus bawah.Â
Berkumpulnya mereka didasari kesadaran dan nasib yang sama, yakni memperjuangkan haknya sekaligus Ingin diakui dan diperlakukan sama oleh Dewan Pers sebagaimana Dewan pers memperlakukan  media-media mainstream lainnya yang dianggapnya sudah terverifikasi.
Para wartawan yang berkumpul ini memiliki kehidupan yang boleh dikatakan tidak seindah yang dibayangkan dan diharapkan sebagaimana layaknya seorang pekerja legal lainnya. Bahkan, Â beberapa di antara mereka mendapat perlakuan yang tidak adil dalam bentuk kriminilasasi oleh pihak-pihak tertentu.
Suasana batin mereka pun baru saja saya rasakan ketika ada sebuah perusahaan besar milik pemerintah dengan begitu angkuhnya menolak kehadiran media yang dianggap kelas bawah. Mereka masih memandang sebelah mata atas keberadaan media arus bawah yang notabene jumlahnya ribuan di Indonesia. Â
Padahal jika merujuk ke UU Pers No 40 Tahun 1999 dalam pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa:
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi, melihat Undang-undang diatas, pers baik itu media arus bawah, maupun arus utama (mainstream) sama-sama memiliki hak untuk mencari, Â memperoleh informasi dan tidak bisa dihalang-halangi hanya karena alasan kuota ruangan penuh atau alasan 'receh' lainnya. (ht)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H