Abustan
Pengajar - Dosen Hukum Konstitusi/HAM
Universitas Islam Jakarta
Senin, palu hakim diketuk, vonis lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta hukuman seumur hidup. Ferdy Sambo dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan karena merupakan dalang/aktor intelektual pembunuhan berencana Brigadir J.
Lebih dari itu, FS juga merupakan sosok utama yang membuat skenario polisi tembak polisi. Skenario memang dirancang agar pristiwa pembunuhan Brigadir J tersamarkan atau direkayasa sedemikian rupa.
Dengan demikian, FS dinyatakan terbukti melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke (1) KUHP. Tegasnya pertimbangan putusan tim majelis hakim tidak menemukan ada ihwal yang meringankan dan pembenar serta pemaaf dalam diri terdakwa FS. Akhirnya amar putusan "Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan bersalah turut serta melakukan pembunuhan karena secara bersama-sama."
Kemudian, terdakwa putri Candra wathi yang merupakan istri FS divonis hukuman 20 tahun penjara. Majelis hakim meyakini telah membunuh mantan ajudan suaminya itu. Meski jaksa penuntut umum (JPU) menuntut 8 tahun penjara.Â
Begitupun vonis yang dijatuhkan kepada sopir FS yaitu Kuat Ma'ruf selama 15 tahun juga lebih berat dari tuntutan jaksa. Kin, tinggal menunggu vonis salah satu algojo Ellizer yang telah menyatakan diri sebagai justice Collaborator yang siap mengungkap pristiwa pembunuhan ini dengan se jelas - jelasnya.
Itulah tiga vonis yang sudah dilakukan majelis, yang sedikit mengundang "keterkejutan" sebab rata-rata di atas tuntutan jaksa. Saya yang memulai profesi/ pekerjaan sebagai Pengacara Praktek (kini advokat) yang sudah menghampiri 30 an tahun juga terus terang sedikit kaget. Namun itulah putusan hakim yang harus dihormati, yakni pidana mati atau ultrapetita dari tuntutan jaksa.
Dalam konteks kasus ini, memang ultrapetita sangat memungkinkan dalam hukum pidana. Apalagi hukum pidana adalah ranah hukum publik. Dan, salah satu parameternya yaitu memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Bahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga meminta hakim menggali nilai - nilai hukum dan nilai keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.
Maka, tentu saja, majelis hakim tidak hanya mengacu pada minimum dua alat bukti tetapi juga telah menyandarkan putusannya pada keyakinan dan fakta hukum yang ada.
Yang pasti kita menggaris bawahi, pristiwa yang terjadi sejak 2022 sangat menggegerkan sehingga terus mendapat sorotan dan perbincangan di mana - mana. Tidak hanya pada tataran wilayah perkotaan, tetapi juga sampai di desa - desa. Di kampus para Profesor mengulas dan berdiskusi dengan berbagai analisis yuridis. Bahkan, di warung kopi pun menjadi thema yang hangat didiskusikan. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan kasus ini hampir seluruh penduduk Indonesia mengetahuinya dan mengenal Ferdy Sambo (FS). Sebab, sejak kejadian pristiwa ini terus "dibombardir" dengan pemberitaan.
Bahkan, survey LSI Denny JA bulan Oktober 2022 mengatakan sebanyak 87,5 persen populasi Indonesia pernah mendengar kasus ini dan mengenal Ferdy Sambo. Di jajaran bakal calon Presiden 2024 saja, hanya Prabowo yang dikenal di atas 87,5 persen. Itupun dicapai Prabowo setelah tiga kali ikut presiden di tahun 2009 (Sebagai cawapres) dan 2014 - 2019 (Sebagai Capres) selama 15 tahun.
Kini, pertanyaannya apa yang membuat popularitas kasus ini begitu tajam tingkat pengenalannya di masyarakat ? Tidak lain, terletak pada drama kasus ini yang ada di dalamnya: tembak menembak polisi di rumah polisi, perselingkuhan, LGBT, rekening trilyunan, judi on line, dis - trust kepolisian, sampai repormasi hukum institusi kepolisian.
Jadi, bolehlah kita menyebut Pengadilan FS dan vonis mati yang dijatuhkan hakim adalah proses hukum yang paling "dahsyat". Popularitas kasus ini belum ada yang menandingi selama 100 tahun terakhir di Indonesia.
Walaupun , di sisi lain kita harus pula memahami dan menyadari , di mana hukuman mati tidak lagi populer. Bahkan dikatakan bagian dari bentuk "dekolonisasi". Itulah sebabnya KUHP baru yang telah disahkan memberi waktu 10 tahun bagi terhukum vonis mati untuk menunjukkan sikap berkelakuan baik atau melakukan perubahan sikap.
Transformasi ke nilai pertimbangan HAM (human rights) ini membuat 109 negara telah menghapuskan hukuman mati. Trend dunia dengan kecenderungan meletakkan human rights (HAM) sebagai penghormatan dan penghargaan pada setiap manusia.
Amnesti Internasional pun mengecam hukuman mati. Menurut amnestiy internasional: hukuman mati mengambil hak asasi manusia paling asasi yaitu hak untuk hidup. Maka, hukuman tertinggi yang ditoleransi hak asasi manusia hanyalah hukuman seumur hidup.
Pada setiap mengajar, sebagai dosen pengampu mata kuliah Hukum Hak Asasi Manusia kerapkali ada pertanyaan mahasiswa terkait hukuman mati, saya pun menjawabnya sesuai literatur dan literasi yang ada: urusan kematian mahluk hidup adalah hak absolut sang khalik. Dan manusia selalu dibukakan pintu untuk bertobat. "Bukankah setiap manusia masih punya kesempatan berbuat baik ?."
Jakart, 15 Feb 2023
Ketua Dewan Penasehat AAI 2022 - 2027
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H