DAMFAK PANDEMI DI RANAH PILKADA
Oleh Dr.H.Abustan,SH.MH
Pengajar Ilmu Hukum di Universitas Islam Jakarta (UID)
Tak berlebihan kalau ada yang menyebutkan, saat ini adalah era pemerintahan (Presiden) yang paling banyak mengeluarkan regulasi. Tentu saja, pemerintah tak dapat " menghindari" ketika situasi serba darurat, sehingga banyak agenda pemerintahan bergeser atau berubah dari jadwal sebelumnya.
Namun, kondisi ini menjadi sangat dilematis karena di sisi lain harus pula dipahami bahwa pemerintahan tidak boleh terjadi kekosongan hukum (kevakuman). Pemerintah harus bergerak cepat - solutif, agar ada kejelasan dan/atau kepastian hukum di tengah kehidupan masyarakat .
Seperti pelaksanaan tahapan pilkada 2020 ditunda pemerintah dan KPU. Keputusan bersama itu diambil dalam rapat bersama antara Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi II DPR RI. Penundaan ini dipicu karena semakin merebaknya wabah virus corona atau Covid-19 di Indonesia .
Legitimasi hukum penundaan ini, akan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang akan diterbitkan oleh pemerintah. Hal-hal yang bersangkutpaut/terkait dengan opsi pelaksanaan lanjutan tahapan pilkada 2020, yakni pada Desember nanti serta Maret dan September 2021 .
Itulah berbagai opsi pergeseran waktu, sehingga mau tak mau pilkada harus ditunda, dan berkonsekwensi pula pada aturan teknis yang otomatis harus pula berubah. Sampai tulisan ini diketik (Minggu siang, 12/4/2020) Perppu masih dilakukan telaah atau masih disusun oleh pemerintah .
Bahkan, informasi dari Komisi Pemilihan Umum masih mengkaji sejumlah langkah untuk mengantisipasi permasalahan yang mungkin timbul akibat penundaan tahapan pilkada 2020. Fokus pengkajian KPU diperkirakan pada sejumlah point yang berkaitan dengan urusan teknis penyelenggaraan pemilu .
Hal-hal teknis kepemiluan yang dimaksud  seperti daftar pemilih, yang bisa dipastikan akan ada perubahan karena ada orang yang umurnya bertambah 17 tahun, sehingga otomatis secara hukum memenuhi syarat menjadi pemilih. Begitupun sebaliknya, juga ada orang yang meninggal dunia, sehingga otomatis pula hak pilihnya gugur .
Di samping itu, juga perlu dipikirkan bagaimana misalnya dari calon perseorangan yang sudah menyerahkan/memasukkan dokumen bukti dukungan. Kesemuanya ini tentu harus menjadi pertimbangan agar tak ada pihak yang merasa di rugikan.
Oleh sebab itu, sekali lagi,  memang dibutuhkan secepatnya regulasi baru, yaitu peraturan pemerintah pengganti undang-undang  (perppu) yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada .
Namun, selain berharap Presiden segera buat Perpu Penundaan Pilkada, juga mengharapkan agar konstruksi hukum Perpu ini  menutup pula celah hukum yang memberi peluang  kandidat calon kepala daerah in-kumben (vide Pasal 71 UU 10/2016) untuk berbuat lebih luas lagi.Tegasnya, norma yang ada dalam Perppu nanti harus mengubah hal-hal  yang menguntungkan kepala daerah yang bakal maju lagi di pilkada.
Akhirnya, penundaan pilkada ini bukanlah semata faktor tekhnis, tetapi karena kesehatan manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang paling utama. Bagaimanapun, keselamatan manusia haruslah menjadi nomor satu. Seperti kata Cicero : keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi .
Sekian
#stayathome
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H