Oleh : Dr.H.Abustan, SH,.MH
Pengajar di Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (UID)
TATKALA otoriterisme rezim masa lalu menghasilkan ketidakadilan politik dan ekonomi dalam hubungan antara pusat/daerah, tuntutan untuk menerapkan sistem desentralisasi yang menganut asas otonomi luas. Tuntutan itu berhasil terwujud, tatkala pada tahun 1999 terbit UU Nomor 22 Tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah).
Intinya, dalam bidang hubungan pusat dan daerah telah menggariskan politik hukum "otonomi luas" yakni menegaskan perubahan kepada daerah. Dengan dibuktikan begitu maraknya pemekaran daerah otonomi baru yang secara de yure dan de facto terbentuk di mana-mana. Dan akhirnya trend pemekaran ini kemudian di stop dan/atau dilakukan moratorium oleh pemerintah pusat .
Fenomena itu, dapat dilihat ketika memasuki tahun 2020 pembentukan daerah otonom baru (DOB) kembali "menggeliat" dan menjadi tema sentral perbincangan. Apalagi daerah yang sudah lama mempersiapkan diri dan atau menganggap bahwa wilayah yang ingin dimekarkan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan percepatan pembangunan bagi daerah setempat. Bahkan siap untuk bersaing (berkompetisi) dengan daerah induknya, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi pelayanan publik .
Dalam konteks ini, memang sangatlah sulit bagi daerah yang memiliki wilayah yang sangat luas bisa menerima moratorium pemekaran terus di perpanjang. Tanpa adanya suatu evaluasi secara obyektif dan proporsional. Karena itulah, idealnya harus ada kajian/telaah mendalam dari pemerintah di tengah pemberlakuan moratorium. Hal itu dimaksudkan, agar pemerintah memiliki "kerangka acuan/kerangka dasar" dalam melaksanakan moratorium kepada daerah-daerah tertentu .
Dengan asumsi dasar seperti itu, pemerintah pusat tidak melaksanakan otoritas yang ada padanya secara serampangan dengan cara mengeneralisasi kemampuan potensi daerah. Akan tetapi, secara obyektif dan konsisten melakukan seleksi/klaster daerah-daerah mana saja yang memang kenyataannya memenuhi suatu kreteria untuk lolos dari berbagai persyaratan yang digariskan oleh UU Nomor 23/2014.
Oleh karena itu, soal administratif di Kemendagri, khususnya terkait dengan peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) haruslah di jalankan secara fair, transparan, dan berkeadilan. Sesungguhnya secara normatif hal itu dapat di ukur dengan skor penilaian yang sudah baku.
Sebab, dengan berdasarkan pemetaan kapasitas daerah yang dilakukan, sehingga dapat diproyeksikan bahwa daerah baru yang akan dimekarkan benar-benar dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan terkait pelayanan dasar.Â
Pelayanan dasar yang dimaksud meliputi urusan pemerintahan bidang pendidikan, kesehatan, penataan ruang, perumahan dan pemukiman, ketertiban umum, perlindungan masyarakat dan sosial.
Hal yang paling penting lainya adalah, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan efektifitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Olehnya itu, kita senantiasa berharap bahwa daerah yang lolos menjadi daerah otonomi baru (DOB) benar-benar melewati mekanisme yang obyektif, yakni pembahasan dan pengkajian yang mendalam antara pemerintah dan parlemen. Kita juga berharap agar proses pembahasan daerah yang bakal di mekarkan juga berlangsung transparan, sehingga tidak menjadi belenggu bagi pemerintah pusat untuk menerapkan moratorium .
Jkt, 19 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H