Film ini satire yang berperan juga hanya sebatas acting. Namun yang perlu kita tahu film ini di angkat dari kisah nyata, kisah seorang haji yang baik hati, berjuang untuk sesuap nasi kemudian dipanggil Allah bertamu ke Baitullah. Realitas haji kita hari ini seperti itu, ada yang kemudian pulang dari ibadah ke tanah suci kemudian menjadi pribadi yang lebih baik suka menolong bahkan bisa jadi melawan kuasa yang tiran. Namun ada juga yang ketika pulang dari tanah suci justru tambah sombong, angkuh bahkan bersikap khianat jika diberi kuasa. Ya, tergantung niat dan bersih tidaknya hati mereka.
Haji Adalah Panggilan
Antusias umat Islam yang berhaji sangat besar, bahkan dalam sebuh artikel menyebutkan tingkat antusias umat yang ingin melaksanakan rukun Islam ke lima ini mulai dari yang lulusan SD hingga Sarjana. Bahkan kalau dilihat dari jenjang pendidikan jumlah pendaftar haji lulusan SD (Sekolah Dasar) menempati urutan pertama. Hal ini berdasarkan data dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementrian Agama (Kemenag) menunjukan jamaah haji tamatan SD sebanyak 941.183 0rang, SMA 721.685 Orang, S1 641.614 Orang dan lulusan SMP sebanyak 351.969 orang, data ini di ambil tahun 2019, kalau di tahun sekarang kemungkinan besar tetap sama bahkan bisa jadi lebih tinggi.
Uraian di atas menunjukan bahwa tingkat keinginan berhaji di tanah air sangat tinggi, yang kedua panggilan haji adalah panggilan Allah, sehingga sesiapapun bisa melaksanakan haji, haji bukan soal kemampuan finansial, namun soal undangan dari Allah untuk hamba-hambanya, sehingga apapun kondisinya jika Allah yang mengundang, maka dalam kondisi apapun dia akan bisa dan mampu untuk naik haji, berbeda dengan dia yang tidak di undang, sekaya apapun dia segelintir apapun hartanya lalu dia memaksa untuk tetap berhaji, maka Allah punya banyak cara untuk tidak memberangkatkannya.
Contoh yang paling kekinian adalah kisah Baim dan Kakek Juhani, kalian masih ingat seorang kakek yang mau turun dari pesawat sebab belum memberi makan ayamnya?, namanya kakek Juhani Calon Jamaah Haji (CJH) asal Majalengka, kakek Juhani tidak memiliki ayam, yang mempunyai ayam adalah anaknya, namun yang memberi makan ayam itu adalah beliau kakek Juhani. Mungkin atas kebaikan beliau itulah Allah kemudian mengundangnya berjumpa di tanah suci.
Cerita kakek Juhani berbeda dengan kisah Mas Baim, siapa yang tidak kenal dengan aktor yang satu ini?. baru-baru ini tersiar kabar  mas baim membatalkan keberangakatan hajinya sebab ingin menemani sang istri yang sakit. Terlepas dari apapun alasan itu, lagi-lagi haji itu soal panggilan.
Kalau dulu naik haji dipakai untuk melawan. Maka, Mari kita lihat realitas para haji di sekitar lingkungan, tempat kerja dan pertemanan kita hari ini. Kita bersyukur dengan tingginya minat dan kemampuan umat Islam Indonesia untuk melaksanakan Ibadah Haji hari ini. Hal ini layak disambut dengan penuh syukur dan sukacita, apalagi jamaah haji Indonesia adalah jamaah haji yang paling terbesar dibanding negara-negara lain. namun yang terbesar dan banyak ini kadang meninggalkan noda-noda hitam ditengah umat. Seorang yang telah berhaji seharusnya lebih baik, lebih santun dan lebih jernih dalam tiap sikap dan lakunya. Namun yang terjadi ditengah masyarakat justru oknum-oknum haji ini sering menimbulkan sifat yang negatif untuk masyarakat.
Haji Itu Melawan.
Gelar Haji, adalah gelar yang disematkan pemerintah Hindia Belanda untuk tiap pribumi yang kembali ke Indonesia. Gelar yang disematkan kepada mereka-mereka yang kembali ini diberikan sebab ketakukan kaum kolonial. Arab adalah tempat berkumpul para jamaah haji yang datang dari Nusantara, dan perjumpaannya dengan para jamaah haji dari berbagai negara. Persinggungan antara masyarakat nusantara dengan muslim dari negara lain kadang memunculkan kesadaran politik yang lebih religius untuk melawan penindasan yang dilakukan kolonial.
Haji Prawatasari misalnya, VOC begitu khawatir dengan kehadiran orang ini, pada tahun 1700-an di Cianjur yang memimpin kala itu adalah Aria Wiratanu II (1691-1707). Aria adalah kaka dari Haji Prawatasari, ia lebih di akrab dengan panggilan Raden Prawatasari. Bagi VOC Raden Prawatasari adalah orang yang tidak bisa diajak untuk berkompromi. Bahkan sebab pusing mengurusi sang adik (Raden Prawatasari) sang kaka kemudian memberangkatkan sang adik berhaji ke Mekkah.
Dikira dengan pergi berhaji sang adik akan begitu lunak dan bisa di ajak untuk berkompromi kecil-kecilan, rupanya api perlawanan itu bermula sebakdah dari tanah suci. Setelah sampai ke Indonesia, Prawatasari tidak langsung berjumpa dengan kakanya, namun justru ke Giri dan menjumpai "Ulama-ulama fanatik" yang berada di sana. Prawatasari kemudian membuat api perlawanan dan membakar semangat masyarakat di sana. Memberontak terhadap orang asing yang tidak beragama adalah jalan yang dipakainya dalam membuat api perlawanan.