Sistem patriarki ini juga mempengaruhi bagaimana perasaan cinta dan kasih sayang diekspresikan. Banyak laki-laki yang dibesarkan dalam budaya patriarki diajarkan untuk tidak menunjukkan kelembutan atau emosi mereka, karena dianggap sebagai tanda kelemahan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam dinamika hubungan, di mana perempuan diharapkan menanggung beban emosional yang lebih besar, sementara laki-laki sering kali mengabaikan pentingnya keterbukaan emosional dalam membangun ikatan yang mendalam. Akibatnya, hubungan menjadi kering dan kehilangan kedalaman emosional yang diperlukan untuk mempertahankan keintiman.
Untuk membongkar fenomena patriarki dalam hubungan asmara, perlu adanya kesadaran kolektif bahwa pola-pola hubungan yang didikte oleh sistem patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki. Laki-laki pun menjadi korban dari harapan-harapan yang tidak realistis dan tekanan untuk terus-menerus menjadi figur yang dominan dan "kuat," tanpa ruang untuk rentan atau meminta dukungan. Kesadaran ini harus diikuti dengan upaya aktif untuk membangun hubungan yang lebih setara, di mana baik laki-laki maupun perempuan dapat saling berbagi peran dan tanggung jawab secara adil, serta merasakan kedekatan emosional yang tulus tanpa terikat oleh stereotip gender.
Pada akhirnya, menciptakan hubungan asmara yang terbebas dari patriarki membutuhkan komitmen untuk terus-menerus mengevaluasi dinamika kekuasaan dan peran gender yang ada. Ini bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam, tetapi melalui komunikasi terbuka, saling menghargai, dan empati, pasangan bisa bersama-sama membangun hubungan yang lebih sehat, setara, dan penuh cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H