Mohon tunggu...
Munif Mutawalli
Munif Mutawalli Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Asia Barat

Kebenaran akan terdengar di telinga - telinga yang mencarinya (thalabul haqq), kecuali orang - orang yang mencari pembenaran dan enggan untuk mencari kebenaran (jahil murakkab). Tugas kolektif (bersama) adalah menjaga kebenaran (dimanapun, bagaimnapun dan dari siapapun kebenaran tersebut), sebelum 'hoax' luas membumi dan 'kesesatan berpikir' nikmat menindas serta menghegemoni.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keniscayaan Melakukan Bid'ah, Upaya Menghentikan Polemik Berkepanjangan

11 Oktober 2024   14:20 Diperbarui: 11 Oktober 2024   14:30 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lagak Patimura - Dokumentasi pribadi

Setiap tahun, umat selalu saja di hebohkan dengan isu bid'ah. Selalu saja menjadi tranding topic di sosial media. Ramai orang berdebat, diskusi, saling nyinyir bahkan sampai pada taraf caci maki karena perbedaan pandangan. Apakah hal ini menjadi cerminan bahwa ulama abad ini masih belum mencapai titik temu? Atau masih proses berupaya mencari titik temu atas polemik yang berkepanjanagn tersebu?

Umat seakan akan kehabisan waktu dan energi untuk memikirkan hal yang tak ada ujungnya setiap tahun, padahal terdapat hal yang lebih besar seperti kemiskinan, penindasan, genosida di Palestina serta negara negara yang sedang konflik dan segala bentuk masalah sosial yang mendesak. China dan beberapa negara lainnya sudah memikirkan bagaimana membuat matahari buatan, umat Islam terdegradasi dengan isu yang berkepanjangan berabad lamanya. Mampukah umat Islam kembali bangkit dengan segala kretifitas dan progresifitasnya bersaing dengan peradaban lain?

Mari kita perluas bahasan. Ketika kita mencari makna yang bertebaran terkait dengan bid'ah, maka yang kita temui adalah 'sesuatu yang baru', 'tidak diperintahkan oleh nabi' dan 'tidak dilakukan oleh nabi'. Makna makna inilah yang sering diucapkan dalam debat, diskusi, serta berseliweran di masyarakat pada umumnya.

Penulis mengesampingkan kata bid'ah serta menggunakan maknanya untuk melihat realitas, baik apa yang terjadi sekarang maupun apa yang pernah terjadi di masa lampau. Disamping itu, motif penulis menyederhanakan istilah ialah agar masyarakat awam lebih memahami serta lebih menyatu dengan makna makna tersebut.  Penulis menyadari bahwa titik tengkar diantara para ulama adalah pada kategori kategori yang diberikan. Sedangkan umat yang berusaha mengikuti ulama, justru semakin bingung terlebih lagi dengan terminologi yang sulit masyarakat pahami, serta ketidaksiapan ilmu alat masyarakat untuk memahami perkataan ulama. Sehingga perdebatan yang berujung pada pertengkaran serta kebencian adalah di golongan masyarakat awam.

Bukan berarti penulis mengabaikan istilah istilah yang memang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini. Tapi, ada baiknya pembahasan ini berangkat dari hal hal yang sederhana kemudian ke hal hal yang lebih kompleks, layaknya pemanasan sebelum berlari untuk mencegah terjadinya cedera. Apakah umat butuh pemanasan terlebih dahulu?

Penulis tidak akan masuk dalam perdebatan dalil, entah itu al Qur'an dan Sunnah. Dalam artian bahwa ulama sudah membahasnya, dan masing masing kubu, baik yang pro maupun kontra punya dalilnya masing masing.

Kecendrungan diluar sana, ketika berbicara mengenai 'sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi' hanya berfokus pada setelah nabi wafat. Sedangkan yang menjadi ukurannya adalah ketika nabi masih hidup. Mari kita lacak secara seksama, apakah terdapat sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi tapi, dilakukan oleh sahabat dan nabi tidak melarang atau bahkan membenarkannya?

Beberapa sahabat  seperti Rifa'ah bin Rafi' yang kemudian menambah bacaan pada saat I'tidal yang justru tidak pernah ia dapatkan dari Nabi. Nabi tidak melarang, justru nabi memberitahu keutamaan yang didapat dengan membaca bacaan tersebut. Contoh lainnya adalah perbedaan waktu pelaksanaan shalat witir diantara dua sahabat yaitu sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar. Apakah nabi melarang? Justru nabi memberikan pujian atau berkomentar baik, bahwa sahabat Abu Bakar yang meng-awal-kan witir merupakan sikap kehati hatian serta bijaksana dan sahabat Umar yang meng-akhir-kan witir adalah sikap percaya diri. Begitupun riwayat yang terkenal adalah apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Bilal dan mendapatkan respon positif oleh nabi karena mendengar kedua suara sendalnya di surga. Hal ini yang disebut oleh ulama dikemudian hari sebagai sunnah taqrir (sikap mendiamkan atau membenarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah).

Sesuatu hal yang pasti bahwa tindakan sahabat tersebut merupakan bentuk semangat beribadah. Juga tercatat dalam sejarah bahwa beribadah kepada Allah walaupun terdapat dalil yang membolehkan hal tersebut tapi, ketika dilakukan berlebihan justru dilarang oleh nabi. Misalnya, berpuasa tapi tidak berbuka diwaktu yang telah ditentukan. Jadi, semangat beribadah boleh tapi jangan sampai tidak sesuai dengan kaidah kaidah yang diajarkan nabi.

Baca juga: Rekonstruksi

Bagaimana disaat setalah nabi wafat? Justru semakin banyak hal baru yang diinisiasi sahabat. Perilaku tersebut tidak lahir begitu saja, justru sahabat melihat hal tersebut dengan berpedoman pada perilaku sebelumnya, bahwa nabi terbuka dengan hal yang baru selama hal tersebut tidak keluar dari rel agama (termasuk di dalamnya kebenaran), tidak mencederai fitrah kemanusiaan dan kepentingan maslahat.

Ada banyak hal yang kemudian diinisiasi di masa sahabat dan dilanjutkan hingga generasi tabiut tabi'in (generasi salafush shaleh), diantaranya adalah kodifikasi al Qur'an, Shalat Tarwih secara rutin dan berjamaah, pembubuhan titik dalam al Qur'an sebagai pembeda tanda baca, pembubuhan titik dalam al Qur'an sebagai pembeda huruf, pemberian syakal (baris), dan masih banyak lagi, seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam dengan wilayah yang mempunyai keragaman baik bahasa, tradisi, dll.

Jadi, sesuatu yang baru dan tidak pernah dikerjakan oleh nabi mempunyai landasan historis yang kuat, bahkan di masa nabi pun melakukannya. Jadi, ulama khalaf hanya melanjutkan tradisi tersebut dari generasi salaf. Hal tersebut yang kemudian hari disebut sebagai bid'ah.

Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan dan tak terelakkan karena merupakan fitrah perjalanan manusia, terlebih lagi dengan perkembangan teknologi yang masif seperti sekarang ini. Jadi sungguh sangat berbahaya ketika menyamaratakan (mengeralisir) bahwa semua yang baru/tidak pernah dikerjakan nabi adalah sesat. Ketika suatu perkara mempunyai landasan yang jelas dalam al Qur'an dan Sunnah justru semakin memudahkan ulama melakukan ijtihad, berbeda ketika perkara tersebut mempunyai landasan yang belum jelas atau multitafsir, dibagian inilah ulama melakukan ijtihad yang kompleks.

Saya biasanya suka mengandaikan, apabila nabi hidup di zaman sekarang, apakah maulid akan dihukumi sesat oleh nabi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun