Mohon tunggu...
Munif Mutawalli
Munif Mutawalli Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Asia Barat

Kebenaran akan terdengar di telinga - telinga yang mencarinya (thalabul haqq), kecuali orang - orang yang mencari pembenaran dan enggan untuk mencari kebenaran (jahil murakkab). Tugas kolektif (bersama) adalah menjaga kebenaran (dimanapun, bagaimnapun dan dari siapapun kebenaran tersebut), sebelum 'hoax' luas membumi dan 'kesesatan berpikir' nikmat menindas serta menghegemoni.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semua Sahabat Mulia tapi, dengan Gradasi yang Berbeda (Tinjauan Harmoni-Teologis)

30 Juli 2024   23:14 Diperbarui: 30 Juli 2024   23:14 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Galeri hp pribadi, air terjun sinjai barat

Dalam sejarah Islam, para sahabat Nabi Muhammad SAW memainkan peranan yang sangat krusial dalam penyebaran dan pembentukan agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan wahyu, terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa penting, dan mendukung Rasulullah dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun semua sahabat memiliki kedudukan yang mulia, terdapat perbedaan dalam gradasi kemuliaan di antara mereka, yang berhubungan dengan tingkat kedekatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Gradasi Kemuliaan di Kalangan Sahabat

Gradasi kemuliaan di kalangan sahabat bisa dilihat dari berbagai aspek. Beberapa sahabat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam konteks keimanan dan kontribusi mereka. Misalnya, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib memiliki posisi yang sangat istimewa. Mereka dikenal sebagai "Khulafaur Rasyidin" atau Khalifah yang Terpimpin, yang menandakan kedekatan dan kontribusi luar biasa mereka dalam kepemimpinan dan penyebaran Islam.

Rasulullah SAW sering memberikan pujian khusus kepada beberapa sahabat. Misalnya, Rasulullah menyebut Abu Bakar sebagai "ash-shiddiq" (yang sangat benar), sementara Ali sering disebut sebagai "kunci pengetahuan" dan "pemimpin yang adil." Penghargaan ini mencerminkan tingkat kemuliaan dan kedekatan mereka dengan ajaran Rasulullah.

Sahabat seperti Bilal bin Rabah dan Salman al-Farisi memiliki peran penting dalam perjuangan awal Islam. Bilal dengan keteguhan imannya di masa-masa sulit dan Salman dengan latar belakangnya yang unik, menunjukkan bahwa kontribusi sahabat tidak hanya dari aspek kepemimpinan tetapi juga pengorbanan pribadi dan dedikasi kepada ajaran Islam.

Perang Saudara dan Gradasi Kemuliaan

Peristiwa-peristiwa sejarah seperti Perang Jamal dan Perang Siffin menunjukkan bahwa meskipun sahabat-sahabat tertentu terlibat dalam konflik, ini tidak serta-merta menghapuskan kemuliaan mereka. Dalam pandangan Syiah, Imam Ali adalah pihak yang benar dalam konflik-konflik ini karena kedekatannya yang lebih dalam dengan ajaran Islam dan Rasulullah. Pandangan ini menekankan bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam keputusan yang diambil, Imam Ali tetap dianggap sebagai sahabat yang lebih tinggi derajatnya.

Perang Jamal dan Siffin mengilustrasikan bahwa meskipun semua sahabat memiliki kedudukan yang mulia, perbedaan dalam interpretasi dan keputusan dapat menyebabkan perpecahan. Ini menunjukkan bahwa meskipun kedekatan mereka dengan ajaran Islam sangat tinggi, mereka tidak terhindar dari perbedaan pendapat.

Menyelesaikan Persoalan Kemaksuman

Baca juga: Rekonstruksi

Dalam konteks pemahaman Syiah, Imam Ali bin Abi Talib memiliki posisi yang sangat khusus. Syiah Imamiyah memandang Imam Ali sebagai maksum, yaitu dilindungi dari kesalahan dalam aspek keagamaan dan kepemimpinan. Konsep kemaksuman ini memberikan pandangan bahwa Imam Ali memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang istimewa yang diberikan langsung oleh Allah.

Baca juga: Inginku yang Angin

Beberapa hadis dan teks yang dipegang oleh Syiah mengklaim bahwa Imam Ali memiliki keistimewaan yang diberikan langsung oleh Allah. Misalnya, hadis seperti "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya" menekankan posisi istimewa Imam Ali dalam memahami dan meneruskan ajaran Islam.

Dalam pandangan Sunni, kemaksuman tidak diterapkan pada sahabat, termasuk Imam Ali. Semua sahabat dianggap mulia dan dihormati, tetapi mereka tetap manusia yang mungkin melakukan kesalahan.

Titik Harmoni

Dua poin awal di atas sebagai bukti adanya gradasi kemuliaan. Bahwa, hal tersebut dibuktikan dengan teks teks keagamaan, melalui pujian rasul, serta bukti konkret sejarah yang pernah terjadi.

Penjelasan lain, bahwa terdapat derajat kemuliaan yang tinggi (maksum) juga sangat dimungkinkan (Jika didukung dengan bukti autentik sejarah). Itu mengapa, kemaksuman bukanlah persoalan kebencian tapi, lebih kepada penelusuran intelektual (pelacakan sejarah). Kemaksuman sangatlah mungkin, bagaimana bisa mungkin? Silahkan lacak sejarah dari figur sahabat yang dianggap maksum. Misalnya, Imam Ali bin Abi Thalib dianggap maksum, yang menyetujuinya silahkan lacak sejarahnya bahwa memang Imam Ali tidak pernah melakukan kesalahan. Bagi yang menolaknya, silahkan lacak sejarahnya jika memang Imam Ali pernah melakukan kesalahan. Bukan cuma Imam Ali, sahabat lain pun berpotensi mempunyai derajat kemuliaan yag lebih tinggi (maksum), juga berpotensi mempunyai derajat yang lebih rendah.

Pendekatan harmonis dalam memahami gradasi kemuliaan di kalangan sahabat memungkinkan kita untuk menghargai kontribusi setiap individu tanpa harus terjebak dalam perpecahan. Mengakui perbedaan dalam tingkat kedekatan dan kemuliaan tidak berarti merendahkan (bedakan antara merendahkan dan mengkritik) sahabat lainnya, melainkan memahami bahwa setiap sahabat memiliki peran dan kontribusi yang unik dalam sejarah Islam.

Dengan menghargai gradasi kemuliaan tanpa merendahkan sahabat lain, kita dapat menghindari perpecahan dalam komunitas Muslim. Pendekatan ini mendorong persatuan umat Islam.

Pendekatan harmonis membantu kita memahami lebih dalam tentang sejarah Islam, termasuk bagaimana gradasi kemuliaan dan perbedaan pandangan membentuk perjalanan dan perkembangan agama. Ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana sahabat-sahabat berkontribusi dalam konteks yang lebih besar.

Dengan pendekatan ini, seseorang bisa melihat segala sesuatu itu secara holistik, adil dalam menilai, mengkritik, dan bersikap kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun