Mohon tunggu...
Munif Mutawalli
Munif Mutawalli Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Asia Barat

Kebenaran akan terdengar di telinga - telinga yang mencarinya (thalabul haqq), kecuali orang - orang yang mencari pembenaran dan enggan untuk mencari kebenaran (jahil murakkab). Tugas kolektif (bersama) adalah menjaga kebenaran (dimanapun, bagaimnapun dan dari siapapun kebenaran tersebut), sebelum 'hoax' luas membumi dan 'kesesatan berpikir' nikmat menindas serta menghegemoni.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Rekonstruksi 'Keulamaan' dari Pemahaman Ilmu Agama ke Peran Sosial yang Lebih Luas

30 Juli 2024   20:36 Diperbarui: 30 Juli 2024   20:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri, taman kampus tamalanrea Unhas

Dalam konteks tradisional, keulamaan sering dipahami sebagai individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu agama Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, dan fikih. Mereka adalah ulama yang bertugas mengajarkan, membimbing, dan memberi nasihat kepada umat Islam. Namun, untuk menghadapi tantangan zaman modern yang semakin kompleks, perlu adanya rekonstruksi terhadap konsep keulamaan agar perannya lebih relevan dengan kebutuhan sosial yang berkembang.

Rekonstruksi keulamaan mencakup pergeseran dari fokus utama pada pemahaman ilmu agama menjadi peran yang lebih luas dan multifaset. Ulama masa kini diharapkan tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga aktif dalam masalah sosial, lingkungan, dan keadilan. Ini berarti ulama harus terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan, penegakan hak asasi manusia, dan advokasi keadilan sosial. Peran mereka meluas untuk mencakup tanggung jawab sosial yang sejalan dengan prinsip-prinsip agama.

Secara metodologis, rekonstruksi keulamaan dapat dimulai dengan memperluas kurikulum pendidikan ulama. Program pendidikan yang selama ini berfokus pada studi agama perlu diintegrasikan dengan disiplin ilmu sosial, lingkungan, dan hukum. Pendekatan interdisipliner ini akan membekali ulama dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah kompleks dalam masyarakat modern. Epistemologisnya, ini memerlukan pengakuan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya berasal dari teks-teks agama, tetapi juga dari realitas sosial dan alam. Pengetahuan agama harus diintegrasikan dengan pengetahuan empiris dan analitis tentang masyarakat dan lingkungan. Ulama harus mengembangkan kemampuan untuk menginterpretasikan ajaran agama dalam konteks isu-isu kontemporer, menggunakan pendekatan kritis dan reflektif.

Ali Syariati menekankan perlunya ulama yang aktif dalam perjuangan sosial dan politik, serta menjadi agen perubahan yang berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan. Menurut Syariati, ulama harus berperan sebagai pemimpin masyarakat yang tidak hanya memahami agama tetapi juga realitas sosial. Syariati mengusulkan bahwa ulama harus menggunakan metodologi yang memadukan ajaran agama dengan analisis sosial. Dia menekankan pentingnya memahami konteks sejarah dan sosial dalam menafsirkan teks-teks agama. Ulama, menurut Syariati, harus menjadi intelektual organik yang mampu menggerakkan masyarakat menuju perubahan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Syariati, On the Sociology of Islam, p. 112).

Untuk merealisasikan rekonstruksi ini, ulama perlu mengembangkan keterampilan tambahan dan pemahaman yang lebih luas di luar konteks tradisional. Mereka harus dapat menerjemahkan ajaran agama ke dalam tindakan praktis yang mempengaruhi perubahan positif di masyarakat, seperti memberikan panduan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, berkontribusi dalam kebijakan publik yang adil, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, keulamaan yang direkonstruksi dapat memainkan peran kunci dalam memajukan masyarakat, menjaga lingkungan, dan menegakkan keadilan sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam (Syariati, Religion vs. Religion, p. 89).

Mohammad Baqir al-Sadr menawarkan perspektif epistemologis yang relevan dalam rekonstruksi keulamaan ini. Al-Sadr menekankan pentingnya mengembangkan metodologi ilmu yang berakar pada prinsip-prinsip Islam namun terbuka terhadap pengetahuan empiris dan rasional. Dia berargumen bahwa ulama harus mampu memadukan pengetahuan agama dengan ilmu-ilmu kontemporer untuk menciptakan solusi yang sesuai dengan konteks zaman modern. Al-Sadr menekankan bahwa epistemologi Islam harus dinamis dan inklusif, mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Al-Sadr, Our Philosophy, p. 134).

Al-Sadr juga menekankan pentingnya ijtihad sebagai mekanisme untuk memperbarui pemahaman agama sesuai dengan perubahan zaman. Ijtihad, atau usaha intelektual untuk memahami dan menerapkan ajaran Islam, harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah yang dinamis. Ini memerlukan ulama yang tidak hanya menguasai teks-teks agama tetapi juga memiliki kemampuan analisis kritis terhadap realitas sosial. Dengan demikian, ijtihad menjadi alat penting dalam rekonstruksi keulamaan untuk memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan kontemporer (Al-Sadr, Principles of Islamic Jurisprudence, p. 57).

Rekonstruksi keulamaan juga melibatkan integrasi pengetahuan teoretis dengan praktik sosial yang nyata. Ulama harus mampu menerapkan prinsip-prinsip agama dalam upaya praktis untuk mengatasi isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Ini berarti ulama harus berperan aktif dalam proyek-proyek sosial, bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, dan terlibat dalam advokasi kebijakan publik yang berkeadilan. Dengan cara ini, ulama dapat menjadi agen perubahan yang efektif, membuktikan relevansi ajaran Islam dalam konteks modern (Syariati, Reflections of Humanity, p. 105).

Baca juga: Inginku yang Angin

Salah satu aspek penting dari rekonstruksi ini adalah integrasi pengetahuan agama dengan ilmu-ilmu sosial dan lingkungan. Ulama tidak lagi bisa beroperasi di dalam silo yang terpisah dari isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidakadilan ekonomi, atau ketidaksetaraan sosial. Pendidikan ulama harus dirancang untuk mencakup studi tentang dampak sosial dari kebijakan dan praktik agama, serta memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal ini akan memungkinkan ulama untuk memberikan panduan yang lebih relevan dan efektif dalam konteks modern.

Kemampuan ulama untuk berperan sebagai agen perubahan juga bergantung pada kemampuan mereka untuk bekerja sama dengan berbagai sektor masyarakat. Dalam masyarakat pluralistik dan multikultural, ulama harus mampu membangun dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah, pemerintah, dan komunitas internasional. Kerja sama ini sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan inklusif, serta untuk mempromosikan keadilan dan kesejahteraan secara lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun