Ketika aku kembali dan menelusuri dusunku, disana kutemui rumah-rumah tua tak berpeng huni, tidak terawat, hanya tinggal hitung hari akan segera roboh, rumah-rumah itu ber-diri kesepian karena telah lama ditinggalkan oleh para pemiliknya, memilih merantau ke Ibu kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak, atau menuntut ilmu dinegeri seberang.
Tidak ada salahnya jika ada yang menganjurkan atau mungkin ini adalah suatu fakta dari sebuah keadaan yang mengharuskan untuk pergi merantau ke Metro Politan atau daerah lain karena ketiadaan sumber penghasilkan yang mumpuni dikampung sendiri, maka berhondong-hondonglah orang keluar kampung untuk satu tujuan yang sama yaitu merubah nasib, Berhasilkah?
Yah…! Latar belakang kehidupan yang amat pelik dikampung adalah modal dasar yang amat kuat hingga seseorang mampu bertahan dengan kerasnya penghidupan di Ibu Kota, Kejamnya ibu tiri lebih kejam dari ibu kota, gak kuat mental siap-siap terpental, hanya ada dua pilihan : Bertahan atau pulang kembali kekampung?
Kata bertahan inilah yang menjadi rahasia dan kunci sukses dari beberapa nara sumber yang saya temui, terlihat dari kehidupannya yang sudah amat mapan, rezeki mengalir tiada hentinya bahkan menjadi Raja diatas Raja, karena begitu hebatnya dengan jabatan yang dia sandang, namun indahnya menikmati buah kesuksesan itu, sampai-sampai mereka lupa akan kampung halaman.
Disana masih ada rumah titian warisan yang dibiarkan sepi seakan tak bertuan, tak ada nilainya kalau dirupiahkan tetapi sesungguhnya rumah itu teramat banyak catatan yang telah tergoreskan, sadarlah…. disanalah sumber insipirasi hingga berkobarnya api semangat untuk berjuang hingga ahirnya mampu dan menjadi sukses seperti saat ini.
Ada desir kesedihan tiap kali memandangi rumah-rumah yang ditinggalkan itu, terdengar suara cekikikan dari dalam rumah dan aku sangat mengenal suara itu, yah suara teman-teman masa kecilku.
Dirumah inilah kami tumbuh, menghabiskan hari-hari mengisi waktu, bermain, berlari, tertawa, bertengkar, saling mengolok dan lucunya kalau sudah ada yang meraung-meraung menangis barulah berhenti dan pulang kerumah masing-masing sembari mengadu sama Ibu.
Aku jadi tersenyum sendiri, kejadian itu bagai diputar kembali, membuatku terpaku, terasa berat ingin beranjak dari tempat itu, namun perihnya sengatan mentari menyadarkan aku dari segala lamunanku.
Saya jadi teringat tulisan sahabat saya Sdr. Umar Ali, beliau mengatakan :
Kita semua tahu, banyak saudara-saudara kita Dou Mbojo yang tinggal diberbagai tempat baik dalam negeri maupun luar negeri. Saudara-saudara kita ini berkerja diberbagai tempat dengan berbagai macam profesi dan rata-rata hidupnya sudah mapan tapi jarang sekali mau menengok kampung halaman.
Ketidak pernah muncul sama sekali dikampung inilah, yang direspon negatif oleh saudara-saudara kita yang lain sehingga muncul beberapa komentar misalnya; ratabe mai kai na, ana cou si sia aka, ka anca nara, kana’e tuta di rasa dou, kaco’i ja pu dana ra rasa yang artinya : Dari mana, Anak siapa, Sok dan Sombong, Hargailah Tanah Leluhur dan sebagainya.
Padahal yang terpenting sebenarnya adalah ” Dimanapun tempat tinggal saat ini bukanlah masalah akan tetapi lakukanlah sesuatu agar orang-orang dikampung ikut terangkat derajad kehidupannya atau Anda sudah menikmati hidup mapan dengan berbagai fasilitas mewah direrantauan, lalu bilang, saya bangga menjadi orang Bima ! saya rasa itu lebih baik dari pada pulang tanpa bisa melakukan apa-apa disana.
Saya juga teringat dalam suatu rapat akbar di Jakarta, seorang Purnawirawan dengan lantang mengatakan : Sudah sekian lama mengenyam pendidikan dan berhasil menyandang berbagai jabatan strategis, kini saatnya pulang untuk membangun kampung halaman?
Lah, kenapa harus nunggu pensiun dulu boz baru memikirkan kampung halaman? Kalau sudah pensiun….artinya sudah berumur dan sudah pasti tidak selincah, gesit dan gagah seperti sebelumnya.
Seharusnya pada saat memangku jabatan, pada saat itulah anda bisa memanfaatkan pengaruh besar anda untuk kemajuan kampung halaman, lantas akan memberikan sumbangsih apa dengan sisa-sisa umur yang sudah uzur?
Wajar saja ada satu peserta yang dengan lantang bertanya kepada Sang Purnawirawan, pertanyaanya seperti ini : Saya kagum dengan biografi dengan segala macam prestasi maupun jabatan yang Bapak capai selama ini, tetapi yang sangat mengherankan kenapa nama Bapak tidak begitu dikenal Di Daerah Bima dan sayapun baru mengenal Bapak pada saat rapat ini, itu berarti selama ini Bapak sama sekali tidak memberikan kontrubusi apapun untuk kemajuan Daerah bima, kenapa setelah mau pensiun tiba-tiba menjadi bersemangat ingin membangun Daerah Bima, ini pasti ada tujuan lain dibalik semangat Bapak yang begitu menggelora.
Jawaban Sang Punawirawan : Saya tidak mengerti maksud pertanyaan Anda akan tetapi saya bersedia kapan saja untuk menemui saya langsung untuk membahas pertanyaan Anda tadi.
Saya yakin sang Purnawirawan sudah faham menghadapi situasi seperti ini makanya beliau memberi opsi untuk menemuinya langsung, kenapa? Sipenanya timbulnya keberaniannya karena peserta rapat cukup banyak, lain hal kalau berhadapan langsung, tentu saja nyali sipenanya bakal ciut, iya gak, atau Sang Purnawirawan punya jurus tertentu untuk menyumpal mulutnya agar enggan berbicara, bukan begitu Pak Purnawirawan?
Pengalaman pahit ketika berkunjung keseorang pejabat asal bima dalam rangka kunjungan kerja, namun setelah tau saya berasal dari bima, birokrasi untuk menemui beliau jadi dipersulit, untung sang ajudannya mengenal saya karena anak beliau sahabat saya.
Beliau langsung mendekati saya dan berbisik, biasanya kalau boz tau tamunya asal Bima akan dipersulit, karena… kebanyakan yang datang cuman minta sumbangan! Astagfirullah…! Semangat kebangsaan dan solidaritas sebagai warga Bima langsung hilang seketika dan saya langsung membatalkan keinginan untuk bertemu dengan beliau.
Sepanjang perjalanan pulang, otak saya dipenuhi berbagai pikiran yang negatif, kok bisa yah? tapi saya tak ingin terbelenggu dengan hal-hal yang negatif, ya sudahlah ini fakta negatif yang harus segera saya rubah menjadi positif karena saya yakin dibalik kesulitan pasti akan ada jalan kemudahan. Fakta yang saya anggap negatif tadi saya coba mengubahnya menjadikan obyeknya seperti ini :
Pejabat tadi saya ubah menjadi Saya sendiri, saya selalu berharap agar tamu saya adalah warga Bima, Saya terima dengan baik dan mempelajari apa keinginannya, singkat cerita saya sudah bisa menebak tamu saya ini.
OK sekarang kamu pulang dan saya kasih ini (kail), gunakan sebaik-baiknya untuk memancing, silakan cari sendiri karena saya tidak akan pernah memberikan ikannya, kamu datang ketempat ini…! karena tempat itu banyak ikannya, jika kamu dipersulit, sebut saja nama saya cukup sekali, titik.
Ternyata mudah kan….! Kail adalah modal, jika diberi ikan, kita bakalan jadi pemalas, terus dikasih tau tempat yang banyak ikannya : itu adalah refrensi, kemudian jika dipersulit sebut saja nama saya : itu pengaruh.
Jadi selama Anda memangku sebuah jabatan, pengaruh Anda akan sangat berarti bagi generasi-generasi yang akan mencoba memancing dengan kail pemberian Anda.
Dimanapun tempat tinggal, apapun jabatan yang disandang, orang dikampung selalu berharap agar dampak dari kehebatan dan jabatan Anda akan membawa pengaruh besar terhadap orang-orang dari daerah Anda.
Misalnya si A, B,C,D dll bisa sukses karena pengaruh Anda, atau rumah-rumah tak perpenghuni dan lingkungan sekitarnya sekarang sudah tertata rapi karena pengaruh Anda.
Jika anda sudah memulai melakukan hal-hal seperti itu, tentu saja akan menjadi buah bibir seantero jagat, maka dengan sendirinya nama Andapun akan berkibar.
Memang mengucapkan tidak semudah melakukan, tetapi jika tidak melakukan, Andapun akan kehilangan momentum dan dilupakan, semuanya tergantung kepada Anda.
Wassalam...
abunawarbima@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H