Mohon tunggu...
Ibnu Jarieh
Ibnu Jarieh Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hanya orang kecil, yang berharap bisa berbuat untuk hal-hal kecil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Puasa dan Revolusi Mental

1 Juli 2014   01:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:04 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekakuan kita melihat ‘perasaan’ seseorang sering dikarenakan tidak adanya kemampuan kita untuk bisa merasakan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tersebut. Untuk mampu memahami perasaan orang lain, mustahil bisa kita lakukan kalau kita tidak menenggelamkan diri sebagai figure penggantinya. Dan untuk mampu menjadi peran penggantinya, harus ada satu media yang bisa ‘memaksakan’ kita untuk benar-benar menerima peran tersebut tanpa keluh-kesah, ikhlas menjalani.

Dalam hidup bermasyarakat, distorsi social merupakan fakta actual yang tidak ditampik keberadaannya. Satu keadaan yang merupakan rampaian yang sinergis antara pelaku yang satu dengan lainnya, yang tidak lain merupakan sunnatulloh yang mau tidak mau harus-bahkan wajib-kita terima sebagai bagian dari kehidupan ini.

Sebagai bagian yang tertata rapi oleh ‘taqdir’, adalah sinergisme yang indah bila saja semua pelaku, umat, dengan porsinya masing-masing mau dan mampu mengartikan makna hidup dalam kehidupan yang mengerucup pada nilai-nilai ubudiyah. Sebuah keindahan yang hanya mampu ditelaah oleh mereka yang berkenan membuka mata hatinya melihat lebih dalam tentang tujuan serta keagungan diciptakannya manusia oleh Sang Pencipta yang tidak lain adalah untuk mengabdikan diri.

Secara general, pengabdian memiliki subtansi yang tidak hanya memberikan efek tunggal bagi pelaku saja, manfaatnya, akan tetapi menyeluruh pada kehidupannya baik yang bersifat individual juga social. Namun, searah dengan degradasi pemahaman arti ibadah itu sendiri, yang hanya berorientasi pada pembangunan dialogis ketuhanan, subtansi ubudiyah pada akhirnya tersekat sebatas pelaksanaan syari’at-syari’at yang subgeneralisasinya hanya memiliki kuantitas-kualitas-sepihak.
Seperti halnya pelaksanaan ibadah puasa, bila pemahaman makna puasa hanya sebatas pelaksanaan perintah dengan barometer ajaran fighiyah, menahan dan menjauhi dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan ibadah puasa saja, tanpa mau tahu ‘makna-pesan’ yang terkandung dalam puasa itu sendiri, seseorang hanya akan tahu arti lapar dan dahaga selama sehari menjalankannya. Sebagaimana sabda nabi; “Kebanyakan orang yang mendirikan ibadah malam hari (romadlon) hanya mendapatkan jaga (tidak tidur) dan kebanyakan orang yang menjalankan puasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga.” (HR. Imam al Tabroni).

Dalam hal ini, sahabat Jabir pernah bertutur; “Ketika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu juga mulutmu dari berbohong dan berbuat dosa. Janganlah menyakiti tetangga-keluarga-mu. Tangguh dan tenangkanlah pada hari dimana kamu sedang menjalankan ibadah puasa. Jangan samakan hari-hari puasamu seperti hari-hari dimana kamu sedang tidak menjalankan puasa”. (Syeikh Nada Abu Ahmad, Mukaddimah shiyamu al jawariih).

Pemaknaan puasa, sebagaimana yang disinggung sahabat Jabir ini mengarahkan pada prilaku kita dalam menjalankan ibadah puasa agar tidak sekedar menahan rasa lapar dan dahaga, akan tetapi jauh lebih dalam adalah pembentukan sikap mental guna membenahi sisi lain kehidupan social kita dalam bermasyarakat. Yang tidak sekedar membenahi diri dari sifat-sifat tercela sesama manusia, akan tetapi juga bisa saling menghargai dan menghormati serta mampu menumbuhkan rasa empati pada orang lain.

Sudah seharusnya, dalam menjalankan ibadah puasa, dengan rasa lapar dan dahaga serta efek yang ditimbulkan dari kedua rasa tersebut, dapat menjadi instrument yang mampu menggugah hati nurani seseorang untuk dapat ‘menempati’ peran saudara-saudara kita yang hidup selalu berteman kelaparan. Sehingga, secara konstan perangai individualis yang pernah hinggap dalam pribadi seseorang dapat berubah menuju pribadi-pribadi yang berjiwa social. Dengan demikian, rasa sepenanggunan, solidaritas hidup berbangsa dan bernegara dapat terbentuk sedikit demi sedikit demi terciptanya kehidupan yang lebih harmonis di persada Nusantara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun