Mohon tunggu...
Fairuz Abu Macel
Fairuz Abu Macel Mohon Tunggu... -

Jenaka tapi Bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semoga Kalian Tidak

28 Juli 2013   03:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun ketika sang Ramadhan tiba, aku hanya sibuk mengirim ucapan melalui facebook, twitter, sms, spanduk poster dan baliho. Sehingga seseorang yang kebetulan bernama Pak Ramadhan dan Pak Marhaban terheran-heran menyaksikan namanya dipampang disetiap sudut kota.

“Kok orang Kota tau ya, kalau kita akan datang?” kata Pak Ramedan pada Pak Marhaban saat hendak membeli sirop di pusat pertokoan.

Begitupula disaat aku diminta mengatur media. Akupun lantas mempersiapkan strategi yang membuat semua pendengar dan pemirsa terpesona. Sebab aku sadar, media kan ruang industri. Maka tak mungkin setiap acara tak beroleh keuntungan. Tak mungkin setiap menit tak bernilai rupiah. Bahkan azan maghrib pun diiklankan.

Lantas aku mendekati mereka yang gemar tampil dan bersuara. Ku rayu mereka dengan alasan memempertahankan posisi jabatan dan suara di pemilukada. Kemudian semua berbondong menjadi orang bijak saat aku mendengar radio jelang azan Maghrib dan Imsak. Ada yang mengucapkan selamat berbuka dengan gaya deklamasi seperti seorang anak kecil yang ikut lomba maulidan di masjid kampung.

Adapula yang memaksakan dirinya untuk mengucapkan Sabda Nabi. Sehingga tak bisa membedakan huruf ‘Jim’ dan huruf ‘Zal’ dalam menguntai kalimat  “…ghufirolahu maa taqaddama min zambih..” bukan …min jambih. Padahal dia kan seorang pengusaha yang berpeluang membeli peralatan canggih untuk memperbaiki tata letak lidahnya, sehingga tajwidnya dapat didengar nikmat. Operasi hidung dan gigi saja bisa, masak sih operasi lidah gak bisa?

Ini menunjukkan radio itu tak punya standar, tak punya editor yang faham ilmu tajwid. Karenanya, tahun depan saya sudah kapling 1 menit untuk seorang kawan yang sedang berada di penjara untuk mnyampaikan selamat berbuka puasa dengan kalimat seperti ini: “Saya Abu Mardut, penghuni penjara kamar 09 menyampaikan permohonan maaf atas kejahatan yang saya lakukan. Saya memang jahat tapi bukan berarti diluar tembok penjara baik semua, selamat berbuka puasa, semoga dosa kita diampuni.”

Di televisipun demikian, aku akan cari artis yang bisa ceramah dan penceramah yang bisa jadi artis. Ini keuntungan ganda yang diraup dalam Ramadhan. Inilah barokah Ramadhan. Tuhan memang sedang berpihak denganku.

Aku akan membuat acara baca Qur’an disertai kuis jutaan rupiah. Kubuat acara yang terkesan membantu kaum miskin, kuperintahkan pembawa acaranya untuk mempertontonkan uang seratusan ribu yang dihitung hingga jutaan rupiah didepan moncong kamera. Kemudian simiskinpun pasti terharu menangis bercucuran air mata. Aku dinilai sukses megelola acara. Semua produk akan mempercayakan penayangangan iklannya diacaraku yang menjual saudaraku yang mememelas itu.

Tak lupa juga disiang hari selama Ramadhan aku sajikan acara dengan mengemas menu makanan yang menggugah selera. Tentu pembawa acaranya sudah pasti cantik dan berjilbab, meski usai ramadhan dia pake celana pendek dan tank top. Iklan yang mendukungnya pasti banyak, meski tak nyambung dengan materi acara, seperti iklan sabun yang memperlihatkan sebagian tubuhnya terkena busa sabun sambil senyum dan lirikan mata menggoda.

Kalau ada yang protes, akan aku carikan para cendekia untuk memberikan argument yang logis dan diterima akal. Bahkan aku akan meminta ormas untuk berdemo menolak acara jenis itu agar rating acaraku bisa didongkrak. Inilah strategi media kapitalis yang kuimpikan itu.

Soal puasa? Ah ini soal sepele. Aku sudah terlatih untuk mempertontonkan caraku beragama yang dapat memukau semua orang. Toh juga semangat bernegara sudah merasuki semangat beragamaku. Jadi mereka pasti tau dong bagaimana mengemas agama dalam etalase modern seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun