"Kuncinya kita hidup dulu sebagai manusia. Hidup, nggak cuma bernyawa doang, tapi hidup, punya soul, punya energi, punya kesetiakawanan, punya kepekaan. Itu syaratnya." (Akhadi Wira Satriaji/Kaka Slank)
Kali ini saya akan bercerita perihal kenangan. Kenangan bersama seseorang yang selain memiliki soul, energi, kesetiakawanan, juga kepekaan. Kami menjalin kedekatan semenjak masih bocah. Kami menghabiskan masa kanak-kanak tanpa gadget, sosmed, dan sejenisnya. Bermain petak umpet di bawah kibaran cahaya rembulan jamak kami lakukan. Menyaksikan acara di tv tabung hitam putih milik tetangga pada hari minggu merupakan hiburan mewah.
Saat usia teenagers, kami sama-sama mengidolakan Slank--grup musik yang dibentuk oleh Bimbim pada 26 Desember 1983. Sebagai wujud keseriusan, kami memiliki kartu anggota resmi Slanker's Club.Â
Beberapa kali kami menghadiri konser Slank. Kami umpul-umpul, hari demi hari, demi menebus tiket. Sebab tidak mungkin kami minta kepada orang tua untuk dibelikan tiket masuk. Namun, di balik proses itu ada pembelajaran sekaligus kebahagiaan tersendiri yang kami dapatkan.
Inilah Manifesto Slank: 1) Kita harus "kritis", 2) Berjiwa "sosial", 3) Penuh "solidaritas", 4) Saling "setia", 5) Selalu "merdeka", 6) Hidup "sederhana" 7) Mencintai "alam", 8) "Manusiawi", 9) Berani untuk "beda", 10) Menjunjung "persahabatan", 11) Punya "angan" yang tinggi, 12) Menjadi "diri sendiri", 13) Membuka "otak" dan "hati" kita.
***
Usai merampungkan sekolah berseragam putih dongker, kawan saya melanjutkan SMA di Purwokerto sembari mendalami bahasa Arab dan bahasa Inggris di Ponpes Al Ikhsan Beji, Purwokerto. Saya mengikuti jejaknya, memasuki jagat Arabic English Development Skill (AEDS). Program yang saya pilih saat itu adalah Hard Teaching System (HTS).
Salah satu tradisi di sana adalah bercakap-cakap dengan bahasa Inggris atau Arab. Karena bahasa adalah custom. Tidak cukup dipelajari secara teori. Sehingga practice hukumnya fardhu 'ain. Kadang juga fardhu kifayah :D
Mula-mula saya heran, di sana, ada beberapa orang yang ngobrol pake bahasa Inggris dengan grammar kacau. Lambat laun, saya baru menyadari bahwa hakikatnya, bahasa hanyalah alat komunikasi. Yang penting, elo paham gue paham. Cas cis cus! Clear! Berarti ga pake grammer gapapa? Gapapa lah. Yang penting pake baju dan katok atau sarung. Jangan wuda (telanjang)!
Just kidding! Tentu saja grammar itu penting, tapi tak perlu menunggu hingga kita benar-benar menguasainya, baru praktek conversation. Kelamaan. Sambil jalan saja-lah.
***
Saya menjalani hidup sebagai buruh penjahit di Tembok, Banjaran. Hari Minggu saya manfaatkan untuk belajar teater dengan bergabung di teater Lare's Dramatic asuhan Toean Apito Lahire. Sesekali ngamen puisi. Sedangkan kawan saya melanjutkan study di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Meski terpisah oleh jarak, kedekatan kami tak tergoyahkan. Beberapa kali saya diajaknya mengunjungi Jogja, halan-halan sekaligus berburu buku di shoping.
Selang beberapa tahun, saya meninggalkan dunia perburuhan dan lanjut kuliah. Singkat cerita, kawan saya lulus kuliah, pulang kampung, dan aktif di organisasi remaja bareng saya. Saat itu kebetulan saya masih dipercaya sebagai ketua.
Singkat cerita maning, masa kepemimpinan kami berakhir. Saatnya berganti kepengurusan. Pemilihan berlangsung dengan aman dan terkendali. Tanpa isu sara, tanpa beredarnya hoax, tanpa ontran-ontran, tanpa demo-demo angka cantik :D. Setelah surat suara dihitung, kawan saya terpilih sebagai ketua. Saya pun menjadi menjadi demisioner dan menyerahkan tampuk organisasi kepada kawan baik saya yang satu itu.
(To be continued)
*Part 2 bisa disimak di sini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI