Mohon tunggu...
Abu Kemal
Abu Kemal Mohon Tunggu... Pensiunan -

- 33 : 70-71

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Renungan Romadhon) Mohon Maaf, Aku Pernah Nyolong

26 Juli 2013   16:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:59 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yah sudahlah, namanya juga sejarah, tak akan pernah bisa di ulangi untuk di revisi.

Sebagai anak kampung, aku lahir dan tinggal di kota kecil, kota kabupaten. Dan seperti  di semua wilayah di Jawa Timur hampir pasti  ada sawah yang disewa pabrik gula untuk ditanami tebu. Tebu jaman itu sangat beda dengan tebu jaman sekarang. Tebu jaman dulu, besar2 tinggi dan airnya itu lho sangat banyak. Tetapi jaman itu malah belum pernah lihat loh ada orang jualan es sari/air tebu seperti sekarang. Tebu jaman itu enggak bangetlah, ndesit pokoknya, ga tega kali ya untuk dijual air tebunya.

Namanya juga anak2, meski di rumah ga kurang sandang pangan, mungkin karena pengaruh ajakan teman, dan trend nya waktu itu nyolong tebu, yo wis acara rutin saat tebu  berbunga, artinya tebu sudah tua dan menjelang dipanen pemiliknya (pabrik gula), maka boleh dong kita icip2 barang sebatang dua batang.

Aku ingat, saat itu kelas enam SD, kami ber empat dengan dua sepeda, karung goni, dan pisau Pramuka, (tanpa pamit ke ortu) berangkatlah ke kebun tebu terdekat, di desa Madriasri, kira2 lima kilometer dari rumah. Sejauh mata memandang hanya pohon tebu yang terlihat. Ga akan habis juga meski dimakan orang lima kampung, pokoke.

Dengan strategi agar kalau konangan ketahuan mandor/penjaga tebu maling2 kecil ini bisa mudah melarikan diri, maka sepeda kita titipkan dirumah Lik Pardi di Jururejo, jauh dari tkp.

Berjalan kaki mungkin hampir satu kilo meter, anak2  sekecil itu kok ya ga ngerasa capek lho, maklum ada target reward di depan sana. Kami pilih lokasi yang paling banyak terlihat tebu yang berbunga (berbunga, artinya tebu sudah tua), jika terlihat bunga tebu me lambai2,  kami datangi. Waktu itu tak semua orang berani masuk kebun tebu, ketahuan mandor/penjaga tebu bisa di ketapel, minimal benjol kepala atau paling apes ditangkap dibawa ke "kantor". Ngga tahu kantor apa, kantor Koramil atau kantor pabrik,  pokoknya kalau tertangkap bisa gawat keliwat-liwat.

Sambil tolah-toleh kanan kiri, pasukan kami mulai masuk kebun, dengan menyeberangi kanal irigasi sawah yang mulai mengering, airnya sedikit dan berlumpur, maka sendal jepit kami lepas, diikat dipinggang biar ga ilang (kalau hilang, mau jawab apa kalau bokap/nyokap nanya).

Dengan pisau, kami tusuk dulu batang tebu yang kami pilih, kalau kulit tebu langsung pecah dan berbunyi theek, artinya itu tebu pasti sudah tua, dijamin nikmat  manisnya. Makanya di kami ada istilah tebu thek, artinya tebu yang benar2 tua. Enak buwanget gituloh.

Kami selalu pilih tebu yang berada didalam kebun, yang tak terlihat dari jalan, he he atut ketahuan. Dan kami biasanya juga ga banyak kok nyolongnya, paling lima batang, sudah cukup berat dan karung yang kami bawa akan sulit kita evakuasi kalau ke gendutan, berat.

Mungkin hari itu lagi kurang beruntung, baru tiga batang tebu thek kami tebang, tanpa tahu dari mana datangnya, tangan kiri anak kampung sudah dipegang erat oleh seseorang tinggi besar ber seragam coklat, seragam penjaga tebu, kami menyebutnya mandor tebu. Aku masih ingat didadanya ada tulisan nama Djojo Pardi, penjaga tebu yang paling disegani di area itu.

Modiar, pikirku, tanpa di komando tebu ditangan dibuang dan teman2 berusaha membebaskan aku dari cengkeraman pak Djojo Pardi. Belum berhasil melepaskan tanganku, dari depan kami terlihat lagi dua penjaga tebu yang lari menuju ke arah kami. Keruan saja teman2 lebih memilih ambil jurus paling populer kalau ketemu lawan yaitu jurus langkah seribu. Mereka berlari ke segala arah, sengaja agar perhatian penjaga terbagi karena harus  mengejar tiga maling lagi.

Tinggalah aku yang masih di pegang erat2 oleh pak Djojo Pardi, sambil mengancam akan dibawanya ke kantor, dia menyeret ku. Duh, dunia seakan kiamat bagiku saat itu, begitu ternyata rasanya maling kalau tertangkap. Ndah niyo, gimana rasanya koruptor2 itu ketika tertangkap yah, tetapi kok nyatanya mereka malah senyam senyum ya didepan kamera tivi, sudah sakit jiwa barangkali mereka itu, wong ketangkep kok malah ketawa ketiwi. Mbencekno. Lah malah ngelantur.

Kembali ke kisah : singkat cerita, sepertinya bener2 nih aku mau dibawa ke kantor. Dalam kondisi tanpa daya (serius amat), aku jadi ingat ibu sama bapak ya ampun apa kata orang kalau sampai orang tua ku  harus ikut2  dipanggil ke kantor.

Saat kami berdua harus lompat saluran kecil, ndilalah pak Djojo terpeleset, dan genggaman tangannya lepas.

Kesempatan tak akan datang dua kali, aku langsung mlayu sipat kuping, lari tunggang langgang. Tak tahu arah yang penting bebas dulu dari kejaran mandor tebu. Gak tahu seberapa kencang aku berlari, yang jelas karena menerabas kebun tebu, daun2 tebu yang tajam seakan berpesta menggores  badanku, tapi tak kuhiraukan. Nafas ter-sengal2 ter-batuk2, aku tetapi tetap teruuuus berlari.

Selama berlari sesekali aku menoleh ke belakang, pak Djojo Pardi yang besar itu ternyata tak bisa lari kencang, makin lama jarakku dengannya  makin jauh. Dan ketika sudah merasa benar2 jauh baru aku berani berjalan pelan2 sambil mencari arah. Kira2 dimana aku saat itu, duh jika saja waktu itu aku  bawa gps mungkin ga usah bingung ya. Tapi wong waktu itu pabrik gpsnya saja belum ada.

Merasa aman, aku mulai atur nafas berusaha tenang, tetapi perih di pipi, tangan dan kaki mulai terasa, goresan2 daun tebu yang tajam itu  mulai berdarah, periiih sekali. Bukan perihnya yang membuat aku bingung, tetapi mau bilang apa ke ibu sama bapak dirumah nanti.

Aku langsung mencari tempat sepeda kami titipkan. Setelah berjalan agak lama, dugaanku benar, teman2 sudah menungguku disitu dengan cemas, anggota terkumpul lengkap.  Tetapi  ada yang kelihatan matanya memerah nangis, bingung karena aku tertangkap.

Dasar anak2, setelah tenang bukan sedih kami malah  tertawa terguling-guling disitu. Tegang tragis, terlupakan sudah, meski  tanpa tebu sejengkalpun, kami pulang. Karung goni dan dua pisau hilang saat kejadian perkara. Ndak apa2 yang penting selamet semua.

Dirumah, sebelum ditanya kami serombongan matur bapakku, melaporkan kejadian yang kami alami.  Syukur, aneh tak ada kata2 marah sedikitpun, bapak hanya berpesan, wis ojo dipindo meneh, sudah jangan di ulangi lagi. Wis kono adus, gek ndang di yodium, sudah sana cepet mandi, terus segera di yodium (diobati) lukanya, kata bapakku lagi.

Tak kusangka besoknya ada dokar datang membawa tebu thek sangat banyak, entah dari mana bapak mendapatkan tebu sebanyak itu. Aku dan teman2 kenyang makan tebu ber-hari2, tanpa nyolong, tanpa takut ditangkap pak Djojo Pardi lagi. Duh, rasanya sampai hari ini  belum bisa aku menjadi bapak sebaik ayahku.

Pelajaran berharga bagiku, meski belum tentu buat yang lain, bahwa mencuri membuat hidup tidak nyaman.

Sekian ya,  sudah kepanjangan.

Ucapan terima kasih :

-kepada : ngkoh Ahmad Jayakardi, setelah membaca tulisan beliau  memoryku tergali (...halah).

-disertai permohonan maaf kepada : bapak Djojo Pardi, semoga beliau membaca tulisan ini (?)atau siapapun yang mengenal beliau sudi menyampaikan permohonan maaf ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun