Mohon tunggu...
Abu Kemal
Abu Kemal Mohon Tunggu... Pensiunan -

- 33 : 70-71

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Renungan Romadhon) Mohon Maaf, Aku Pernah Nyolong

26 Juli 2013   16:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:59 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tinggalah aku yang masih di pegang erat2 oleh pak Djojo Pardi, sambil mengancam akan dibawanya ke kantor, dia menyeret ku. Duh, dunia seakan kiamat bagiku saat itu, begitu ternyata rasanya maling kalau tertangkap. Ndah niyo, gimana rasanya koruptor2 itu ketika tertangkap yah, tetapi kok nyatanya mereka malah senyam senyum ya didepan kamera tivi, sudah sakit jiwa barangkali mereka itu, wong ketangkep kok malah ketawa ketiwi. Mbencekno. Lah malah ngelantur.

Kembali ke kisah : singkat cerita, sepertinya bener2 nih aku mau dibawa ke kantor. Dalam kondisi tanpa daya (serius amat), aku jadi ingat ibu sama bapak ya ampun apa kata orang kalau sampai orang tua ku  harus ikut2  dipanggil ke kantor.

Saat kami berdua harus lompat saluran kecil, ndilalah pak Djojo terpeleset, dan genggaman tangannya lepas.

Kesempatan tak akan datang dua kali, aku langsung mlayu sipat kuping, lari tunggang langgang. Tak tahu arah yang penting bebas dulu dari kejaran mandor tebu. Gak tahu seberapa kencang aku berlari, yang jelas karena menerabas kebun tebu, daun2 tebu yang tajam seakan berpesta menggores  badanku, tapi tak kuhiraukan. Nafas ter-sengal2 ter-batuk2, aku tetapi tetap teruuuus berlari.

Selama berlari sesekali aku menoleh ke belakang, pak Djojo Pardi yang besar itu ternyata tak bisa lari kencang, makin lama jarakku dengannya  makin jauh. Dan ketika sudah merasa benar2 jauh baru aku berani berjalan pelan2 sambil mencari arah. Kira2 dimana aku saat itu, duh jika saja waktu itu aku  bawa gps mungkin ga usah bingung ya. Tapi wong waktu itu pabrik gpsnya saja belum ada.

Merasa aman, aku mulai atur nafas berusaha tenang, tetapi perih di pipi, tangan dan kaki mulai terasa, goresan2 daun tebu yang tajam itu  mulai berdarah, periiih sekali. Bukan perihnya yang membuat aku bingung, tetapi mau bilang apa ke ibu sama bapak dirumah nanti.

Aku langsung mencari tempat sepeda kami titipkan. Setelah berjalan agak lama, dugaanku benar, teman2 sudah menungguku disitu dengan cemas, anggota terkumpul lengkap.  Tetapi  ada yang kelihatan matanya memerah nangis, bingung karena aku tertangkap.

Dasar anak2, setelah tenang bukan sedih kami malah  tertawa terguling-guling disitu. Tegang tragis, terlupakan sudah, meski  tanpa tebu sejengkalpun, kami pulang. Karung goni dan dua pisau hilang saat kejadian perkara. Ndak apa2 yang penting selamet semua.

Dirumah, sebelum ditanya kami serombongan matur bapakku, melaporkan kejadian yang kami alami.  Syukur, aneh tak ada kata2 marah sedikitpun, bapak hanya berpesan, wis ojo dipindo meneh, sudah jangan di ulangi lagi. Wis kono adus, gek ndang di yodium, sudah sana cepet mandi, terus segera di yodium (diobati) lukanya, kata bapakku lagi.

Tak kusangka besoknya ada dokar datang membawa tebu thek sangat banyak, entah dari mana bapak mendapatkan tebu sebanyak itu. Aku dan teman2 kenyang makan tebu ber-hari2, tanpa nyolong, tanpa takut ditangkap pak Djojo Pardi lagi. Duh, rasanya sampai hari ini  belum bisa aku menjadi bapak sebaik ayahku.

Pelajaran berharga bagiku, meski belum tentu buat yang lain, bahwa mencuri membuat hidup tidak nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun