Di kampung-kampung, hujan selalu dimaknai sebagai berkah. Turunnya disambut gembira oleh siapapun. Kedatangannya bagai bantuan langsung tunai (BLT) dari semesta yang dinikmati secara langsung dan merata. Tak seperti bantuan langsung dari Negara yang tebang pilih dan tidak merata. Hujan begitu adil dan terbuka. Saking terbukanya, hujan bisa diakses oleh siapa saja, sehingga tak perlu repot mengurus surat ketterangan tak mampu di kantor-kantor desa dahulu seperti bantuan yang disediakan Negara.
Bagi anak-anak kampung, hujan jadi wahana permainan dan ruang kreatifitas. Ada banyak panggung hiburan dan gelanggang produktifitas yang bisa dibuatnya. Sebut saja perlombaan perahu kertas, permainan pistol air, menyusun rumah-rumah tanah, hingga mandi berebutan dan silih berganti disudut-sudut atap rumah seraya menyambut BLT. Semuanya itu dilakukan dikala hujan dan membuatnya menjadi terhibur dan mengasah kreatifitas.Â
Di kalangan tua pun demikian. Baginya, hujan mendatangkan kebahagian yang nyata. Dengan hujan, lahan pertaniannya menjadi lembap dan tanamanya tersiram sendirinya, tak khawatir lagi kekeringan, tak resah lagi memikirkan gagal panen. Ketika hujan tiba, senyum sumringah akan terpancar. Andai mereka gemar berjoget, mungkin saja akan menekspresikan kebahagiaannya dengan joget gemoy menyambut hujan yang berkah. Bukan hujan politik dikala fajar tiba, tak pernah memberi berkah bagi petani kampung.
Berbeda jauh dengan kehidupan Kota. Hujan bagi masyarakat kota bukan sekedar kata pujangga. Sebab dibalik kata hujan, ada tragedi kelam memilukan, yakni, masalah kesehatan, kerugian, kelaparan hingga kehilangan. Oleh karena itu, kedatangannya selalu memancing kekhawatiran, karena kadang mendatangkan duka luar biasa.Â
Di kota, jika hujan deras tiba, deras tangis airmata turut membanjiri wajah masyarakat kota, karena derasnya hujan kadang tak sekedar membanjiri rumah namun juga menghentikan aliran pemasukan rumah tangga  hingga menyeret nyawa manusia. Alasan itulah mengapa hujan kadang tak diharap tiba seperti orang-orang desa menanti layaknya bantuan BLT.
Mengenai hal itu, hujan tentu tak patut dipersalahkan, bukan juga tentang kampung dan kota yang jadi sasaran inspirasi dan evaluasi, tapi ini tentang aspirasi yang jarang direalisasi oleh seglintir elit pengurus Negara ini yang selalu haus membangun kota tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan disekitar kita.Â
Padahal, pemerhati lingkungan kerap memperingatkan bahwa semakin lemahnya daya tampung lingkungan akibat tata kelola ruang dan pembangunan infrastruktur berlebihan, yang mengurangi hingga melampui daya dukung dan daya serap lingkungan. sehingga Kota menjadi lokasi yang terus mendapatkan bencana banjir disaat hujan melanda.
Dengan demikian, perlu pertaubatan ekologis di elit Negara ini, agar hujan kembali dipandang berkah bagi manusia sebagaimana maksud hujan diciptakan.
Sebagaimana Surat Ar-Rum Ayat 48 yang artinya "Allah lah yang mengirim angin, lalu angin menggerakan awan, kemudian Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya dan Dia menjadikannya bergumpal-gumpal lalu engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka apabila Dia menurunkannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, seketika itu pula mereka begembira".
Hujan harusnya mendatangkan kegembiraan jika pengurus Negara ini punya kesalehan sosial dalam mengelola lingkungan. Kurang Relligiusnya pengurus Negara dalam menghadirkan pembangunan maka akan terus menciptakan bencana lingkungan, dan hujan akan terus dikhawatirkan kehadirannya di kota-kota.