Pemulung, pengemis dan termasuk penjual koran jalanan lebih mulia dan terhormat dibandingan para pejabat. Mereka tetap sabar mensiasati kehidupan dengan tegar tiap harinya dengan hanya bermodal harapan, meski kadang harapan itu tak kunjung mereka jumpai. Mereka terus bertahan memulung, mengemis, dan menjual meski kadangkala hanya menerima teguran dan tawaan, bukan uang dan penghidupan.
Tiap hari mereka jalani secara konsisten dengan caranya menyambung penghidupan, meski tak seperti pejabat yang tiap bulan gajian meski tak kerja berhari-hari, yang jika menindas semakin besar pula puing-puing modal mereka kumpulkan. Tak seperti para pejabat yang selalu merasa kurang dan tak pernah puas, yang kerap kali marah ketika gaji bulanan datang terlambat dan yang tak jarang menuntut kenaikan gaji bulanan maupun tunjangan.
Para pemulung, pengemis dan penjual koran jalanan sesungguhnya lebih mulia hidupnya karena tak pernah memeras, memaksa apalagi menindas, mereka tak pernah merampok harta orang lain, tak pernah membuat orang lain menderita. Kemuliaannya karena mereka lebih memilih bertahan hidup dalam kesengsaraan ketimbang hidup sejahterah dengan jalan merampas kebahagiaan hidup orang lain.
Namun mata dunia tak pernah melihat kehormatan itu pada mereka, bahwa kehormatan menurutya ketika beruang dan berstatus pejabat. Sungguh tidak adil bagi orang-orang kecil walau begitu baik dan mulia. Mata dunia hanya memandang harta dan tahta bukan yang lain.
Namun ia tak kekal, kejamnya mata dunia kan terbalas dengan mata hati sang kuasa Pencipta. Serta orang-orang mulia dan terhormat kan langgeng bahagia di hadapannya, dan kecelakaan kekal baginya yang telah rakus akan kehormatan duniawi, yang selalu mengejar tahta memupuk harta, yang sedikitpun enggan melirik jelata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H