Mohon tunggu...
Abu Al Givara
Abu Al Givara Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya Menulis, Bukan Penulis

Jadilah pembelajar yang terus bersabar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bertemu Pierre Bourdieu Di Warkop Pak Udin

26 Juni 2020   15:18 Diperbarui: 22 Juni 2023   21:26 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New Normal menjadikan warkop kembali buka dengan syarat mematuhi protocol kesehatan. Alhamdulillah, Pak Udin salah satu pemilik warkop favorit saya kembali buka. Sebelumnya Ia tak bekerja dan berpenghasilan karena dilarang membuka warkopnya. Dengan dibukanya kembali warkop melalui pelonggaran kebijakan New Normal, beliau sedikit legah mencari sesuap nasi menafkahi isteri dan anaknya.

Pagi hari saya ke warkopnya bersama salah satu sahabat saya. Keinginan disana selain karena rindu suasana warkopnya, ialah ingin berdiskusi bersama sahabat tentang Covid-19. Warkopnya memang menjadi tempat diskusi kami sejak dahulu, apalagi pak Udin sangat ramah dengan kami dan ia tak pernah mengusir kami sekalipun berlama-lama dan kadang hanya pesan Aqua gelas dan empat batang rokok Surya.

Pas tiba di warkop, saya sangat kaget juga tak menyangka. Di warkop Pak Udin, ada sosok sosiolog kritis asal Perancis bernama Pierre Bourdieu. Bagi kalangan penggelut sosiolog kritis atau Critical Sociology, aktivis termasuk politisi, Bourdieu adalah sosok yang tak asing, karna ia merupakan tokoh sosiolog abad XXI yang cukup terkenal karena pikiran-pikirannya yang brilian.

Keberadaan Bourieu di warkop, mengalihkan tujuan kami mendiskusikan Covid-19. Padahal kami sudah niatkan untuk membincangkan covid dan akibat sosial yang banyak ditimbulkannya yang akhir-akhir ini banyak diresahkan oleh masyarakat . Pembahasan covid yang sebelumnya sudah direncanakan, kami tangguhkan demi belajar dan menggali pemikiran-pemikirannya.

Sebelum kami belajar dan menggali pemikirannya, pertama-tama kami berkenalan terlebih dahulu dan selanjutnya kami mempertanyakan kedatangannya di warkop Pak Udin serta tujuannya ke Makassar. Singkat saja jawabannya, katanya, Ia sebenarnya sudah lama di Makassar melakukan penelitian menngenai sosiologi masyarakat makassar, tapi karena negaranya Prancis menghadapi wabah covid -19 sehingga ia tak bisa pulang dan terpaksa menetap dalam waktu tak menentu di Makassar. Tujuan ke warkop pun sebenarnya ialah ingin memahami sosiologi masyarakat makassar, kenapa masyarakat Makassar lebih suka nongkrong di warung-warung kopi.

Setelah Bourdieu menjelaskan tujuannya, kami kembali membuka pertanyaan tentang pikiran-pikirannya. Kurang lebih ada tiga pikiran besarnya yang cukup terkenal, diantaranya Habitus, Arena dan Kapital. Kami menggali ketiga hal itu dengan mempertanyakannya. Kesimpulan kecil yang kami dapatkan ialah, tiga hal itu merupakan satu kesatuan penting dalam masyarakat ketika memahami sosiologi masyarakat secara kritis, terutama dalam menggapai cita-cita personal maupun politik, termasuk penguasaan panggung sosial yang tersedia.

Pertanyaan kami tentang ketiga hal itu, Pierre Bourdieu menaggapinya dengan terlebih dahulu menyatakan "Praksis Sosial adalah hasil dialektika antara Internalisasi Eksterior dan Eksternalisasi Interior". Pernyataan itu membuat kami bingung karna istilah itu kami belum pernah dengar seblumnya, dan kami mengira jawaban yang diberikan ialah tentang ketiga hal yang kami tanyakan tadi. Dari kebingungan itu, membuat kami kembali bertanya lagi, menanyakan tentang Praksis Sosial itu apa, Internalisasi Eksterior itu bagaimana dan Eksternalisasi Interior itu seperti apa.

Bourideu menjelaskannya begitu panjang dan bagi kami sederhana juga agak sulit. Bourdieu berkata, Praksis Sosial itu bukanlah seperti praktik sosial atau praktis sosial yang kita pahami umumnya, Praksis Sosial semacam pengejewantahan dari pengetahuan teoritik ke tindakan sosial, atau penggabunagan antra teori dan praktek, bukan teori saja atau praktek saja, bukan pula praktis sosial. Sementara Internalisasi Eksterior adalah internalisasi perilaku sosial yang berlangsung yang berasal dari luar diri kita. Sedernahanya, nilai-nilai dan perilaku sosial dari luar itu kita adopsi menjadi perilaku kita. Sementara Eksternalisasi Interior ialah sebaliknya, yaitu nilai-nilai dalam diri "internal" kita wujudkan dalam lingkup sosial di luar diri kita. Penggabungan keduanya itulah yang dikatakan sebagai Praksis Sosial.

Contoh sederhana agar lebih mudah dipahami dari internalisasi Eksterior adalah, kosmetik kecantikan yang dibangun dari luar "eksternal" melalui iklan-iklan kemudian menjadi satu nilai pengetahuan yang kita percayai kemudian kita gunakan untuk diri kita. Begitupun Eksternalisasi Interior contohnya kebiasaan-kebiasaan malas kita hari-hari seperti keluar rumah tidak pake masker, pulang tidak cuci tangan disaat pandemi melanda yang kita wujudkan dalam bentuk tindakan diluar kita, di lingkungan masyarakat.

Aspek interior itu dibentuk oleh Habitus yang kalian tanyakan tadi, lanjut Bourdieu. Habitus, terbentuk oleh kebiasaan, sifat, sikap, perlakuan atau tata nilai dalam dirii. Habitus--yang membentuk kebiasaan kita itu--adalah nilai-nilai sosial yang tercipta dalam diri kita melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang telah berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berfikir, berperilaku dan menetap dalam diri manusia.

Sementara aspek Eksterior berasal dari Arena. Arena ialah struktur objektif yang ada di luar diri perilku manusia. Arena bisa di contohkan sebagai ruang sosial seperti pekerjaan, lembaga politik, pemerintahan dan sebagainya. Sementara Kapital ialah modal sosial yang kita miliki, seperti status sosial seumpama jabatan, gelar kebangsawanan, kekayaan ekonomi dan seterusnya.

Lanjutnya, dialektika antara Habitus dan Arena sangat ditentukan oleh Kapital. Kapitallah yang sangat berperan penting dalam menentukan di Arena mana kita akan berada. Terlebih terjadi kesesuaian antara Habitus dan Arena. Misalnya, habitus kita adalah punya pribadi yang baik, cerdas, dan Kapital kita ialah Jaringan, punya kekayaan, keturunan bangsawan, berstatus dan gelar yang tinggi maka kita akan mudah bertarung dalam Arena Politik untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Sebaliknya, jika terjadi ketidak sesuaian antara salah satu dari ketiganya "Habitus, Arena dan Kapital" maka peluang sangat kecil untuk berada di arena yang kita kehendaki. Jikapun kita mendapatkannya, maka keseharian kita akan menemukan banyak kendala dan persoalan. Contoh sederhana, kita ingin menjadi seorang Aktivis, tapi kita tidak berusaha menciptakan Habitus seperti kritis dengan membangun budaya belajar, meskipun kita punya Kapital seperti buku bacaan, senior, dan kuota Intenet maka akan sulit berada dalam arena aktivisme. Kira-kira begitu , ucap Bourdieu

Penjelasan Piere Bourdieu begitu panjang, antara mengerti dan pusing, namun kami mengagumi pemikirannya. Mungkin nalar kami masih sempit sehingga kami belum bisa mencernah semua pemikiran dan perkataanya. Lalu kami bertanya kembali mengenai satu istilah yang juga pernah disinggung dalam pemikiran-pemikirannya. Kami bertanya tentang "Dominasi Simbolik". Kalau Dominasi Simbolik itu Apa maksudnya Bourdieu ?

Terangnya, Dominasi Simbolik itu ialah kondisi dimana kita di domiinasi atau ditindas secara simbolik baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi kita menerimanya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan kita membiarkan juga tak melawannya. Contohnya seperti apa itu ? Tanyaku. 

Contohnya, ketika kita sebagai seorang buruh yang bekerja dalam perusahaan. Dalam perusahaan, Pimpinan perusahaan adalah satu simbol kuasa sementara kita sebagai buruh pekerja ialah orang yang berada dalam kuasanya. Dengan itu, apapun yang mereka katakana maka kita akan iakan, termasuk ketika menyuruh pekerja untuk lembur dan bahkan dengan upah minimum. Kita kemudian tidak mempersoalkannya karna kita menganggap semua hal yang di ucapkannya adalah benar karena ia punya kuasa.

Dua jam bersama Pierre Bourdieu membuahkan banyak hal bagi kami, termasuk memahami beberapa buah pikirnya meskipun banyak yang masih membuat kami pusing dan kesulitan karna keterbatasan kemampuan kami memahami pikiran-pikirannya yang disampaikan.  Setelah itu, karena sudah di rasa lama duduk di Warkop Pak Udin dengan hanya memesan Es Teh dan tiga batang rokok surya, maka kami merasa tidak enak dengan pak Udin, apalagi pesanan kami tak sebanding dengan ilmu yang kami dapatan di Warkopnya dan juga menikmati suasana Warkopnya. Kami kembali pulang dan kembali menanggalkan diskusi kami mengenai Covid yang sempat tertunda. Sekiaan.......

Cerita ini hanya kisah fiksi, sekedar mencoba menulis sedikit dari banyak pikiran-pikiran Pierre Bourdieu. Masih banyak pikiran-pikiran menarik lainnya dari Bourdieu yang belum di singgung karna keterbatasan pengetahuan tentangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun