Seperti petir disiang hari, saat matahari bersinar sangat cerah, sulit membayangkan kalau petir menyambar, menggelegar, menyapu kesadaran, tapi begitulah yang "Melia" alami. Remaja berusia 18 tahun, ditengah pertumbuhan fisiknya yang semakin matang, wajah cantik dan tubuh yang padat berisi terlihat sintal dengan senyum cerah, dan sedikit lesung di pipinya.
Sekarang saatnya kamu sadar, sudah waktunya, kamu mesti mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Kamu tidak terlahir dari keluarga kami, kamu hanya anak angkat, andaikan ayah tidak menemukanmu, kemudian memungutmu, lalu membesarkanmu dalam lingkungan keluargaku, mungkin kamu tidak seperti sekarang, dan saat ayah sekarang sudah tidak mampu lagi bekerja, menghidupi keluarganya, apakah kamu masih akan menjadi beban baginya??
Pertanyaan itu menghunjam jantung hati "Melia" ia terpaku, hanya bisa mematung, kepalanya terasa pusing, ingin rasanya ia jatuh, tersungkur, ingin ia menagis, berteriak sekuatnya, namun lidah dan air matanya tiba tiba kelu, kering, tenggorokannya terasa panas, tersekat, ia hanya menggigil manahan rasa yang sangat dahsyat.
Saat otaknya dan jantungnya mulai berdetak, "Melia" Melangkah, satu persatu barang barangnya ia kemasi, Melia masih bingung, hendak kemana dengan siapa atau akan berbuat apa, hatinya berdesing, perlahan lahar hangat memenuhi rongga matanya, tenggorokannya mulai longgar, nafasnya yang tersekat sesekali sesenggukan, melangkah menjauh dari rumah yang telah membesarkannya, rumah tempat ia merajut kenangan indah bersamanya keluarga kecil "Marwan" ayah angkatnya yang kini hanya mampu terbaring, akibat penyakit yang dideritanya.
Setahun lamanya Melia merawat Pak Marwan tetapi kemiskinan semakin menjauhkannya dari kata sembuh, biaya berobat yang mahal, dan pekerjaan yang tak kunjung pernah mencukupi kebutuhan hidupnya, menjadi alasan Munirah mengusirnya.
Munirah lebih tua Tujuh tahun dari Melia, dia anak semata wayang pak Marwan, Munirah menikah dengan Karni pemuda sedesanya, tapi nasib baik tak kunjung menghampiri rumah tangganya hingga beranak tiga, Sakit pak Marwan yang tak kunjung sembuh telah menguras seluruh tabungan dari hasil kerja suaminya, hingga pada akhirnya Melia harus rela meninggalkan pak Marwan yang masih terbaring di gubuk bambu.
Purnama hampir penuh, sejak Melia meninggalkan rumah pak Marwan, langkahnya terus diayunkan, meski dengan tujuan yang tidak jelas, setiap kampung dilewati nya, hanya bermodalkan senyum dan keramahan, Melia mampu bertahan menyambung hidup dari belas kasihan penduduk yang di jumpainya
Setelah purnama mulai berubah lancip, Melia menghentikan perjalanan nya, hampir tiga pekan kakinya melangkah tanpa arah, laut yang luas menghalangi langkahnya, dia berjalan mendekati bibir pantai, matanya melihat sekeliling, hingga pandangannya tersangkut pada sebuah dermaga tempat nelayan melabuhkan perahu perahu mereka.
Beralaskan pasir di antara tumpukan sampah dipinggir tebing, Melia melepas lelahnya, mencari makanan diantara tumpukan sampah, berebut dengan binatang liar, hingga seorang nakhoda bertanya,
Kamu siapa?
Mengapa kamu tinggal disini?
dan katakan siapa ayah dan ibumu,???
Seperti curah hujan, Pertanyaan nakhoda itu mengguyur tubuh Melia, hanya airmata yang menjawabnya..
Kamu tidak boleh tinggal disini. disini berbahaya, kalau terjadi pasang, kemudian ombak menerjang pinggir pantai saat badai, kamu bisa terseret ketengah laut dan kamu bisa mati, Nakhoda itu masih menggerutu, Â sepatah katapun tak keluar dari mulut Melia..
Kamu ikut denganku, aku akan berlayar, menuju Serampang, sebuah negeri yang terkenal dengan keindahan alamnya, negeri yang memiliki daya tarik dan pesona alam yang indah, dengan kultur dan adat istiadat masyarakatnya yang sangat kental, cucilah mukamu, ganti bajumu dengan baju yang paling bersih dari barang yang kamu bawa, nanti disana kamu harus mencari jalan hidupmu sendiri,,
Melia, Remaja yang nyaris dewasa, terlihat cantik. meski kini tubuhnya mulai lemah, badannya kurus matanya cekung, dan kulit wajahnya yang telah berubah kecoklatan, seakan menjadi topeng kecantikannya yang alami..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H