Mohon tunggu...
chairil anwar
chairil anwar Mohon Tunggu... Guru - Menjadi Tua Adalah Suatu Keharusan Namun Menjadi Dewasa Adalah Pilihan

Bekerja di marbot Online, Pria 3 anak, tinggal Di Jerua,Desa Montong Beter, Kec. Sakra Barat, Kab. Lotim, NTB Email,Chairilanwar234@gmail.com, HP 081997959683

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hegemoni Media

13 Mei 2023   10:35 Diperbarui: 13 Mei 2023   10:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Faizun Fikry*
(Mahasiswa Pascasarjana Waskita Dharma Malang)

Kegaduhan politik di tanah air, telah berhasil dimenangkan oleh Media massa untuk menyuburkan proyek demokrasi. Sistem demokrasi semakin subur, karena diasuh dengan informasi fiktif, delusi dan disincredible. Montesquieu (1689), tidak pernah memasukkan media massa sebagai kekuatan demokrasi. Entah mimpi buruk apa yang menghantui alam pemikiran Edmund Burke (1797), yang menilai media massa sebagai pilar demokrasi dalam sistem Trias Politika.

Kegaduhan politik belakangan ini, yang menguras banyak perhatian, adalah hasil propaganda proyek politik media massa untuk memperkuat sistem demokrasi. "Media menjadi alat propaganda dari kepentingan korporatokrasi
(Chomsky, 2008)". Maka adalah benar, demokrasi telah membuka keran kebebasan bagi media, untuk mencairkan situasi sosial. Maka, tugas media adalah memperkuat demokrasi dengan memburuh informasi dengan cara membabi buta. Demokrasi yang ditopang dengan informasi delusi, tidak akan bertahan lama, karena didasari dengan pondasi ilusi.

Istilah "rekayasa sejarah", yang diutarakan Chomsky, dalam buku "Neo Imperialisme Amerika Serikat", untuk menggambarkan kondisi media massa di AS, yang terus melakukan propaganda politik atas nama demokratis. Oleh sebab itu, AS telah berhasil menjadi "champion democracy", kiblat demokrasi bagi seluruh bangsa-bangsa. Tapi, sesungguhnya kondisi sosial, politik dan ekonomi di dalamnya telah keropos, jauh dari nilai demokrasi.

Kata "news", sudah mulai menggeser dari substansi fact, menjadi voice pengiblisan terhadap manusia, seperti Van der Plas yang dikenal sebagai tukang adu domba antar golongan dan kelompok bangsa Indonesia, untuk memperlemah perlawanan Indonesia terhadap Belanda. Informasi yang disampaikan disorientasi dengan matan cita-cita. Oleh karena itu, media menjadi mitra korporasi untuk menyampaikan propaganda politik. Media tanpa iklan, mortalitas. Maka, untuk menjadi immortalitas, dia harus berafiliasi dengan korporat. Media massa sudah menjadi "watch dog", korporat yang mengaung di malam hari dan menggonggong di siang hari. Seperti yang disampaikan Amien Rais, dalam buku "Agenda Mendesak Bangsa", Media massa bisa berperan sebagai "watch dog", bisa sebagai "guard dog", dan bisa menjadi semacam "lap dog".

Allahu'alam Bissowab !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun