Menikmati semilir laut menembus diantara ranbut yang sudah memutih. Sinar rembulan menembus birunya laut dan meuncul kembali seperti lukisan seorang gadis sedang menari dengan irama kelembutan. Aku semakin terdiam terhipnotis seperti memasuki lorong waktu menyusuri jengkal demi jengkal kehidupan.
Adalah burung camar dan membangunkan lamunan dengan nyanyian tentang masa lalu. Yang lalu memang tak akan pernah kembali dan semakin jauh akan meninggalkan kita. Setidaknya ia akan lewat kemudian menarik ujung bibir kita untuk tersenyum. Entah getir atau manis arti senyuman itu hanya hati sendiri yang bisa mengartikan.
Lampu-lampu kapal tak mampu mengurangi keindahan rembulan malam ini. Dalam banyak cerita rembulan identik dengan gadis, gadis identik dengan kecantikan. So kalau demikian (pinjem ungkapan Mario Teguh) rembulan itu cantik, meskipun kata bunda Rita Sugiarto, juri D'Academy Indosiar bulan tidak secantik dulu lagi. Ini setelah Neil Amstrong dan kawan-kawan bersa'i di permukaan bulan sehingga bopeng-bopengnya jelas terlihat dari bumi. Tak perlu membantah fakta ini karena ini hanyalah sebuah fiksi.
Seorang lelaki paruh baya erdiam di ujung dermaga. Menikmati ombak-omak kecil berjalan sekan tiada habisnya. Seperti itulah kehidupan. Ia akan terus berjalan sampai dibibir pantai lalu berhenti.
Kembali terdiam sambil menikmati secangkir kopi dan mencoba mengahapal lirik lagu Rembulan Malam. Ingin kuhadiahkan syair demi syair untuk rembulan dihatiku. Ya ..........dihatiku dan siapapun itu kau tak boleh cemburu. Karena keindahan tak perlu dicemburui ia hanya perlu diteladani.
**
Dirimu bagaikan rembulan
Di malam yang sepi purnama bersinar menerangi hati
aku damba engaku bersemayam di hati walau dalam mimpi
Tetapi mungkinkah rembulan malam berpijak di bumi berdebu
Reff :