Mohon tunggu...
Abu Bakar Fahmi
Abu Bakar Fahmi Mohon Tunggu... -

writer, on being a social psychologist

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengguna Facebook=Narsis?

17 Mei 2011   12:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:32 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan pengguna Facebook memiliki tingkat narsistik yang tinggi. Sebenarnya, apa itu narsis? Di mana saja pengguna Facebook meninggalkan jejak narsistiknya?

Dalam psikologi, narsis mula-mula digunakan sebagai gejala klinis, semacam gangguan kepribadian. Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis, menggunakan kata ini sebagai gejala abnormal berupa perilaku seksual yang berorientasi pada diri sendiri. Ia menyebutnya sebagai ‘ego-libido’ (cinta diri) atau ‘narcissistic libido’. Dalam perkembangannya, sifat narsis makin populer sebagai bentuk kepribadian dan perilaku sosial yang wajar. Kata ini makin akrab sebagai istilah dalam dalam psikologi sosial dan kepribadian. Kalangan psikologi sosial mengartikan narsis sebagai ciri kepribadian yang menggambarkan pengagungan dan peninggian konsep diri. Dalam ciri kepribadian ini terkandung perasaan diri yang memiliki otoritas dan superioritas yang tinggi, merasa memiliki kecukupan diri, suka mengeksploitasi (mengendalikan), suka menunjukkan kecakapan, juga kesombongan, dan merasa memiliki hak yang lebih tinggi. Sebagai sebuah perilaku sosial yang wajar, tingkat narsistik pada seseorangbisa diukur kadarnya dengan menggunakan Narcissistic Personality Inventory (NPI).

Yang jadi pertanyaan, apakah ada pengaruh antara tingkat narsistik pada seseorang terhadap kebiasaannya dalam menggunakan situs jejaring sosial?

Ternyata, tampilan Facebook yang pertama kali, saat masih baru digunakan oleh mahasiswa di Universitas Harvard, adalah tampilan narsis pembuatnya, Mark Zuckerberg. Di tampilan Facebook tersebut, Zuckerberg memasang foto dirinya. Jadi, pada saat itu, siapa saja yang baru mau menggunakan Facebook atau hendak masuk (log in) ke profil Facebooknya, pasti akan lebih dahulu melihat gambar wajah Zuckerberg dengan senyumnya yang lebar. Apakah akan begitu juga dengan pengguna Facebook sekarang? Dalam arti, apakah perilaku pengguna Facebook bisa menunjukkan tingkat narsistik dirinya?

Penelitian yang dilakukan oleh Soraya Mehdizadeh dari Universitas York, Toronto, menunjukkan bahwa Facebook paling banyak digunakan oleh orang yang narsis dan orang yang memiliki citra diri (self esteem) rendah. Mereka menggunakan Facebook sebagai sarana untuk mempromosikan dirinya kepada orang lain. Yang kita peroleh dari penelitian Mehdizadeh, ternyata Facebook berguna bagi orang yang suka meninggikan citra dirinya, juga bagi mereka yang tidak begitu mahir membangun citra dirinya di dunia nyata. Facebook menjadi sarana yang menguntungkan bagi orang yang ingin populer dan ingin menonjolkan kelebihannya, juga bagi orang yang tidak bisa melakukan hal tersebut di dunia nyata.

Mehdizadeh meneliti perilaku berjejaring sosial dan kepribadian pada 100 pengguna Facebook berusia 18 sampai 25 tahun. Profil kepribadian yang dicari adalah seberapa besar tingkat narsistik dan citra dirinya. Hasilnya, mereka yang memiliki tingkat narsistik yang tinggi dan yang memiliki citra diri yang rendah lebih banyak menghabiskan waktunya di Facebook dan mengisi profil Facebooknya dengan muatan promosi diri. “Mereka meng-update statusnya setiap lima menit dan foto-foto yang di-upload adalah foto-foto yang dibuat dengan sangat hati-hati,” begitu kata Mehdizadeh.

Promosi diri dilakukan oleh pengguna Facebook melalui informasi yang diberikannya, baik secara deskriptif maupun visual, agar orang lain mengetahui kualitas atau hal-hal positif yang ada pada dirinya. Promosi diri dilakukan atara lain dengan ekspresi wajah dan perbaikan gambar (menggunakan software pengedit foto) yang bisa diakses di foto albumnya dan di “View Photos of Me”. Juga, menggunakan kata sifat yang positif, moto yang mengandung promosi diri, dan kutipan berupa kiasan pada “About Me”. Bisa juga promosi diri melalui Catatan (“Notes”). Termasuk juga dengan memposting hasil aplikasi Facebook misalnya, “Selebriti siapa yang mirip dengan saya” lengkap dengan pembandingan antara foto dirinya dengan foto selebriti yang mirip itu.

Dalam penelitiannya, Mehdizadeh menemukan perbedaan cara laki-laki dan perempuan dalam melakukan promosi diri di Facebook. Laki-laki lebih banyak mempromosikan dirinya melalui isian dalam “About Me” atau “Tentang Saya” dan melalui Catatan (“Notes”). Sedangkan perempuan lebih banyak mempromosikan dirinya melalui foto-foto yang di-upload-nya.[] [caption id="attachment_108652" align="aligncenter" width="300" caption="buku "mencerna Situs Jejaring Sosial""][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun