Mohon tunggu...
Attila El Azhar
Attila El Azhar Mohon Tunggu... -

Pejuang NKRI

Selanjutnya

Tutup

Money

Buku Berkah DJP: 1-Tidak Seperti Teman-Teman Bapak

20 Februari 2016   13:16 Diperbarui: 20 Februari 2016   13:30 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

TIDAK SEPERTI TEMAN-TEMAN BAPAK

dari Buku Berkah 2: Berjuang di Tengah Badai (2011)

Penulis: Ria Yuniarti

Tak terasa tahun ini usia pernikahanku menginjak usia 12 tahun. Itu bukan waktu yang singkat, tentu. Selama 12 tahun aku mendampingi seorang laki-laki yang bekerja di DJP. Aku mengingat saat berkenalan dulu, juga ketika selembar kertas curiculum vitae kuserahkan kepada bapakku. Tulisan pekerjaan CPNS DJP kuandalkan untuk meluluskan seleksi pemilihan calon menantu. Ya, kutahu Bapak akan merasa aman menitipkan masa depan anak gadisnya kepada seorang  PNS atau ABRI seperti dirinya.

Betul saja rencana pernikahan kami berjalan mulus, Bapakku sangat bersemangat untuk   segera   menyelenggarakan pernikahanku.   Beliau   bahkan   rela   bersusah-susah mencari gedung untuk acara resepsi, padahal bisa saja dia mempercayakan  orang lain untuk mengurusnya. Suatu saat aku iseng bertanya pada Bapakku mengapa beliau begitu bersemangat menerimanya sebagai menantu. Dan aku masih juga merinding jika mengingat jawabannya, katanya, “Calon menantunya sudah memenuhi kriterianya, yaitu baik agamanya, pendidikannya, dan pegawai pajak.”

“Pegawai pajak itu masa depannya cerah, Bapak kenal dengan beberapa teman pegawai pajak, hidupnya makmur sejahtera,” bapakku beralasan.

Aku hanya tersenyum, “Aaah Bapak.”

Secerah apa sih masa depan pegawai pajak? Setelah menikah kami masih tinggal di rumah orang tuaku, setiap Suamiku pamit akan berangkat bekerja Bapakku selalu berkata,  “Sekarang masih  pake angkot,  sebentar  lagi  pake motor  atau  mobil  ya,  tuh seperti teman-teman Bapak.”

“Amin!” jawabku dan suamiku kompak. Kami menganggapnya  sebagai doa dari orang tua yang pasti akan langsung didengar Allah. Ada kekhawatiran dalam hatiku kalau suamiku jadi terbebani dengan ucapan Bapakku, karenanya  aku biasa menetralkannya dengan membisikkan kata-kata di telinganya. “Cari rezeki yang halal ya Kang…”

Enam bulan sejak pernikahan, kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah, lebih tepatnya  menyewa kamar  dengan  pertimbangan  jarak ke tempat  Suamiku  kerja lebih dekat, uang sewa yang dibayar per bulan dibayar dengan uang rapel PNS Suamiku. Sesekali bapakku datang menengok kami, sepertinya beliau agak prihatin dengan kondisi kami. Tidak ada meja dan kursi di ruang tamu melainkan hanya karpet yang tergelar dan kamar mandi kami benar-benar  kecil. Ruangan  seluas 4m x 5m disekat- sekat dengan tripleks.  Saat  berkunjung  itulah  kami  mendengar  komentar-komentar  penuh kekhawatiran yang bertubi keluar dari mulutnya.

“Bagaimana ini? Tidakkah lebih baik kalian kembali ke rumah Bapak saja? Jangan remehkan keadaan Istrimu yang sedang hamil,” aku melihat suamiku hanya tersenyum, sementara bapak kembali melanjutkan kalimat-kalimatnya, “nanti kalau membeli rumah pilih yang besar ya.”

Komentar bapak kupahami sebagai harapan dan doa dari orang tua kepada anaknya.  Perasaan  sayang  kepada  anak  itulah  rupanya  yang  membuatnya  memberi banyak komentar. Tentu saja di dalam hati aku pun mengamini kata-katanya yang kubaca sebagai doa: semoga suatu saat nanti kami bisa membeli rumah yang besar. Sejujurnya, aku tidak merasa dan menganggap kondisi sekarang ini sebagai keadaan sulit. Aku berkeyakinan bahwa Allah sudah mengatur rezeki kami dan lagi pula Suamiku bukan tipe orang yang malas berikhtiar. Dia pasti akan berusaha agar kami mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Ketika suamiku dimutasi ke sebuah kota kecil di Jawa Barat, kami menjalani hari- hari  dengan  terbatasi  oleh  jarak  kurang  lebih  60 km yang  tak  bisa  ditempuh  dengan perjalanan pulang pergi setiap hari. Suamiku di tempat barunya, sedangkan aku dan anak- anak kembali tinggal dengan ibuku karena beberapa waktu sebelumnya bapakku telah mendahului kami. Kurang lebih tiga tahun kami jalani hidup terpisah, sampai suatu hari Suamiku memintaku agar mendoakannya. Rupanya ia mengikuti program tes rekruitmen pegawai modernisasi DJP. Dia meyakini keajaiban doa seorang istri, maka aku dengan ikhlas mendoakan agar semua kebaikan dicurahkan kepadanya, kepada kami.

Aku dan suamiku melihat sebuah titik harapan di depan. Kami berdua berharap bisa ikut berperan  dalam proses menuju  sinar harapan  itu. Suamiku  pernah  bercerita, katanya, untuk menjangkau masa depan yang cerah itu paling tidak diperlukan sebuah sistem yang baik, manusia-manusia kompeten yang selalu berusaha menjadi lebih baik, dan penghasilan yang juga baik. Akhirnya kami kembali harus terpisah karena Suamiku lulus  tes  gelombang  kedua.  Sebelumnya  suamiku  bisa  pulang  tiga  hari  sekali,  waktu pulang pun dipakai untuk mencari tambahan penghasilan dengan cara mengajar. Baru setelah malam melarut, aku dan anak-anak bisa bertemu sekaligus bercengkerama dengannya. Selanjutnya, suamiku ditempatkan di ibu kota. Aku dan anak-anak harus lebih bersabar menunggu. Sepekan sekali baru kami bisa bertemu.

Alhamdulillah di kantor modern penghasilan suamiku bertambah. Akhir pekan pun dapat kami manfaatkan untuk berkumpul dengan anak-anak. Suamiku tak harus mengganggu  waktu  libur  untuk  mencari  penghasilan  tambahan  dari  mengajar.  Kami mulai bisa menabung untuk berbagai rencana dan cita-cita. Sejak awal kami ingin memberikan  pendidikan  terbaik  bagi anak-anak  kami. Tidak hanya itu, kini kami mulai mencicil sebuah rumah mungil namun asri.

Karier suamiku pun terus menanjak.  Perbaikan  kondisi ekonomi  keluarga  harus dibayar  mahal, namun itu bisa diatasi olehnya, olehku,  dan anak-anak.  Suamiku  harus merelakan diri terpisah jauh dari keluarga dan jantung hatinya. Hampir tiga tahun kami menanggung konsekuensi masa-masa promosi suamiku di ujung barat negeri ini.

Kisah  terus  bergulir.  Kini  masa-masa  sulit  itu  sudah  kami  lalui.  Kami  sekarang dapat  kembali  berkumpul.  Rentang  waktu  yang  tidak  singkat  itu  kami  jalani  dengan penuh perasaan pasrah. Aku teringat bapakku. Dia tak sempat menyaksikan kemakmuran dan  kebahagiaan  yang  berhasil  kami  wujudkan.  Meski  tidak  seperti  “teman-teman” Bapak, namun toh kami bisa merasakan kebahagiaan ukhrawi yang tiada bandingnya. []

 

*Catatan Kompasianer:

Berikut ini saya mencoba berbagi beberapa artikel yang ada dalam buku terbitan Direktorat Jenderal Pajak.

Ada 2 buku yang pernah diterbitkan oleh DJP, keduanya diberikan judul Buku Berbagi Kisah dan Harapan. dengan tema yang berbeda.

Buku Berkah 1: Perjalanan Modernisasi DJP diterbitkan pada bulan Oktober 2009

Buku Berkah 2: Berjuang di Tengah Badai diterbitkan pada tahun 2011

Selamat menikmati

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun