Sebuah cita -cita berada dalam benak manusia jauh sebelum keinginan tersebut pada waktu yang tepat akan diwujudkan. Hal ini membuka ruang atau jarak waktu antara munculnya cita-cita itu dengan kapan cita-cita itu akan diwujudkan. Rentang waktu tersebut tentu menjadi tahapan penentu keberhasilan dalam mewujudkan cita-cita itu. Ketika cita-cita sudah ditentukan pasti akan mengukur kemampuan diri, mengerahkan semua daya dan upaya, bahkan seringkali mengorbankan nyawa untuk mewujudkannya.
Ilustrasinya, perjuangan Tantowi Ahmad (Owi) dan Lilliana Natsir (Butet) menjadi juara olimpiade terganjar manis dengan menyabet medali emas nomor ganda campuran pada cabang olahraga bulutangkis Olimpiade Rio Brazil 2016. Mungkin sebagian besar dari kita saat ini hanya melihat sisi kesuksesan dari kemenangan mereka apalagi dengan bonus super besar Rp 5 miliar. Namun, ketika kita melihat kebelakang yaitu perjuangan mereka dimana mimpi menjadi juara olimpiade muncul 10 atau 15 ahun yang lalu kemudian mereka isi dengan doa, kerja keras dan latihan diiringi peluh keringat bahkan cucuran air mata sehingga apa yang mereka capai saat ini memang pantas mereka dapatkan.
Hal tersebut juga berlaku dalam hal pernikahan ideal. Jenjang pernikahan merupakan suatu tahapan kehidupan yang diimpikan oleh setiap orang. Berbekal fitrah dari Sang Mahakuasa dimana seseorang memiliki naluri alami mencintai lawan jenis, mereka selalu bermimpi dan berharap pernikahan mereka dapat terwujud dengan seseorang yang dicintainya dan bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan bahagia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita pernikahan itu tentu diiringi dengan perencanaan yang matang penuh dengan perhitungan dan kerja keras. Tanpa adanya perencanaan yang matang, memiliki kehidupan rumah tangga dengan pasangan yang penuh kebahagiaan mustahil terwujud.
Keberhasilan mewujudkan pernikahan yang ideal sangat bevariasi ditentukan bagaimana setiap orang mempersiapkan diri dengan sebuah perencanaan matang untuk mewujudkannya. Semakin dini seseorang berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya tentu semakin cepat mimpi pernikahan ideal tersebut akan terwujud. Ketika kita telah menggambarkan pernikahan dan kehidupan rumah tangga dengan pasangan dalam benak kita, saat itu cita-cita telah muncul tetapi ukuran kapan akan diwujudkan tergantung ukuran masing-masing individu. Namun, munculnya cita-cita itu menjadi awal perjuangan, usaha, dan doa dilakukan. Jika pernikahan ideal yang bahagia telah ada maka ada beberapa hal mendasar yang perlu dipersiapkan yaitu kesiapan mental, ilmu, dan pekerjaan.
Kesiapan Mental
Jika berbicara kesiapan mental tentu umur tidak lagi bisa menjadi acuan. Teori dan logikanya semakian dewasa umur seseorang semakin baik mentalnya namun adakalanya seseorang yang memiliki umur 20an tahun memiliki mental yang lebih bagus dibandingkan orang yang berada pada kisaran umur 30an tahun. Jadi, kesiapan mental seseorang ditentukan oleh tempaan kehidupan baik melalui pendidikan maupun pengalaman bersosialisasi dalam masyarakat.
Namun, ketika mengacu pada legalitas formal di Indonesia, menurut Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 maka sebaiknya merealisasikan pernikahan ideal dilakukan ketika pasangan laki-laki minimal berumur 19 dan perempuan minimal berumur 19  tahun. Kesiapan mental sangat penting karena tekanan kehidupan berumah tangga jauh lebih tinggi daripada kehidupan sendiri. Masalah yang dihadapi cukup kompleks sehingga mental yang kuat menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga cukup menjadi dasar mengapa kesiapan mental harus diperhatikan betul dakam kehidupan pernikahan.
Kecukupan Ilmu
Dalam Islam, pernikahan merupakan sebuah bentuk ibadah dan menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Seperti halnya sholat yang ada tata aturan untuk mengerjakannya, pernikahan pun demikian. Ada banyak hal yang perlu dipahami dan dimengerti oleh seseorang yang akan menikah seperti mengetahui hak dan kewajiban sebagai suami istri, bagaimana mendidik anak dan istri dan lain sebagainya.
Selain itu, tujuan pernikahan adalah melahirkan generasi penerus. Bagaimana melahirkan generasi yang berkualitas kalau kita tidak menguasai ilmu untuk mendidik anak. Hal-hal semacam ini seringkali dikesampingkan dengan alasan bahwa ilmu menjalani kehidupan rumah tangga bisa didapat sambil jalan. Namun, tanpa adanya persiapan dan pemahaman secara menyeluruh tentu akan menemukan kendala –kendala dikemudian hari.
Adanya Pekerjaan
Membicarakan masalah pekerjaan bukan berarti mengukur standar kemapanan seseorang. Karena standar kemapanan setiap orang pastinya berbeda. Namun, maksud dari adanya pekerjaan ini adalah adanya kemampuan berupa penghasilan untuk memberikan nafkah keluarga tidak lagi berpangku tangan dan menyusahkan orang lain. Ketika sudah siap menikah tentu siap memikul semua beban dan kebutuhan keluarga terkait masalah finansial. Keuangan seringkali memicu keretakan hubungan rumah tangga sehingga untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul karena masalah ini perlu adanya persiapan yang bagus.
Ketiga persiapan mendasar ini sifatnya bukan substitusi (pegganti) artinya satu hal tidak bisa menggantikan hal lainnya sehingga ketiga hal mendasar ini harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum menjalankan suatu pernikahan ideal. Satu hal yang perlu ditekankan bahwa pernikahan bukannya hanya sekedar usaha memenuhi kebutuhan biologis manusia tetapi pernikahan adalah suatu bentuk ibadah dan cara umat manusia dalam melahirkan generasi penerus.
Pernikahan bukan suatu hal yang sederhana, pernikahan menjadi salah satu tonggak kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Oleh karena itu, jika pernikahan sudah dianggap sebagai perwujudan cita-cita setiap generasi muda untuk membentuk keluarga bahagia dan melahirkan generasi berkualitas, tentu butuh perencanaan dan usaha yang keras untuk mewujudkannya.
Facebook: https://www.facebook.com/abu.a.fauzi
Twitter: https://twitter.com/AbuAmarFauzi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H