Mohon tunggu...
Abtsia
Abtsia Mohon Tunggu... Editor - cuman mau nulis

panggi aja aku Thia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat Teknologi dan Relasinya di Masa Depan

9 Januari 2021   21:27 Diperbarui: 9 Januari 2021   21:40 3578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Editor Redaksi oleh PikiranKita | Media Penulisan dan Edukasi Pemikiran

Don Ihde pada tahun 2004 menyebarkan keraguan dan harapan. Dengan artikelnya yang berjudul "Apakah Filsafat Teknologi Telah Tiba? Kondisi Terkini," Ihde mengevaluasi secara kritis keadaan disiplinnya sendiri. Pertanyaan evaluasinya cukup sederhana: Apakah filosofi teknologi suatu disiplin? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ihde membandingkan wacana filsafat teknologi dengan dua "saudara" kelahirannya, filsafat sains dan sosiologi sains. Apakah Ihde menjawab pertanyaan itu?

Filsafat Ilmu-Teknologi

Sejauh pencarian Ihde, filsafat teknologi dan filsafat sains masih sezaman. Mereka lahir pada awal abad ke-20 sebagai reaksi atas pesatnya perkembangan kedua benda tersebut. Hanya saja, jika filsafat ilmu di awal wacana cenderung didominasi oleh tradisi analitik-positivistik, seperti Hempel, Carnap, dkk., Filsafat teknologi justru merupakan anak dari wacana praksis pragmatisme Amerika Utara, fenomenologi, dan teori kritis Neo-Marxis.

Perbedaan tradisi ini membuat banyak orang salah paham, terutama mengenai status lahirnya filosofi teknologi. Ihde mencontohkan kesalahpahaman ini dalam pernyataan Mario Bunge bahwa pada tahun 1979 belum ada yang menjadikan filosofi teknologi sebagai masalah utama. Padahal di tahun yang sama, Don Ihde dan Bruno Latour menerbitkan buku sistematis tentang filsafat teknologi. Kesalahpahaman ini, bagi Ihde, muncul karena bias yang melingkupi filsafat kontinental sebagai filsafat yang "tidak jelas". Padahal, wacana teknologi telah dibahas secara filosofis oleh filsuf sekaliber Gassett, Jaspers, Gehlen, dan Heidegger.

Implikasinya, memang yang membuat Ihde bertanya-tanya, wacana filosofis sains seolah menghilangkan masalah teknologi dalam proses ilmiah. Secara tidak langsung para filsuf ilmu menganggap bahwa teknologi itu netral. Namun dalam filsafat teknologi, masalah ini masih diperdebatkan (lihat perdebatan tentang substansialisme, instrumentalisme, teori kritis, dan determinisme teknologi). Contoh paling krusial adalah karya Laudan, yang bagi Ihde seolah mengingatkan kita pada masalah lama tentang masalah proposisi dalam teori.

Kuy Baca juga, untuk nambah wawasan PikiranKita:

Setelah perkembangan filosofi teknologi, mulai ada banyak pemisahan, dan mungkin penggabungan baru, antara batas-batas ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari situ terlihat betapa eratnya hubungan iptek. 

Pengaruh teknologi terhadap sains terlihat dalam berbagai aspek, seperti dalam sejarah sains (Galileo), penemuan fisika terkini, sikap teknologi dalam sains, hingga masalah keterbatasan mata pelajaran keilmuan. Jika ingin ditarik pada garis yang cukup jelas, arah perkembangan perdebatan ini menyempit ke dua sisi. 

Pertama, posisi filsafat yang cenderung memisahkan teknologi dan filsafat ilmu. Asumsinya, kedua benda tersebut memang terpisah meski saling mempengaruhi. Sains memiliki logikanya sendiri, begitu pula teknologi. Kedua, posisi yang terasa kedua disiplin ilmu tidak bisa dipisahkan. Argumen ontologis adalah bahwa sains dan teknologi saling bergantung. 

Meski begitu, pada satu titik, ada kemungkinan teknologi bisa menjadi otonom, bahkan bisa memengaruhi logika sains. Dari sini terlihat jelas bahwa pengaruh distopia (ketakutan akan teknologi) dari tokoh-tokoh kontinental seperti Heidegger, Marcuse, Elul, dan Mumford; sangat kontras dengan pandangan filsuf pragmatis seperti Dewey.

Sketsa awal ini menunjukkan bagaimana wacana teknologi berkembang cukup pesat. Belum lagi jika arah pembicaraannya diarahkan pada masalah ekologi, masa depan teknologi, hubungan dunia-pikiran, etika, dll. Namun, bagi Ihde, hal tersebut ternyata belum cukup. Ada beberapa keraguan yang membuatnya menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa diskusi teknologi sudah mapan.

Keraguan Internal dan Eksternal

Keraguan Ihde tentang filosofi teknologi sebagai disiplin yang matang bermula dari respon akademis. Respon ini menyerang filosofi teknologi dalam dua arah, ruang internal dan eksternal. Menariknya, Ihde, sebagai filsuf teknologi, sependapat dengan serangan itu.

Yang disebut masalah internal adalah masalah di dalam disiplin itu sendiri. Untuk melihatnya, Ihde meminjam kerangka teori Kuhn tentang ilmu-ilmu normal dan pra-paradigma. Bagi Ihde, berbeda dengan filosofi sains dan sosiologi sains yang telah lama diperdebatkan, filosofi teknologi belum banyak diperdebatkan. Memang di beberapa sisi wacana filsafat teknologi telah meluas ke berbagai ranah, namun jika dibandingkan dengan perdebatan realisme / anti realisme tentang filsafat ilmu, dan epistemologi ayam / sosiologi ilmu konstruksionis sosial, tentunya menjadi perdebatan di Filsafat ilmu tidak memiliki banyak medan konflik dalam paradigma dasarnya. (metodologis-ontologis-epistemologi) kuat.

Begitu juga di ranah eksternal, atau ranah yang menunjukkan kekuatan suatu disiplin ilmu untuk mempertahankan batasannya dengan disiplin ilmu lain. Meskipun filosofi sains dan sosiologi sains adalah subjek interdisipliner, terdapat garis yang jelas, baik secara paradigmatik maupun institusional, tentang garis filosofis sains yang menangani masalah meta-teoritis, dan sosiologi sains yang berurusan dengan kondisi sosio-historis ilmu. Implikasinya, program studi filsafat sains dan sosiologi sains dapat berdiri sendiri secara kelembagaan. 

Dan bagi Ihde, filosofi teknologi belum mendapat tempat di institusi pendidikan manapun. Demikian pula pengaruh filsafat teknologi dengan disiplin ilmu lain bersifat interdisipliner. Memang sudah banyak yang masuk ke dalam wacana filsafat teknologi, namun kebalikannya masih belum terasa. Misalnya, dalam filsafat ilmu, posisi pengaruh teknologi (atau apapun selain proposisi teoritis) lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu feminis, sosiologis, dan (kritis) budaya.

Berharap

Filsafat teknologi terus berkembang, dan membiarkannya berkembang. Permasalahan yang dikemukakan oleh Ihde tidak berarti bahwa Filsafat Teknologi harus ditutup. Mereka hanya butuh waktu dan masalah untuk diikuti oleh masalah baru. Masalah sebenarnya adalah Ihde harus yakin betul bahwa masalah teknologi masih penting bagi wacana filsafat ilmu tradisi analitik. Untuk itu Ihde memberikan dua saran.

Yang pertama adalah tentang imajinasi teknologi. Sebagian besar wacana analitis saat ini menampilkan citra "gila" dari kemungkinan teknologi masa depan dan hubungannya dengan sains. Namun kenyataannya tetap bahwa banyak imajinasi utopis yang dibesar-besarkan tentang teknologi tidak pernah tercapai (lihat helikopter Leonardo Da Vinci). Ada syarat yang harus dicantumkan dalam setiap peramalan masa depan teknologi. Walaupun imajinasi ini memiliki asumsi ontologis tertentu, hanya dalam ranah filosofi teknologi saja perdebatan ini benar-benar terbuka, agar kita tidak terlalu naif.

Yang kedua adalah masalah epistemologis. Era otak sedang surut. Komputer telah mengeksplorasi banyak penemuan yang secara logis langka dan mungkin sulit karena memerlukan eksperimen yang melelahkan (ruang dan waktu). Masalahnya, dari sisi pengetahuan, teknologi memberikan banyak perlakuan yang menarik, baik secara abstrak maupun proporsional, kepada dunia; bagaimana melakukannya melalui model dan simulasi komputer. Dalam posisi ini, filosofi teknologi mampu mendeskripsikan hubungan yang tersembunyi (khususnya fenomenologi Ihde) dari kecenderungan dunia model komputer.

Beberapa masalah metaforis bisa muncul dari kompleksitas teknologi saat ini. Sepanjang sejarah, teknologi kerap menjelaskan berbagai persoalan filosofis, seperti jam dan pencipta. Namun dengan kompleksitas teknologi, tentunya hal ini dapat membantu para filosof untuk menafsirkan hal-hal lain tentang dunia dan dengan cara serta kompleksitas yang berbeda. Padahal, menurut Ihde, kesalahan filosofi lama bisa kita lawan dengan kompleksitas teknologi masa kini (cf. Descartes dan Locke masalah refleksi dengan metafora kamera). Kedua masukan tersebut, bagi Ihde, harus menjadi pertimbangan untuk kelanjutan filosofi sains dalam mempertahankan tradisinya di tengah badai teknologi modern.

Penutupan

Kembali ke pertanyaan awal: sudahkah filosofi teknologi tiba? Jawabannya jelas: belum. Masih banyak masalah. Filsafat teknologi, dibandingkan dengan disiplin ilmu lain masih belum mapan. Namun, jangan menyerah. Filsafat teknologi masih menyimpan harapan. Harapan menemukan paradigma dasar yang kuat (hanya soal waktu) dan harapan untuk berdialog dengan tradisi lain. Karena itu, bagi calon filsuf teknologi, teruslah membaca buku. Mari kita tutup dengan ucapan terakhir Ihde:

... Jika filsafat teknologi harus menjadi subdisiplin yang paling peka terhadap materialitas, maka para pelakunya harus memimpin dengan membaca orang lain yang menunjukkan kepekaan ini - tentu saja, harus pergi ke arah lain juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun