Mohon tunggu...
Abtsia
Abtsia Mohon Tunggu... Editor - cuman mau nulis

panggi aja aku Thia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Realisme (Seni Rupa) Tokoh Filsuf Sun Tzu

25 Desember 2020   23:22 Diperbarui: 6 Januari 2021   23:10 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Riwayat mencatat kekalahan untuk mengatasi setiap perjuangan kelas pekerja di dunia selama dua abad terakhir. Setidaknya sebagian besar perjuangan, jika berhasil, tidak akan bertahan lama dan menjadi terisolasi. Kita bisa mengingatnya dari baku tembak di Revolusi Prancis, Revolusi 1848 di Eropa, Komune Paris, Spartacus di Jerman dan berbagai perjuangan kelas di belahan dunia lain. 

Tentu saja ada pengecualian, seperti kemenangan gemilang gerakan Bolshevik revolusioner dalam Revolusi Oktober di Rusia, perjuangan Tentara Merah Cina melawan fasis Jepang dan oportunis Kuomintang, gerakan gerilyawan 26 Juli yang menggulingkan diktator Batista di Revolusi Kuba, dan tentu saja Vietcong yang bisa membuat Amerika Serikat pergi. Indochina dalam satu atau dua pukulan, meskipun episode kemenangan tidak luput dari banyak tantangan.

Dalam sejarah negara kita sendiri, perjuangan kelas pekerja selama dua abad terakhir telah dihancurkan oleh kaum borjuasi yang bersembunyi di balik jubah nasionalisme, religiusitas dan slogan-slogan atas nama kebebasan. Dari hak-hak kelas pekerja yang dirampas melalui perampasan hingga jutaan orang yang menjadi korban pembantaian, kelas pekerja harus dibungkam dan hilang sampai hari ini ketika pasal ini diketik.

Jika kita amati, maka akan muncul pertanyaan di kepala kita, dengan apa semua perlawanan kelas pekerja dihancurkan? Lalu dengan gerakan apa yang mampu meraih kemenangan? Meskipun banyak faktor yang memungkinkan terjadinya kegagalan dan keberhasilan, seperti perbedaan sejarah, budaya, geografi, geopolitik, momentum, dan banyak lainnya, jelas bahwa hampir setiap perjuangan dihancurkan oleh angkatan bersenjata dan hampir semua gerakan dimenangkan melalui perjuangan bersenjata.

Perlawanan bersenjata di Indonesia saat ini mungkin sudah tidak mungkin lagi, namun refleksi ini akhirnya mengingatkan saya pada sosok keren dari dunia kuno. Seorang jenderal perang, ahli strategi, filsuf dan penulis selama dinasti Zhou di abad ke-5 SM yang terkenal dengan karya terbaiknya yang berjudul "The Art of War". 

Kumpulan tulisan sang master ini terdiri dari 13 bagian yang masing-masing membahas setiap aspek perang dan bagaimana mewujudkannya dalam taktik militer. Walaupun buku ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia militer dan peperangan setelah periode ini, namun buku karya Sun Tzu alias Master Sun ini juga sering diterapkan dalam dunia bisnis, hukum, pilihan hidup dan gaya hidup dan lain-lain. Sudahkah kamu membacanya? Jika ya, mintalah kritik dan masukan jika dirasa kurang tepat. Jika tidak, izinkan saya memberikan sedikit spoiler.

Setelah saya selesai membaca buku The Art of War, saya menemukan beberapa kalimat penting yang perlu kita serap di sini. Dari 13 bagian tersebut, ada beberapa perkataan Master Sun yang menurut saya patut kita pertimbangkan untuk di evaluasi setidaknya pada pergerakan kita selama ini, diantaranya sebagai berikut:

Oleh karena itu, jika kamu mengenal musuhmu dan mengenal dirimu sendiri, kamu tidak perlu takut dengan hasil ratusan peperangan. Jika kamu mengenal dirimu sendiri tetapi tidak mengenal musuhmu, dalam setiap kemenangan yang kamu dapat, kamu akan menderita kekalahan. terlalu."

Melalui kalimat ini, Guru Sun memberi kita pesan tentang pentingnya tidak hanya memahami kapasitas kita sendiri, tetapi juga lawan kita. Kami tidak tahu pasti apakah Mao, Fidel, dan Che pernah belajar dari Sun Tzu atau tidak, tapi di level mereka mereka secara tidak langsung menerapkan ajaran ini. Mao, menyadari kemampuan pasukan Tentara Merah pada akhir 1934, memilih untuk melakukan Long March dari Provinsi Jiangxi di selatan ke Provinsi Shaanxi di utara untuk menghindari serangan pasukan nasionalis Kuomintang. 

Kuy Baca juga, untuk nambah wawasan PikiranKita:

  1. Semua Manusia Adalah Kristus

  2. Relasi antara Fitrah Manusia dan Realitasnya

  3. Negara, Paranoia, dan Massa

  4. Menjadi Bangsa Demokratis Otentik ala Socrates

Fidel dan Che memilih perang gerilya dengan metode tabrak lari khas mereka karena mereka menyadari terbatasnya jumlah pasukan dan senjata. Jadi apa yang dilakukan Mao dan Fidel sebelum mengambil sikap? Tentu mereka mengukur peluang, mengirim mata-mata, meminta informasi kepada warga sekitar, mengumpulkan informasi dari banyak media dan lain sebagainya untuk mengetahui kekuatan lawan mereka. Mao dan Fidel bisa dibilang realistis, bersedia mempelajari lawan mereka dan pada saat yang sama belajar dari mereka untuk mengadopsi strategi dan taktik yang tepat.

"Jadi seperti dalam perang, ahli strategi yang menang mencari pertarungan setelah kemenangan dimenangkan terlebih dahulu, sedangkan yang kalah mencari kemenangan setelahnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun