Masjid Dan PolitikÂ
oleh: Abdillah Toha
Belum lama ini Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, bersama beberapa ulama dan tokoh muslim dan ribuan umat Islam menyelenggarakan shalat zuhur bersama yang diakhiri dengan sebuah pernyataan yang disebut sebagai Risalah Istiglal. Intinya, pernyataan itu meminta umat Islam untuk tidak memilih pemimpin non muslim dalam pilkada DKI mendatang. Tokoh yang dimaksud tidak lain adalah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Kegiatan itu tidak bisa disebut lain kecuali kegiatan politik praktis. Muncul kontroversi di masyarakat, bolehkah masjid dijadikan ajang kegiatan politik? Bolehkah seorang khatib masjid mengarahkan umatnya untuk memilih partai atau politisi tertentu dalam pemilihan umum?Â
Mereka yang mengatakan boleh mengambil contoh riwayat Nabi Muhammad SAW yang membangun masjid pertama di Madinah dan menjadikannya sebagai pusat seluruh kegiatannya. Nabi shalat, beribadah, mengatur pemerintahan, merancang strategi perang, mengeluarkan instruksi, dan sekaligus berdakwah di Masjid Nabawi. Islam tidak memisahkan antara ibadah dan urusan muamalah dan negara. Masjid adalah pusat kegiatan pemimpin Islam, kata mereka. Politik adalah bagian dari urusan penyelenggaraan negara. Hanya negeri sekuler yang memisahkan agama dari politik dan urusan kenegaraan.Â
Mereka yang menolak penggunaan masjid sebagai tempat berpolitik praktis menolak argumentasi itu dan mengatakan bahwa pejelasan seperti itu sangat diluar konteks. Pertama, pada saat Nabi SAW mulai berdakwah, beliau tidak punya tempat lain kecuali Masjid Nabawi untuk menyelenggarakan semua kegiatannya. Kedua, Muhammad SAW bukanlah pemimpin partai politik tetapi pemimpin umat dan agama. Kalaupun itu dianggap sebagai "partai" maka saat itu hanya ada satu partai dikalangan muslimin. Beda dengan sekarang dimana terdapat banyak partai-partai yang hampir seluruhnya dinakhodai oleh ketuanya yang muslim.Â
Bayangkan bila hari ini Amien Rais dari PAN dan kawan-kawan berkampanye di masjid, besok Surya Paloh kemudian Fadli Zon dan Megawati masing-masing ramai-ramai membawa simpatisannya yang muslim ke masjid Istiglal atau masjid lain untuk berkampanye, apa jadinya umat Islam dan masjidnya. Umat Islam akan terpecah belah dan kalau diterus-teruskan bisa-bisa nanti bakal ada masjid PAN, masjid Nasdem, masjid Gerindra, masjid PDIP dan lain-lain. Lebih lagi ketika hal yang sensitif seperti pandangan tentang larangan memilih non muslim sebagai pemimpin politik dijadikan isu. Yang setuju dan tidak setuju akan melaksanakan "perang" tafsir ayat dan hadis yang tidak habis-habisnya.
Di awal masa kampanye DPR dan presiden tahun 2014, mantan ketua Muhammadiyah Syafii Maaraif menulis di sebuah koran ibukota mengingatkan bahaya membawa politik ke masjid. Beliau menulis " Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari, seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat. Jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya".
Politik dalam arti luas tidak dilarang untuk dikhotbahkan di masjid-masjid. Bukan politik praktis dan bukan politik partisan. Politik adalah ilmu dan sarana tentang penyelenggaraan negara. Membahas politik dimanapun, di masjid, kampus, gereja, dan tempat-tempat lain bila terbatas pada bahasan sisi keilmuan, sisi moralitas, sisi keadilan, dan sisi kesejahteraan masyarakat, termasuk saran dan kritik terhadap praktik-praktik penyelenggaraan negara yang dianggap merugikan masyarakat, tidak dilarang. Politik praktis dan politik partisan, sebaliknya, hanya berurusan dengan perebutan kekuasaan. Ketika masjid melibatkan diri kedalam urusan berebut kekuasaan dan berpihak kepada kelompok kekuasaan dan partai tertentu, disitulah potensi perpecahan bangsa dan umat seagama akan terjadi karena umat tersebar aspirasinya pada lebih dari satu kelompok politik dan partai.
Ada satu hal lagi yang sering dilupakan oleh tokoh-tokoh agama kita, khususnya tokoh agama Islam. Almarhum Nurcholis Majid pernah wanti-wanti agar kita tidak mudah membawa label agama dalam kegiatan duniawi. Alasannya, bila tidak kebetulan dan kegiatan kita terperosok dan gagal, maka nama dan reputasi agama akan ikut terpuruk. Dalam kasus pilkada DKI yang akan datang, bila tokoh-tokoh muslim tertentu mengimbau umat Islam untuk menolak memilih Ahok sebagai gubernur DKI karena ras atau agamanya, kemudian ternyata nantinya Ahok terpilih, konsekwensinya politisi di waktu mendatang akan menganggap enteng suara dan aspirasi umat Islam. Umat islam yang mayoritas di negeri ini akan dianggap tidak penting diperhatikan kepentingannya. Juga, wibawa para tokoh pengimbau itu akan hilang.
Negeri kita bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara agama. Ideologi Panca Sila dan UUD 1945 yang kita sepakati bersama mengayomi semua agama. Setiap warga negara yang memenuhi persyaratan undang-undang, apapun latar belakangnya, berhak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Masjid dari namanya adalah tempat bersujud. Tempat kita mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Hadis Nabi SAW mengatakan bahwa masjid dibangun berlandaskan taqwa. Bukan tempat bersaing dalam urusan dunia dan politik.
Ulama, tokoh agama, para ustad dan sejenisnya, sebaiknya menempatkan diri sebagai panutan moral dan pemimpin masyarakat yang memberi teladan yang baik. Jauhilah kegiatan berpolitik praktis dan upayakanlah lebih bersikap negarawan sebagai pemimpin umat yang bermartabat dengan pandangan jauh kedepan.
AT - 19-09-2016
-------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H