Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Muslim Mayoritas di Indonesia?

20 Maret 2016   18:07 Diperbarui: 20 Maret 2016   21:39 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh: Abdillah Toha

Benar, bila dilihat dari yang menyatakan beragama Islam di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Benar bila dikaitkan dengan warga yang melakasanakan upacara nikah dengan cara Islam. Barangkali benar juga bila dilihat dari jumlah orang yang melaksanakan sholat wajib lima waktu, puasa Ramadhan, dan rukun Islam lainnya. Indonesia yang memiliki 800,000 masjid dan mushola, barangkali juga bisa dibilang sebagai negeri dengan jumlah masjid terbanyak di dunia. Kuota haji kita diatas 200,000 adalah kuota haji terbesar diantara negeri-negeri dengan penduduk Muslim di dunia.

Namun, bila kepada kita dihadapkan beberapa pertanyaan berikut, kita jadi bertanya-tanya apakah benar mayoritas penduduk negeri ini Muslim? Bila mayoritas Muslim, mengapa bangsa ini tidak menghendaki negara ini menjadi negara Islam dan mengubah knstitusinya? 

Mengapa dalam setiap pemilu pasca reformasi, jumlah seluruh suara parta-partai Islam dan berbasis Islam nyaris tidak pernah lebih dari 30%? Mengapa tidak semua perempuan disini berjilbab? Mengapa ketika saat sholat Jum’at yang diwajibkan bagi setiap Muslim laki-laki, jalan-jalan di setiap kota besar seperti di Jakarta masih saja padat penuh kendaraan? Apakah semua pengendara itu perempuan?

Mungkin jawabnya begini. Ada berbagai tingkat dan jenis Muslim disini. Warga yang menyatakan dirinya beragama Islam di KTP itu ada yang melaksanakan syariat Islam ada yang setengah-setengah, dan ada yang sama sekali tidak melakukannya. Ada yang menganggap Islam sebagai budaya dan identitas diri yang lentur dan ada yang memegangnya sebagai agama dengan kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi. Ada yang mengatakan jilbab itu wajib, ada yang mengatakan tidak. Ada yang cukup dalam pengetahuan agama Islamnya, dan ada pula yang tidak pernah belajar Islam secara benar dan menjadi Muslim karena keturunan atau perkawanan.

Diantara yang tekun melakukan kewajiban beribadah secara Islam, ada yang percaya agama adalah urusan pribadi dan ada yang meyakini kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur sesuai aturan agama. Ada yang mengibarkan “bendera” Islam dan ada yang tidak. Dari kelompok yang mengibarkan bendera Islam sebagai identitas, ada yang fanatik dan tidak senang melihat pemeluk agama atau keyakinan lain, dan ada yang toleran dan menganggap agama yang diyakini tidak harus dipakasakan kepada orang lain. Yang terakhir ini contohnya adalah dua organisasi Muslim terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah.  

Belum lagi kita bicara tentang beragamnya ideologi di kalangan Muslim. Ada yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan ada pula yang berkeyakinan bahwa demokrasi itu tidak Islami. Ada yang mendukung sistem ekonomi pasar dan ada pula yang berkeyakinan bahwa sistem ekonomi yang sesuai dengan Islam itu cenderung sosialistik dan harus diatur dengan sebanyak mungkin campur tangan pemerintah agar lebih adil.  Ada yang berpegangan bahwa Islam adalah sistem hukum (fiqih) dan ada yang percaya Islam adalah sistem nilai dan moral yang universal.

Yang lebih penting lagi ketika kita mengartikan Muslim sebagai penganut agama yang berakhlak sesuai dengan hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa dia tidak diutus melainkan semata-mata untuk menyempurnakan akhlak. Sudahkah kita yakin bahwa di negeri yang masih dilanda berbagai perilaku korupsi ini bisa dikatakan sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim sesuai tuntunan agamanya?

Yang merisaukan kita semua, baik di negeri ini maupun di banyak belahan dunia lain,  adalah kelompok yang berbendera Islam yang menganggap bahwa keyakinan mereka adalah satu-satunya cara hidup yang paling benar dan harus diikuti oleh semua warga. Kelompok ini diantara 1,4 milyar penduduk dunia atau 200 juta pemeluk Islam di Indonesia sebenarnya adalah kelompok minoritas kecil tetapi bersuara keras dan militan. Mereka pulalah di negeri ini yang selalu mengklaim bahwa Muslim adalah “mayoritas” disini, bahwa mereka mewakili suara mayoritas,  dan karenanya Islam (versi mereka) harus di terapkan disini.

Mereka tidak mampu melihat bahwa ada pluralisme dalam pemeluk agama yang berbeda dan ada pula pluralisme didalam pemeluk agama yang sama. Mereka tidak mampu melihat bahwa jenis keyakinan pemeluk agama yang sama itu bisa berbeda-beda dan bertingkat-tingkat.  Karenanya kelompok yang sering disebut sebagai fundamentalis itu merasa mereka mewakili “mayoritas” Muslim disini. Mayoritas yang mana, tidak pernah terlintas di benak mereka. Mayoritas yang mayoritas atau mayoritas yang minoritas?  

Salah satu instrumen demokrasi dalam pengambilan keputusan adalah suara mayoritas. Tidak selalu menghasilkan keputusan yang tepat tetapi sitem lain belum tentu lebih baik. Namun ketika berbicara mayoritas, jangan lupa bahwa kita harus pula bertanya mayoritas yang mana? Mayoritas agama atau mayoritas suku atau mayoritas ideologi, atau mayoritas tingkat kakayaan atau mayoritas tingkat pendidikan atau mayoritas umur atau mayoritas jenis kelamin dan lain sebagainya. 

Masing-masing “mayoritas’ ini punya kepentingan yang berbeda-beda yang belum tentu bersinggungan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, apakah kita perlu mengamandemen konstitusi kita agar presiden Republik Indonesia hanya dibolehkan dari suku Jawa yang mayoritas di negeri ini?

Islam politik di negeri ini juga harus menghilangkan ilusi “mayoritas Muslim” bila ingin menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Lebih buruk lagi, banyak pejabat publik dan politisi yang mendekat kepada kelompok garis keras dan fundamentalis dengan perhitungan yang salah bahwa suara mereka yang vokal itu adalah cermin sumber suara terbesar.

Tidak salah bahwa Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun Islam kita disini adalah Islam yang sudah sejak lama mampu berintegrasi dengan budaya  dan kearifan lokal dan karenanya punya warna tersendiri tanpa harus diartikan telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang benar. Dengan pengertian yang benar tentang “mayoritas Muslim” maka langkah kita tidak akan tersesat dan merugikan kita sendiri serta bangsa ini secara keseluruhan.

 

AT – 20-03-16

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun