Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Umat Berebut Akhirat

2 Januari 2016   11:52 Diperbarui: 12 Januari 2017   18:31 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: gipnoz-life.ru

Oleh: Abdillah Toha

Di hari-hari pertama tahun baru ini, aku ingin kita introspeksi bersama tentang satu sisi kehidupan kita yang penting. Kehidupan beragama. Di tahun yang baru lalu kehidupan beragama marak dengan berbagai peristiwa yang memprihatinkan. Aku ingin mengingatkan diriku dan kita semua, saudaraku sesama muslim, untuk merenung sejenak.

Agama sebenarnya dimaksudkan untuk menciptakan ketenteraman jiwa penganutnya. Kedamaian yang dilandasi akhlak dan nurani yang bersih. Sama sekali tidak dimaksudkan sebagai berhala. Bukan sesuatu yang dipuja, dibela, dan disanjung karena merasa sebagai bagian dari identitas kita. Bukan itu. Yang berhak disucikan dan disembah hanyalah Allah semata, yaitu Sang Pencipta dan Pemelihara seluruh alam raya, dan bukan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan berbagai ritualnya agama adalah sarana untuk menemukan jalan terlurus dan terpendek menuju kedekatan dengan-Nya. Itulah paling tidak pemahamanku sebagai muslim.

Di dunia Islam ada puluhan aliran dan mazhab. Kalau ditambah lagi dengan tariqah atau tarekat bisa ratusan. Kesemuanya ini adalah penafsiran pemahaman ajaran Islam yang bersumber kepada al-Qur'an dan tradisi Nabi Muhammad SAW.

Tidak masalah, karena Islam memang menganjurkan manusia menggunakan akalnya. Wahyu Allah dalam al-Qur'an dan masa kenabian Muhammad SAW terjadi lebih dari 1400 tahun lalu. Sejak itu, kehidupan telah banyak berubah dan apa yang terjadi di planet bumi saat ini banyak yang baru dan tidak dialami pada masa kenabian. Karenanya, akal manusialah yang kemudian harus digunakan untuk memberi penafsiran ajaran Islam sesuai dengan konteks masa kini.

Karena akal manusia terbatas dan betapapun manusia berusaha tetap saja tidak mungkin sepenuhnya menghilangkan subjektivitas masing-masing, maka terjadilah perbedaan-perbedaan dalam penafsiran. Dengan beberapa pengecualian, selama beratus tahun perbedaan ini ditoleransi dan muslim hidup rukun, baik antar sesama muslim maupun dengan pemeluk agama lain. Selama perbedaan itu tidak digerakkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok tetapi dilandasi oleh kehendak hati yang tulus bagi kemaslahatan umat, agama akan menjadi pembimbing untuk kebaikan.

Masalah timbul ketika penafsiran didorong bukan oleh kehendak berlomba untuk berbuat baik tetapi bertanding untuk menang disini dan kini. Agama kemudian dipilah-pilah dan dimasukkan kedalam kotak-kotak terpisah. Ini agama saya itu agama kamu. Ini paham saya yang murni, itu keyakinanmu yang busuk. Ini mazhab saya yang benar, itu aliranmu yang keliru. Ini kelompok saya yang selamat, itu golonganmu yang sesat.

Ketika itu, akhirat yang menurut al-Qur'an jauh lebih luas dari bumi dan seluruh jagad raya ini kemudian dikapling-kapling. Akhirat yang menjadi sempit ini diperkirakan oleh pemeluk fanatiknya tidak dapat menampung seluruh makhluk Allah. Karenanya harus diperebutkan. Dalam proses berebut akhirat itu maka terjadilah saling tuduh, saling hujat, dan saling mengklaim kebenaran.

Agama menjadi masalah juga ketika sedikitnya tiga hal mengendalikan penafsirannya. Pertama, kepentingan politik, kekuasaan, dan materi. Kedua, kepicikan yang disebabkan oleh pemahaman tekstual yang menolak penafsiran kontekstual. Ketiga, kehendak "memurnikan" Islam dengan menghidupkan kembali totalitas tata kehidupan masa kenabian ke masa kini menurut penafsirannya sendiri.

Kita telah melihat sendiri apa yang telah dan sedang terjadi. Mempolitikkan agama telah mengakibatkan saling teror, saling usir, bahkan saling bunuh antar sesama Muslim, khususnya di Timur Tengah. Kepicikan pemahaman telah menjadikan agama sebagai panduan mekanis. Kehendak memurnikan agama justru bukan membersihkan tapi mengotori agama dengan keangkuhan dan klaim kebenaran mutlak di pihaknya.

Maka dalam Islam muncullah berbagai kelompok dan pendakwah dengan pemahaman dan kepentingan berbeda. Ada kelompok radikal militan yang melihat Islam selalu dalam keadaan perang dan harus berjuang dengan senjata untuk melawan musuh-musuhnya. Ada kelompok "pembela" Islam yang melihat segala sesuatu di luar Islam seperti yang dipahaminya adalah perbuatan mungkar. Ada kelompok yang mengklaim sebagai pemilik sorga dan mereka yang berada di luar kelompoknya dianggap tidak akan selamat. Ada kelompok yang dipimpin oleh dai-dai profesional dan selebritas TV yang menjajakan agama sebagai hiburan komersial.

Para dai berlomba berebut umat. Makin besar jumlah pengikutnya makin kesohor dan terhormat kedudukannya. Umat dianggap sebagai pasar tempat persaingan usaha. Sebagian dai ini kemudian ada yang menjajakan umatnya ke partai politik yang memang kerjanya mencari dukungan suara. Dari situ terjadi beberapa konsekuensi yang merisaukan dalam bentuk perdagangan suara umat.

Ketika semua itu menjadi titik fokus dakwah, dunia sebagai tempat kita mengembangkan diri dan menanam amal sebagai bekal bagi kehidupan abadi di akhirat terlupakan. Paling sedikit seminggu sekali kita mendengar khotbah ulama di mimbar sholat Jum'at. Nyaris dari mulut khatib di mana pun tidak terdengar khotbah yang memberi semangat untuk hidup di sini dan kini. Tidak ada dorongan untuk menuntut ilmu dan bergiat dalam usaha. Yang kita dengar adalah ancaman neraka, tawaran surga, dan kecaman terhadap "musuh-musuh" Islam. Dalam kategori musuh-musuh Islam itu pun dimasukkan mereka yang alirannya tidak sejalan dengan pengkhotbah.

Sementara kita tak henti-hentinya berkhotbah menyampaikan penguatan akidah dan ancaman neraka, bangsa lain berlomba memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan taraf ekonominya. Ulama berselisih tentang cara beribadah, sedangkan kemiskinan dan keterbelakangan di sekitarnya diacuhkan. Ketika kita sibuk berebut akhirat, mereka merebut dunia. Jangan-jangan kita kehilangan dua-duanya. Dunia lenyap dari tangan kita, akhirat pun lepas.

Hidup termasuk kehidupan beragama adalah sebuah pilihan. Islam menawarkan kehidupan hasanah dan berimbang di dunia dan akhirat. Mengembangkan kehidupan positif di bumi, persaudaraan manusiawi dan landasan moral yang benar adalah modal utama kehidupan di akhirat kelak. Bukan monopoli kebenaran dengan menarik garis merah antara aku dan kamu, kita dan mereka.

Selamat tahun baru, Sahabat.

AT - 02-01-16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun