Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Polisi Ekonomi

22 Agustus 2015   09:13 Diperbarui: 22 Agustus 2015   09:13 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polisi EkonomiPerkembangan terakhir kebijakan pemerintah dalam menindak penimbun sapi, mengingatkan saya pada era tahun limapuluhan ketika saya masih duduk di SD. Saat itu ekonomi dijalankan atas dasar berbagai peraturan. Harga bahan-bahan pokok ditentukan pemerintah, pelbagai bahan baku untuk pabrik seperti mori dan benang dijatah. Yang melanggar dan tertangkap menimbun, dihukum.  Pasar tidak dibiarkan mengatur mekanismenya sendiri. Bahan dijatah karena suplainya selalu tidak mencukupi permintaan. Impor dan beberapa jenis kegiatan usaha memerlukan lisensi khusus yang tidak mudah didapat. Akibatnya ada pasar gelap untuk jual beli lisensi. Untuk mengelola ekonomi yang diregulasi itu kemudian diperlukan dan dibentuk satuan khusus yang disebut polisi ekonomi. Pengusaha selalu waspada jangan sampai tertangkap "menimbun" bahan baku yang sebenarnya diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi. Main kucing-kucingan antara pengusaha dan pedagang disatu pihak dengan polisi disisi lain tak terhindarkan. Pengusaha sering  menjadi sasaran pemerasan aparat dan harus bersedia memberi upeti bila tak mau diganggu. Biaya produksi dengan sendirinya meningkat. Keadaan ini berlanjut terus sampai paruh pertama tahun 60an. Seperti kita semua sudah tahu, ekonomi yang diatur secara berkelebihan (over regulated) itu akhirnya gagal total. Barang-barang menjadi tetap langka dan inflasi merajalela sampai bisa mencapai ratusan persen per tahun.  Saya ingat para pedagang selalu membawa radio transistor kemana dia pergi untuk jaga-jaga kalau ada pengumuman pemerintah. Saat itu pemerintah sangat sering membuat peraturan baru hampir setiap minggu. Setiap kali Bung Karno habis menyampaikan pidatonya, harga-harga melonjak naik. Saya ingat presiden Soekarno yang tidak menguasai seluk beluk ekonomi, ketika diwawancara wartawan CBS Amerika tentang kacaunya ekonomi Indonesia, meminta para wartawan asing itu keliling Jakarta dan nanti kata beliau mereka akan melihat sendiri di setiap sudut ada orang makan. Begitulah cara berpikir sederhana presiden kita saat itu. Jokowinomics? Seusai lebaran biasanya harga-hara stabil atau bahkan turun. Tidak kali ini. Harga daging sapi melonjak. Begitu pula ayam dan kebutuhan pokok lain. Apa yang terjadi? Dari dulu sampai sekarang hukum ekonomi tidak berubah. Ketika permintaan melebihi penawaran maka harga akan naik. Sebaliknya bila penawarannya yang melimpah harga akan turun. Salah satu tugas penting pemerintah dalam kehidupan ekonomi modern adalah menjaga kesetabilan harga dengan memastikan bahwa penawaran dan permintaan barang dijaga kurang lebih seimbang. Gejolak harga daging sapi membuktikan itu. Persediaan daging sapi di pasar menghilang. Harga naik. Apa kesimpulan pemerintah? Ada mafia dibalik naiknya harga daging sapi. Ada kartel yang bermain. Maka Undang-Undang tentang penimbunan barang tahun 1953 dan UU tentang tindak pidana ekonomi tahun 1955 harus ditegakkan. Polisi dengan sigap menindak lanjuti instruksi presiden. Kepala Bareskrim segera memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penggerebegan di sentra-sentra importir sapi.  Beliau  mengumumkan ada tanda-tanda penimbunan sapi potong dalam jumlah besar. Dengan gagah berani Konjenpol Budi Waseso mengatakan akan menjerat penimbun dengan UU pidana atau bahkan UU terorisme karena para penimbun bisa dianggap  telah meneror pemerintah dan masyarakat dengan menaikkan harga daging sapi.  Sampai saat ini kita belum bisa mengatakan dengan pasti apakah memang ada importir nakal atau kartel yang dengan sengaja menahan suplai guna menaikkan harga. Bisa jadi yang dikatakan penimbunan itu tidak ada. Yang ada adalah penundaan memotong sapi karena proses penggemukan setelah impor belum selesai. Namun demikian, bila seandainya benar ada penimbun, apakah menggunakan tangan polisi dan menjerat mereka dengan pidana akan menyelesaikan masalah? Apakah pemerintah selanjutnya akan melibatkan polisi seperti pada tahun 50an untuk mengelola ekonomi kita? Operasi pasarKita sepakat bahwa di dunia manapun tidak ada lagi pemerintah yang membiarkan pasar bergerak bebas sendiri sepenuhnya sesuai kemauannya. Dimana-mana pemerintah menjaga agar tidak terjadi distorsi pasar. Bila pasar dibiarkan sepenuhnya bebas, yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh modal yang kuat atau konspirasi kartel dalam penentuan harga. Hal ini berlaku untuk hampir semua jenis pasar. Apakah itu pasar barang, komoditas, pasar modal, atupun pasar uang.  Pada dasarnya pengusaha, baik diakui atau tidak, mencari untung sebesar mungkin. Ketamakan yang bisa merugikan masyarakat konsumen ini tidak bisa dibiarkan. Namun caranya bukan dengan melibatkan polisi. Polisi jangan diberi tugas tambahan diluar tugas pokok menjaga kemanan dan melindungi warga negara. Bila polisi dilibatkan maka akan terjadi ketidak pastian usaha. Pengusaha yang beritikad baik bisa juga terjaring, dan peluang untuk kongkalikong serta korupsi bisa menjadi lebih besar. Ujungnya, tujuan pemerintah untuk mengendalikan inflasi tidak akan tercapai. Untuk menghindarkan kecenderungan monopolistik dalam menguasai pasar, kita sudah punya UU Persaingan Usaha no.5 tahun 1999 berikut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tinggal sekarang bagaimana mengintensifkan kerja KPPU.  Untuk menghindarkan permainan pasar oleh pengusaha yang menimbun, pemerintah perlu melakukan operasi pasar sehingga pengusaha yang akan memainkan harga di pasar akan terpukul dan akan berpikir dua kali dilain kesempatan. Meski demikian, operasi pasar ini baru bisa efektif  bila pemerintah mempunyai sistem perencanaan yang baik dan konsisten serta apartnya dapat menyediakan data-data perkiraan kebutuhan dan suplai pasar dalam jangka menengah dan panjang dengan sangat cermat. Yang terjadi sekarang tampaknya pemerintah berkali-kali dikejutkan oleh pasar oleh karena data yang simpang siur dari berbagai kementerian yang dijadikan dasar pengambilan keputusan ternyata salah kaprah. Sehingga rencana impor 250,000 sapi dipangkas menjadi hanya 50,000 umpamanya. Mengendalikan inflasi juga bukan urusan polisi. Unsur lain yang bisa menekan melonjaknya harga-harga adalah sisi manajemen logistik. Bila hal ini masih terus tak terurus dengan baik, biaya transport yang tinggi dan jangka waktu transportasi yang lama akan terus mengganggu kestabilan harga barang. Pengusaha, betapapun tamaknya mereka, adalah pengambil keputusan yang rasional. Bila mereka tahu pemerintah punya kekuatan untuk intervensi pasar mereka juga akan mengambil tindakan yang rasional. Mengumbar dengan bangga dengan mengumumkan pemerintah tidak akan mengimpor ini dan itu justru dibaca oleh pengusaha sebagai peluang untuk memainkan pasar. Bila benar pemerintah tidak akan mengimpor, pemerintah tak perlu mengumumkannya. Biarkan ketidak pastian itu menjadi bagian dari perhitungan pedagang. Yang penting, jangan kita kembali kebelakang pada tahun 50an dengan melibatkan polisi untuk mengelola ekonomi kita. Sejarah telah menunjukkan kegagalan metode ini. Jangan lagi ada polisi ekonomi. Biarkan polisi mengurusi tugasitugas pokoknya yang masih jauh dari harapan masyarakat. Abdillah Toha 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun