Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Boediono yang Saya Kenal

13 Desember 2014   08:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:24 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14184358691101180894

[caption id="attachment_382309" align="aligncenter" width="624" caption="Foto: Tribunnews/Herudin"][/caption]

Belum lama ini Jeffrey A Sheehan, profesor hubungan internasional dari Wharton University USA, menulis kesan-kesannya tentang mantan wakil presiden Boediono yang sudah lama dikenalnya, dengan judul The Legacy of Indonesia's Boediono. (Warisan Boediono, lihat: http://knowledge.wharton.upenn.edu/article/legacy-indonesias-boediono/).

Tulisan menarik tentang warisan yang ditinggalkan mantan wakil presiden itu patut dibaca karena cukup komprehensif dan akurat dalam menggambarkan karakter dan visi seorang Boediono. Namun, ada bagian penting dari sisi Boediono yang terlewatkan, yakni warisan beliau berupa keteladanan dalam kesederhanaan dan kejujurannya.

Saya kenal Boediono lebih dari 40 tahun, sejak dari mahasiswa. Inilah barangkali salah seorang pejabat tinggi Indonesia yang konsisten dalam hidup sederhana dan bersih sejak dulu. Sekadar sebagai contoh, sebagai wapres, ketika beliau naik haji beserta istri, beliau tidak mau biayanya ditanggung pemerintah. Beliau bayar sendiri. Kecuali perangkat pengawal dan protokolnya, rombongan lain yang ikut dengannya juga membayar sendiri.

Wapres dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, disamping menerima gaji juga punya akses atas dana operasional dan dana bantuan kemasyarakatan masing-masing sebesar Rp 1 milyar per bulan. Dana-dana ini bisa digunakan olehnya dengan wewenang penuh tanpa persetujuan siapapun. Namun, dia tetap sangat berhati-hati dalam penggunaan dana tersebut dan tidak jarang  tersisa dana tak terpakai dalam jumlah besar tiap akhir bulan.

Ketika melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, Boediono hampir tidak pernah menggunakan pesawat khusus carteran yang cukup mahal karena harus menunggu dan diparkir berhari-hari mengikuti jadwalnya. Beliau lebih senang menggunakan pesawat komersial biasa yang jauh lebih hemat. Dalam salah satu perjalanan dinasnya ke luar negeri dimana kebetulan saya ikut serta, beliau juga menggunakan pesawat komersial sedangkan seorang direktur utama sebuah BUMN besar yang menyusul keesokan harinya datang dan pulang dengan  menggunakan pesawat jet pribadi.

Ia dikenal luas sebagai pejabat tinggi yang tidak bisa dibeli. Suatu saat ada seorang profesional yang ingin dijadikan pembantunya  tapi yang bersangkutan menolak. Alasannya katanya, "percuma saja saya kerja disitu karena saya tidak bakalan dapat tambahan apa-apa kecuali gaji/honor yang tidak seberapa".‎

Kerendahan hati dan kesederhanaan Boediono juga diturunkan kepada istri dan keluarganya. Ketika kita berhadapan dengan keluarganya, tidak pernah ada kesan gaya formalitas yang berlebihan yang sering ditunjukkan oleh istri dan anak-anak pejabat tinggi. Mereka semua sangat wajar dan bersahabat sehingga kita sering lupa bahwa mereka adalah keluarga orang paling berkuasa kedua di negeri ini.

Selalu berpenampilan sederhana, Boediono adalah wakil presiden yang selalu merasa risih dan tidak enak ketika iring-iringan kendaraannya harus melewati jalan-jalan macet di ibukota yang harus dikosongkan lebih dahulu sebelum beliau lewat.

Sebagai pemimpin ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Salah satu pantangannya adalah membicarakan aib orang lain. Ketika orang disekitarnya berbicara tentang aib orang lain, tampak dari raut wajahnya bahwa dia tidak senang mendengarkannya.

Sebagai pekerja keras, banyak sekali prestasinya yang berdampak jangka panjang untuk bangsa ini seperti diuraikan oleh Jeffrey Sheehan diatas. Prestasi ini tidak banyak diketahui publik karena Boediono tidak suka mempublikasikan diri. Dia juga bukan tipe orang yang senang dipuji dan tidak pernah mengklaim keberhasilan sebuah program di kantornya semata karena dia.

Inilah orang yang selama menjabat sebagai wakil presiden sampai setelah mundur sekarang terus menerus diganggu dan dibayangi oleh tuduhan "merugikan keuangan negara"dalam kasus Bank Century, terutama oleh politisi-politisi DPR tertentu yang selama 5 tahun satu-satunya  "prestasi" mereka hanya mengejar-kejar Boediono tanpa bisa membuktikan bahwa beliau mereguk keuntungan pribadi dari situ. Padahal kebijakan itu telah menyelamatkan ekonomi kita dari sebuah krisis yang mengancam kehidupan nasional kita bisa mundur sekian tahun.

Saya hanya berharap bahwa mereka yang punya kewenangan hukum akan berpikir dua tiga kali sebelum memutuskan untuk menjadikan orang seperti Boediono sebagai korban dalam rangka mengadili sebuah kebijakan ekonomi yang ‎diambil dengan itikad baik. Konsekuensi lain dari mengadili sebuah kebijakan akan membuat aparat pemerintah di waktu mendatang ragu-ragu mengambil keputusan cepat dalam suatu krisis.

Seharusnya pisau keadilan bukan diarahkan kepada (pengambil) kebijakan tetapi pada bukti-bukti material di tahap implementasi kebijakan yang menunjuk kepada tindak koruptif yang menguntungkan pihak-pihak terkait, bila ada. Sampai saat ini tidak ada satupun bukti nyata ke arah itu kecuali uang satu milyar rupiah yang diterima mantan bawahan gubernur Bank Indonesia Budi Mulya yang diklaim oleh yang bersangkutan sebagai pinjaman.

Paradox dari mengadili sebuah kebijakan yang dianggap "merugikan keuangan negara" adalah sebuah pertanyaan berikut. Dapatkah yang berwenang mengadili sebuah pembiaran oleh pemerintah atau ketiadaan keputusan atau kebijakan (absence of decision or policy) yang dianggap merugikan negara? Bila jawabnya tidak bisa, maka akan lebih aman bagi pejabat yang berwenang untuk melakukan pembiaran daripada mengambil keputusan yang berisiko diadili.

AT - 131214

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun